Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Karena "Perang" Atau Penisilin

Mulyafri, 10, ketika bermain dengan temannya tertimpuk batu merah & dibawa ke dukun urut. oleh dr. rachmat santosa, ia disuntik penisilin & meninggal. dokter tersebut ditahan polisi karena pengaduan ayah korban.(ksh)

21 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAGI-LAGI dokter dihubungkan dengan kematian pasiennya. Awal tahun 19-77 itu terjadi pada seorang dokter anggota ABRI dalam prakek pribadinya di Jakarta. Kemudian, seorang dokter umum di Rumahsakit Serang, Jawa Barat, Agustus tahun itu juga mengalami nasib naas: setelah memberikan suntikan penisilin, pasien meninggal. Tak banyak protes, dan tak terdengar mereka sempat berurusan dengan pengadilan. Tapi yang dialami dr Rachmat Santoso (Ang Sing An) berbeda. Tanggal 27 Desember 1977 jam 5 sore dia dipanggil ke kantor Komsekko 712, Jakarta. Setelah diperiksa lantas ditahan sampai sekarang di kantor polisi itu. Mulyafri, berusia 10 tahun,--menurut cerita ayahnya, Djafri Djons pada tanggal 5 Desember 1977 dihadang oleh 15 orang temannya. Sumardi Nunung, teman sebaya Mulyafri yang memimpin kawanan itu, meminta uang kepadanya. Anak itu mengaku tak punya uang karena ayahnya baru pulang dari pendidikan kepolisian di Semarang. Kawanan anak-anak itu lantas mengamuk, meninju dan menimpuki Mulyafri dengan batu bata. Setibanya di rumah Mulyafri menyembunyikan rasa sakitnya dengan tidak banyak bicara. Anak kedua dari enam bersaudara itu kelihatan letih. Kedua orang tuanya heran melihat tingkahlaku anaknya itu. Mulyafri kemudian menceritakan apa yang terjadi pada dirinya seraya membuka baju dan menunjukkan bekas siksaan membiru di bahunya. Setelah mendengar cerita anak itu orang tuanya berniat mendatangi kepala sekolah untuk memperoleh keterangan bagaimana sampai anaknya menderita begitu. Tapi belum sempat niat itu terlaksana, dan sekolah besok paginya belum buka, mendadak tubuh Mulyafri panas. Saudara-saudaranya mengerubungi. Sanak famili datang dan rumahnya yang terletak di Gang Sepur, Kemayoran yang penuh padat penduduk itu, jadi ramai, melihat luka-luka di tubuhnya dan memberikan simpati. Panas Tak Turun Djafri Djons, sang ayah, jam 10 nagi itu membawa anaknya dengan sebuah mobil ke tempat praktek dr Rachmat Santoso, di Jalan Gunung Sahari 24. Sebagaimana biasa dokter itupun bertanya mengenai latarbelakang sampai si pasien sakit begitu. Djafri menceritakan semua yang dialami anaknya itu. Tapi sebelum dokter mengambil keputusan tentang obat apa yang akan diberikan untuk menolong si pasien, tiba-tiba Djafri menyarankan: "Jangan suntik dia dok!" Tapi Rachmat Santoso tetap meminta si pasien cilik untuk rebahan. Jarum diambil dan suntikan pun diberikan. "Tak sampai lima menit kami sudah keluar dari ruangan prakteknya. Setelah saya mengambil obat yang juga disediakan di tempat praktek itu," cerita sang ayah. Sebelum ke rumah, mobil yang mereka tumpangi sempat mampir di sekolah. Dan dalam pertemuan dengan kepala sekolah yang datang menjenguk nya ke mobil, Mulyafri masih bicara dengan lancar. Sesampai di rumah obat yang diberikan dokter dia minum. Panas badannya tetap belum turum Dan sekitar jam 12.0 dia menghembuskan nafas penghabisan. Dengan busa yang mengambang di mulutnya. Dalam suasana panik dan penuh isak-tangis, Djafri Djons berangat memberitahukan kemalangan itu kepada dr Rachmat Santoso. Setengah tak percaya dokter itupun datang dan benar-benar menemukan pasien yang diobatinya tadi pagi dalam keadaan sudah tak bernyawa. Begitulah kisah kemalangan tersebut sebagaimana diceritakan si ayah. Orang yang bisa difahami jadi sangat emosionil lantaran kehilangan seorang putera. Dr Rachmat Santoso yang kini menjalani hari demi hari tanpa praktek tanpa bangun dekat lapangan Banteng itu tak bisa menerima tamu kecuali keluarga. Dia tidur di kamar komandan. Menggunakan sofa di ruangan itu sebagai kasurnya. Ada telepon di sana, tapi kabarnya dia dilarang untuk menyentuhnya. Hanya pihak kepolisian yang bisa memberikan keterangan berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan terhadapnya. Dukacita Dinas Penerangan Komdak Metro Jaya memberikan cerita yang agak berbeda dengan cerita ayah almarhum. Katanya, Mulyafri bukannya dihadang kawanan temannya, tetapi bermain-main dengan peranan sebagai perampok dan garong dan sebagian kecil lagi dari mereka yang lima belas itu, berperan sebagai polisi. Permainan itu berlangsung di Sekolah Dasar Pintu Besi. Dalam permainan itu kemudian terjadilah saling menimpuk. Kepala Mulyafri kena batu, antara lain batu merah yang agak besar. Peristiwa itu terjadi tanggal 30 Nopember 1977. Keesokan harinya ia masih belajar dan menyanyi segala. Sampai 2 Desember keadaan kesehatannya belum terlalu parah. 3 Desember baru dia dibawa ke dukun urut, meskipun sebelumnya sudah dapat anjuran supaya minta pertolongan dokter. Tanggal 6 Desember barulah dia datang ke dokter. "Datang sudah dipapah. Ada bengkak-bengkak. Anak itu menderita infeksi radang," kata dr Rachmat Santoso dalam keterangannya kepada pihak kepolisian. Mulyafri disuntik penisilin 1 cc. Setelah ditunggu setengah jam (versi dr Rachmat 15 menit), tidak terlihat adanya gejala alergi terhadap penisilin. Lantas si pasien diizinkan pulang. Sementara dokter memesankan agar obat yang diberikannya supaya diminum sejam kemudian. Dan bila terdapat kelainan segera melapor. Tak ada laporan apapun dari orangtuanya, kecuali laporan jam 14.30 yang menyatakan bahwa si pasien meninggal. Dr Rachmat Santoso datang ke rumah orang yang kemalangan, dan menyatakan dukacitanya. Tapi di rumah yang sedang dikerubung kesedihan itu, ia juga terkejut melihat obat-obatan yang masih utuh, yang seharusnya sudah diminum. "Mengapa tak diminum?" tanyanya. "Nggak ada waktu," jawab ayah Mulyafri. Obat-obat itu terdiri dari 5 butir pil antalgin dan 5 kapsul teramycin. Obat yang masih utuh itu diminta oleh pihak kepolisian, tapi si ayah tidak memberikannya. Begitu pun alamat si dukun, yang ia sembunyikan. Karena katanya dukun itu sudah tua. Sedangkan obat suntik yang digunakan dokter itu, menurut hasil penelitian Laboratorium MABAK, masih berlaku sampai Agustus 1980. Tanggal 6 Desember kematian itu terjadi, tapi baru tanggal 27 dokternya di tangkap. Saya katakan kepada para petugas kalau mereka tidak menangkapnya dia akan saya bunuh," kata Djafri Djons kepada wartawan TEMPO yang datang mewawancarainya di rumahnya. Polisi 712 dalam keadaan sulit, karen desakan itu tadi. Mereka menganggap belum ada alasan kuat untuk melakukan penahanan. Setelah datang visum dari Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, barulah penahanan itu dilaksanakan. Dan tempat praktek dokter yang selalu ramai di pagi maupun sore hari itu disegel. "Untuk mengamankan dokter," kata Herman Soesilo, kepala dinas kesehatan DKI. Karangan Bunga Namanya anak yang hilang dan kuat dugaan ayahnya, karena kesalahan dokter, maka Djafri Djons berangkat ke mana saja untuk mengurus perkara anaknya itu. Sebagai seorang calon perwira kepolisian yang dinas di KOMDAK iapun tahu jalannya. Dia berangkat ke bagian kedokteran kehakiman dan menguruskan visum anaknya. "Di visum itu jelas disebutkan kematiannya karena suntikan penisilin dalam dosis tinggi. Salah obat," ujar sang ayah. Setelah visum itu jasad Mulyafri dibaringkan di pekuburan Karet. Djafri juga tahu bahwa Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jakarta, sedang berusaha untuk meminta pihak kejaksaan mengenakan tahan luar bagi Rachmat Santoso yang berusia 55 tahun, Kepala Bagian Farmasi FKUI itu. "Boleh saja dia dibebaskan asal saya diberitahu. Sebab saya yang mengancam. Kalau tidak saya akan bertindak sendiri. Saya mau perkara ini masuk pengadilan. Hukum itu baik, tapi kalau yang bertugas menegakkannya tak mau melaksanakannya saya akan menghukum sendiri," bentaknya emosionil. Dari dalam tahanan dr Rachmat Santoso tanggal 30 Desember telah mengirimkan surat kepada IDI, dia ceritakan pengalamannya dan dia minta nasihat hukum. "Sebagai organisasi, IDI berkewajiban membantu anggotanya dalam menghadapi masalah ini. Bukan dalam arti membela secara membabi-buta. Bantuan itu antara lain mencarikan pembela bila yang bersangkutan memerlukan, atau mencarikan saksi ahli. Kami usulkan agar dalam menangani kasus semacam ini tidak usah menahan dokternya. Bila perlu IDI dapat menjamin bahwa dokter tadi tidak akan melarikan diri. Bila maksud penahanan untuk melindungi seorang dari ancaman, misalnya, maka adalah janggal bila yang dilindungi mengeluh atas perlindungan itu," demikian tanggapan Ketua IDI Jakarta, dr Kartono Mohamad. Satu hal yang perlu diingat katanya, peristiwa ini jangan sebaliknya membuat dokter takut memberikan suntikan. Karena dokter manapun yang menyuntik mana pun dapat menimbulkan reaksi kepekaan. Bila ini terjadi, masyarakat bisa rugi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus