PERSOALAN dr SML Toruan yang lnenuliskan surat kematian untuk
seorang pasien bayi yang kemudian ternyata masih hidup (TEMPO 17
Desember 1977), tanggal 2 Jamlari telah sampai ke Departemen
Kesehatan. Dalam laporannya kepada Irjen Depkes, Kepala Dinas
Kesehatan DKI dr Herman Soesilo mengakui: "Satu-satunya
kesalahan yang telah dibuat dr SML Toruan adalah bahwa ia
membuat pernyataan tertulis tentang kematian bayi tanpa
mengadakan pengecekan kembali 4 jam setelah pemeriksaan pertama.
Ini sebenarnya diwajibkan menurut peraturan kesehatan. Tapi
kesalahan tersebut diakui oleh dr SML Toruan dan dia sangat
menyesal."
Menurut Herman Soesilo, SML Toruan pada hakekatnya tidak
menyebabkan cedera atau celaka pada bayi tersebut. Begitu pun
tidak menimbulkan kerugian kepada orangtuanya. Malahan
sebaliknya "kemungkinan besar bayi tersebut telah berhasil hidup
kembali oleh karena ihtiar dr SML Toruan dengan cara pernafasan
buatan dan massage."
Ketika pasien yang bernama A Hoat dan berumur 51 hari itu sampai
di poliklinik bagian anak-anak RSCM, para dokter yang
memeriksanya memang melihat bekas tangan yang memerah di bagian
dada dan belakang pasien.
Dalam laporan ke Departemen Kesehatan itu, tak lupa pula Herman
menyatakan kepercayaannya "bahwa berita yang dimuat di surat
kabar dan majalah TEMPO tidak diprakarsai oleh orangtua bayi.
Oleh karena kami yakin mereka sebagai orangtua sudah pasti
merasa bersyukur kepada Tuhan. Oleh karena itu dengan sendirinya
tidak akan ada niat Harian Kompas yang untuk pertama kali memuat
berita itu tanggal 7 Desember tidak punya sponsor untuk menulis
dari siapa pun. Kebetulan dua orang wartawannya sedang nongkrong
menamatlorganisasi pengobatan di bagian anak RSCM, Jakarta.
Mereka bertemu dengan ibu A Hoat dan nasib yang mereka alami
tentu saja menarik untuk diberitakan. Dr SL Toruan sendiri
sudah dihubungi oleh wartawan tapi sayang sekali dokter itu
katanya tak berwenang memberikan keterangan, kecuali peristiwa
itu terjadi di praktek pribadinya. Sedangkan kesalahan itu
justru berlangsung di Puskesmas FK UKI, Cawang. Dan keadaan ini
memang membuat cerita mengenai peristiwa tadi agak kurang
berimbang. Seakan-akan dr Toruan berada dalam posisi bersalah
dan tak sempat membela.
Tak Terdengar
Ibu A Hoat sndiri, yang menceritakan nasib anaknya mengatakan
bahwa setelah dokter menyatakan anak itu meninggal, ia masih
berusaha meminta dokter, secara sendiri maupun dengan bantuan
suster, supaya memeriksa anaknya yang masih bernafas. Tapi
Toruan menolak untuk melihat sekalipun bayi masih berada di
ruangan periksa.
Dalam laporannya tanggal 21 Desember kepada Herman Soesilo,
Toruan menyanggah cerita si ibu. "Tidak benar kalau kami menolak
untuk memeriksa bayi itu kembali. Karena setelah orangtua dan
bayinya meninggalkan kamar periksa, kami samasekali tidak
mengetahui dan tidak diberi tahu kejadian apa yang terjadi pada
bayi tersebut di luar kamar periksa. Sampai pekerjaan kami
selesai hari itu."
Jalannya peristiwa yang malang tapi menggembirakan itu, menurut
Toruan diawali dengan masuknya sepasang suami-isteri yang
menggendong bayi masuk ke kamar periksanya. Bayi yang mereka
bawa, katanya dalam laporannya, tampak sakit berat. Seluruh
tubuh cyanose (biru pucat) dan tak terlihat adanya gerakan
pernafasan.
Segera dia lakukan cardiac massage (memijat jantung) dan
pernafasan buatan. Setelah tindakan ini dikerjakan beberapa lama
ia lakukan pula auskultasi (mendengar) jantung. Pijat jantung
dan pernafasan buatan dilakukan lebih giat lagi, katanya.
Terus-menerus selama beberapa menit. "Akan tetapi usaha-usaha
gerakan pernafasan spontan dari bayi tidak terlihat. Denyut
jantung pun tetap tidak terdengar. Oleh karena itu saya
menganggap bayi sudah meninggal."
Laporan tersebut dia buat dengan tanda-tangan saksi suster Ida
Sipahutar, petugas administrasi poli Taruli, siswa perawat
Lasimin dan mahasiswa co-asisten senior Remy Leimena.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini