LAGI-LAGI dokter dihubungkan dengan kematian pasiennya.
Awal tahun 19-77 itu terjadi pada seorang dokter anggota ABRI
dalam prakek pribadinya di Jakarta. Kemudian, seorang dokter
umum di Rumahsakit Serang, Jawa Barat, Agustus tahun itu juga
mengalami nasib naas: setelah memberikan suntikan penisilin,
pasien meninggal. Tak banyak protes, dan tak terdengar mereka
sempat berurusan dengan pengadilan.
Tapi yang dialami dr Rachmat Santoso (Ang Sing An) berbeda.
Tanggal 27 Desember 1977 jam 5 sore dia dipanggil ke kantor
Komsekko 712, Jakarta. Setelah diperiksa lantas ditahan sampai
sekarang di kantor polisi itu.
Mulyafri, berusia 10 tahun,--menurut cerita ayahnya, Djafri
Djons pada tanggal 5 Desember 1977 dihadang oleh 15 orang
temannya. Sumardi Nunung, teman sebaya Mulyafri yang memimpin
kawanan itu, meminta uang kepadanya. Anak itu mengaku tak punya
uang karena ayahnya baru pulang dari pendidikan kepolisian di
Semarang. Kawanan anak-anak itu lantas mengamuk, meninju dan
menimpuki Mulyafri dengan batu bata.
Setibanya di rumah Mulyafri menyembunyikan rasa sakitnya dengan
tidak banyak bicara. Anak kedua dari enam bersaudara itu
kelihatan letih. Kedua orang tuanya heran melihat tingkahlaku
anaknya itu. Mulyafri kemudian menceritakan apa yang terjadi
pada dirinya seraya membuka baju dan menunjukkan bekas siksaan
membiru di bahunya.
Setelah mendengar cerita anak itu orang tuanya berniat
mendatangi kepala sekolah untuk memperoleh keterangan bagaimana
sampai anaknya menderita begitu. Tapi belum sempat niat itu
terlaksana, dan sekolah besok paginya belum buka, mendadak tubuh
Mulyafri panas. Saudara-saudaranya mengerubungi. Sanak famili
datang dan rumahnya yang terletak di Gang Sepur, Kemayoran yang
penuh padat penduduk itu, jadi ramai, melihat luka-luka di
tubuhnya dan memberikan simpati.
Panas Tak Turun
Djafri Djons, sang ayah, jam 10 nagi itu membawa anaknya dengan
sebuah mobil ke tempat praktek dr Rachmat Santoso, di Jalan
Gunung Sahari 24. Sebagaimana biasa dokter itupun bertanya
mengenai latarbelakang sampai si pasien sakit begitu. Djafri
menceritakan semua yang dialami anaknya itu. Tapi sebelum dokter
mengambil keputusan tentang obat apa yang akan diberikan untuk
menolong si pasien, tiba-tiba Djafri menyarankan: "Jangan suntik
dia dok!" Tapi Rachmat Santoso tetap meminta si pasien cilik
untuk rebahan. Jarum diambil dan suntikan pun diberikan.
"Tak sampai lima menit kami sudah keluar dari ruangan
prakteknya. Setelah saya mengambil obat yang juga disediakan di
tempat praktek itu," cerita sang ayah. Sebelum ke rumah, mobil
yang mereka tumpangi sempat mampir di sekolah. Dan dalam
pertemuan dengan kepala sekolah yang datang menjenguk nya ke
mobil, Mulyafri masih bicara dengan lancar.
Sesampai di rumah obat yang diberikan dokter dia minum. Panas
badannya tetap belum turum Dan sekitar jam 12.0 dia
menghembuskan nafas penghabisan. Dengan busa yang mengambang di
mulutnya. Dalam suasana panik dan penuh isak-tangis, Djafri
Djons berangat memberitahukan kemalangan itu kepada dr Rachmat
Santoso. Setengah tak percaya dokter itupun datang dan
benar-benar menemukan pasien yang diobatinya tadi pagi dalam
keadaan sudah tak bernyawa.
Begitulah kisah kemalangan tersebut sebagaimana diceritakan si
ayah. Orang yang bisa difahami jadi sangat emosionil lantaran
kehilangan seorang putera. Dr Rachmat Santoso yang kini
menjalani hari demi hari tanpa praktek tanpa bangun dekat
lapangan Banteng itu tak bisa menerima tamu kecuali keluarga.
Dia tidur di kamar komandan. Menggunakan sofa di ruangan itu
sebagai kasurnya. Ada telepon di sana, tapi kabarnya dia
dilarang untuk menyentuhnya. Hanya pihak kepolisian yang bisa
memberikan keterangan berdasarkan pemeriksaan yang telah
dilakukan terhadapnya.
Dukacita
Dinas Penerangan Komdak Metro Jaya memberikan cerita yang agak
berbeda dengan cerita ayah almarhum. Katanya, Mulyafri bukannya
dihadang kawanan temannya, tetapi bermain-main dengan peranan
sebagai perampok dan garong dan sebagian kecil lagi dari mereka
yang lima belas itu, berperan sebagai polisi. Permainan itu
berlangsung di Sekolah Dasar Pintu Besi. Dalam permainan itu
kemudian terjadilah saling menimpuk. Kepala Mulyafri kena batu,
antara lain batu merah yang agak besar. Peristiwa itu terjadi
tanggal 30 Nopember 1977.
Keesokan harinya ia masih belajar dan menyanyi segala. Sampai 2
Desember keadaan kesehatannya belum terlalu parah. 3 Desember
baru dia dibawa ke dukun urut, meskipun sebelumnya sudah dapat
anjuran supaya minta pertolongan dokter. Tanggal 6 Desember
barulah dia datang ke dokter. "Datang sudah dipapah. Ada
bengkak-bengkak. Anak itu menderita infeksi radang," kata dr
Rachmat Santoso dalam keterangannya kepada pihak kepolisian.
Mulyafri disuntik penisilin 1 cc. Setelah ditunggu setengah jam
(versi dr Rachmat 15 menit), tidak terlihat adanya gejala alergi
terhadap penisilin. Lantas si pasien diizinkan pulang. Sementara
dokter memesankan agar obat yang diberikannya supaya diminum
sejam kemudian. Dan bila terdapat kelainan segera melapor. Tak
ada laporan apapun dari orangtuanya, kecuali laporan jam 14.30
yang menyatakan bahwa si pasien meninggal. Dr Rachmat Santoso
datang ke rumah orang yang kemalangan, dan menyatakan
dukacitanya.
Tapi di rumah yang sedang dikerubung kesedihan itu, ia juga
terkejut melihat obat-obatan yang masih utuh, yang seharusnya
sudah diminum. "Mengapa tak diminum?" tanyanya. "Nggak ada
waktu," jawab ayah Mulyafri. Obat-obat itu terdiri dari 5 butir
pil antalgin dan 5 kapsul teramycin.
Obat yang masih utuh itu diminta oleh pihak kepolisian, tapi si
ayah tidak memberikannya. Begitu pun alamat si dukun, yang ia
sembunyikan. Karena katanya dukun itu sudah tua. Sedangkan obat
suntik yang digunakan dokter itu, menurut hasil penelitian
Laboratorium MABAK, masih berlaku sampai Agustus 1980.
Tanggal 6 Desember kematian itu terjadi, tapi baru tanggal 27
dokternya di tangkap. Saya katakan kepada para petugas kalau
mereka tidak menangkapnya dia akan saya bunuh," kata Djafri
Djons kepada wartawan TEMPO yang datang mewawancarainya di
rumahnya.
Polisi 712 dalam keadaan sulit, karen desakan itu tadi. Mereka
menganggap belum ada alasan kuat untuk melakukan penahanan.
Setelah datang visum dari Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia, barulah penahanan itu dilaksanakan. Dan tempat
praktek dokter yang selalu ramai di pagi maupun sore hari itu
disegel. "Untuk mengamankan dokter," kata Herman Soesilo, kepala
dinas kesehatan DKI.
Karangan Bunga
Namanya anak yang hilang dan kuat dugaan ayahnya, karena
kesalahan dokter, maka Djafri Djons berangkat ke mana saja untuk
mengurus perkara anaknya itu. Sebagai seorang calon perwira
kepolisian yang dinas di KOMDAK iapun tahu jalannya. Dia
berangkat ke bagian kedokteran kehakiman dan menguruskan visum
anaknya. "Di visum itu jelas disebutkan kematiannya karena
suntikan penisilin dalam dosis tinggi. Salah obat," ujar sang
ayah. Setelah visum itu jasad Mulyafri dibaringkan di pekuburan
Karet.
Djafri juga tahu bahwa Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jakarta,
sedang berusaha untuk meminta pihak kejaksaan mengenakan tahan
luar bagi Rachmat Santoso yang berusia 55 tahun, Kepala Bagian
Farmasi FKUI itu. "Boleh saja dia dibebaskan asal saya
diberitahu. Sebab saya yang mengancam. Kalau tidak saya akan
bertindak sendiri. Saya mau perkara ini masuk pengadilan. Hukum
itu baik, tapi kalau yang bertugas menegakkannya tak mau
melaksanakannya saya akan menghukum sendiri," bentaknya
emosionil.
Dari dalam tahanan dr Rachmat Santoso tanggal 30 Desember telah
mengirimkan surat kepada IDI, dia ceritakan pengalamannya dan
dia minta nasihat hukum. "Sebagai organisasi, IDI berkewajiban
membantu anggotanya dalam menghadapi masalah ini. Bukan dalam
arti membela secara membabi-buta. Bantuan itu antara lain
mencarikan pembela bila yang bersangkutan memerlukan, atau
mencarikan saksi ahli. Kami usulkan agar dalam menangani kasus
semacam ini tidak usah menahan dokternya. Bila perlu IDI dapat
menjamin bahwa dokter tadi tidak akan melarikan diri. Bila
maksud penahanan untuk melindungi seorang dari ancaman,
misalnya, maka adalah janggal bila yang dilindungi mengeluh atas
perlindungan itu," demikian tanggapan Ketua IDI Jakarta, dr
Kartono Mohamad.
Satu hal yang perlu diingat katanya, peristiwa ini jangan
sebaliknya membuat dokter takut memberikan suntikan. Karena
dokter manapun yang menyuntik mana pun dapat menimbulkan reaksi
kepekaan. Bila ini terjadi, masyarakat bisa rugi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini