Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilihat dulu selama setahun ini. Kalau ginjal yang dari Cina ternyata bermasalah, ya, harus dikeluarkan dari tubuh saya. Kalau enggak ada masalah, akan saya bawa empat ginjal ini ke mana-mana," demikian kata Basyrah Nasution, 48 tahun, Senin petang pekan lalu. Walau kalimat itu terucap santai, Basyrah tak sedang berkelakar. Empat organ ekskresi kini menetap di tubuh pria kelahiran Medan itu. Dari keempat buah pinggangnya tersebut, hanya satu yang berfungsi.
Basyrah divonis menderita gagal ginjal terminal pada awal 2009. Kedua ginjalnya mengerut sehingga tak bisa melakukan fungsi penyaringan dengan baik. Oleh dokter, dia disarankan menjalani transplantasi atau cangkok ginjal. Namun pencangkokan pertama tak membebaskannya dari penyakit. Fungsi ginjal baru atau ginjal ketiga Basyrah menurun lantaran tubuhnya terpapar virus. Mau tak mau ia mesti kembali masuk ruang operasi untuk mendapatkan ginjal keempat.
Pencangkokan dua ginjal itu tidak membuat tim dokter membuang dua ginjal lama. Itulah mengapa kini ada empat ginjal di tubuh Basyrah. Kasus yang dialami bapak dua putra itu terbilang jarang. Sebab, pada umumnya seseorang cukup sekali menjalani transplantasi ginjal untuk bisa hidup normal. Pengalaman itulah yang mengilhami Basyrah menulis buku berjudul 4 Ginjal di Tubuhku, yang terbit Maret lalu.
Menurut Basyrah, lewat buku itu ia tak sekadar ingin bertutur soal penyakitnya. Dia juga berupaya membuat orang lain peduli terhadap penyakit ginjal yang tergolong silent killer karena "membunuh secara diam-diam". "Penyakit ginjal itu mengelabui pasien. Kalau kita enggak periksa ke laboratorium, semua terasa baik-baik saja," ujar warga Bandung itu.
Hal itulah yang dialami Basyrah. Pada 2008, tekanan darahnya tiba-tiba melesat menjadi 150/100 mm/Hg. Kondisi itu membuat kepalanya melulu pening. Ia juga mulai sering merasa mual. Mulut Basyrah pun mendadak mengeluarkan aroma tak sedap. Kulitnya kerap merasa gatal, meski tak muncul ruam di permukaan kulit.
Sinyal itu semula ditangkap Basyrah dan sang istri, Sari Meutia, sebagai pertanda penyakit tekanan darah tinggi. Namun, kendati sudah mengasup obat untuk hipertensi, kondisi tubuh Basyrah tak kunjung membaik. Kadar hemoglobinnya malah merosot. Belakangan, diketahui merosotnya hemoglobin itu karena ginjalnya mulai tak menjalankan fungsi produksi sel darah merah. Tapi saat itu ia tak menyangka hal tersebut sebagai pertanda ginjal yang gagal.
Belakangan, setelah melakukan tes laboratorium, Basyrah mendapati segala gejala yang dia alami ada kaitannya dengan ginjal. Sebab, dari pemeriksaan laboratorium, kadar kreatinin atau indikator kesehatan ginjal Basyrah diketahui nyaris sepuluh kali di atas normal. Padahal, semakin tinggi kadar kreatinin, semakin rendah kualitas kesehatan ginjal. Hasil tes laboratorium itu terkonfirmasi setelah dokter menyatakan Basyrah mengalami gagal ginjal terminal.
Yang membuat Basyrah tak habis pikir, dokter menyatakan penyakitnya sudah masuk stadium V atau fase gawat darurat. Ginjal kirinya berfungsi enam persen saja, sementara ginjal sebelah kanan tak sampai sembilan persen. Sempat menjalani cuci darah selama dua setengah bulan, Basyrah akhirnya memilih prosedur transplantasi ginjal. Sebuah rumah sakit di Guangzhou, Cina, ia jadikan pilihan karena donor organ dari orang selain kerabat dianggap ilegal di Indonesia.
Basyrah sempat bertahan hidup dengan tiga ginjal. Sejak itu pula ia diminta mengkonsumsi obat penekan daya tubuh agar ginjal barunya berfungsi baik. Namun obat itu bak buah simalakama. Karena daya tahan tubuhnya melemah, tubuh Basyrah rentan disusupi virus.
Benar saja. Pada akhir Oktober 2011, Basyrah divonis terjangkit virus Cito megalo. "Saya sempat drop karena ginjal yang saya harapkan untuk bertahan hidup malah rusak," ucapnya.
Keberadaan Cito megalo memaksa Basyrah menyetop asupan obat penekan daya tahan tubuh. Setelah itu, fungsi ginjalnya kembali menurun. Awal 2013, Basyrah pun kembali menjalani cuci darah sebelum masuk ruang operasi untuk cangkok ginjal kedua pada September tahun lalu. Kali ini donor ginjal bukan orang asing, melainkan adik kandungnya.
Menurut dokter spesialis ginjal Tunggul Situmorang, transplantasi ginjal bisa diukur keberhasilannya paling tidak setahun setelah operasi. Tolok ukur kesuksesan cangkok adalah fungsi ginjal mencapai 80-90 persen, yang bisa dilihat salah satunya dari kelancaran pengeluaran urine pasien.
Namun, dalam beberapa kasus, ginjal baru memang mengalami masalah beberapa tahun setelah transplantasi. Jika itu yang terjadi, kata Tunggul, penyebabnya bukanlah ketidakcocokan organ donor dengan pasien, melainkan karena infeksi, serangan virus, dan penyakit lain. "Teknologi memungkinkan ketidakcocokan organ donor dengan pasien sudah terbaca sebelum tahap operasi," ujarnya Selasa sore pekan lalu.
Basyrah mengatakan ginjal bungsunya tak "rewel" seperti tiga ginjal yang lain. Gaya hidup sehat pun kembali dijalaninya secara disiplin karena emoh kadar kreatininnya melonjak lagi. Pola makan juga ia atur untuk meringankan kerja ginjal, misalnya dengan memperbanyak asupan air putih serta menghindari makanan dan minuman kemasan yang mengandung pengawet.
Pasien juga sebaiknya menghindari sejumlah faktor risiko yang memantik penurunan fungsi ginjal. Menurut catatan Registrasi Ginjal Indonesia, di negara berkembang seperti Indonesia, biang penyakit ginjal kebanyakan adalah penyakit hipertensi dan diabetes, obesitas atau kelebihan berat badan, serta gaya hidup tak sehat. Untuk yang terakhir, Tunggul menyebutkan, misalnya berlebihan mengkonsumsi masakan cepat saji, mi instan, minuman bersoda, dan garam.
Di Indonesia, konsumsi garam per individu diperkirakan mencapai 10-15 gram per hari. Padahal WHO-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani kesehatan-mensyaratkan asupan garam per hari hanya 5 gram per orang. "Kelebihan garam cenderung memicu tekanan darah tinggi, yang berefek buruk ke ginjal," ujarnya.
Prevalensi penyakit ginjal di Indonesia sendiri cenderung meningkat. Data terakhir Registrasi Ginjal Indonesia menyebutkan 400 per 1 juta orang Indonesia mesti menjalani dialisis (cuci darah). Sedangkan 20-30 juta orang Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal atau sudah masuk stadium II-IV. Yang mengkhawatirkan, dari jumlah itu sebagian di antaranya berusia muda, yakni 20-an tahun.
Dokter spesialis endokrinologi Dante Saksono menilai makin mudanya penderita penyakit ginjal di Indonesia dipicu oleh hipertensi dan diabetes yang lebih dini mendera pasien. Apalagi, secara genetik, orang Asia dengan diabetes lebih mudah mengalami komplikasi ke ginjal dibanding orang Kaukasia.
"Komplikasi eksklusif dari diabetes itu ke saraf dan ginjal. Kalau kondisi tubuh seseorang baik tapi kadar gula dalam darahnya tinggi, risiko komplikasi terbesarnya mengarah ke ginjal," ucap Dante, Rabu sore pekan lalu. Komplikasi tersebut bisa terjadi karena, saat kadar gula darah melonjak, terjadi gangguan pembentukan protein di sistem saringan ginjal.
Namun proses kehancuran ginjal tak berlangsung hanya semalam, tapi 10-15 tahun. Karena itu, menurut Tunggul, seseorang sejak dini mesti mengenali faktor risiko penyakit ginjal, yakni dengan mengecek riwayat penyakit pada keluarganya untuk mencegah komplikasi. Sebab, sifat silent killer pada penyakit ginjal cenderung membuat orang lengah meski sudah bergaya hidup sehat.
Seperti halnya Basyrah, yang sebelum menyadari ginjalnya bermasalah sebenarnya menjalani gaya hidup sehat-tidak minum alkohol, tidak merokok, dan rajin berolahraga. Makan pun dia tak macam-macam, meski tak juga mengontrol garam. "Penyakit ginjal menyerang begitu pelan sampai-sampai si penderita tidak merasa sedikit demi sedikit fungsi ginjalnya menurun," kata Tunggul.
Isma Savitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo