Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA tempat sampah plastik-hijau untuk sampah basah, kuning buat sampah kering, dan merah khusus untuk batu baterai-tersebar di setiap sudut sekolah. Ya, di Sekolah Dasar Negeri Juluk, Saronggi, Kabupaten Sumenep, Madura, kesadaran lingkungan berawal dari memilah-milah sampah.
Pak Ostadi, guru kelas III yang menyandang tugas khusus mengelola kegiatan lingkungan, rajin memantau kotak-kotak plastik tersebut. Memilah sampah adalah kebiasaan aneh yang ditularkan kepada para murid. Namun keberhasilan menularkan kebiasaan baru ini menimbulkan problem pula. Saat bertemu dengan para orang tua, Ostadi harus mempertanggungjawabkan kelakuannya. "Mereka mengeluh karena anaknya memprotes pembuangan sampah di rumahnya yang tidak dipisah-pisah," ucap Ostadi.
Anak-anak cepat belajar. Jika ketahuan membuang sampah ke tempat yang salah, mereka akan diganjar hukuman: membersihkan kelas atau halaman sekolah. Mereka juga diajari mengolah sampah organik menjadi pupuk, menanam pohon, dan mengelola taman. Di SD Negeri Juluk, sebagian besar orang tua adalah petani dan buruh yang anaknya mendapat bantuan beasiswa siswa miskin dari pemerintah daerah. Dan menumbuhkan kesadaran lingkungan di kalangan mereka jelas tak mudah.
Di SD Negeri Wates 2, Kota Mojokerto, Jawa Timur, kesadaran lingkungan adalah menanam belimbing madu sadewa di halaman belakang sekolah. Bagi Nabila Kartika Mukti, siswi kelas IV, dokter kecil di sekolah itu, pohon belimbing tersebut sangat pribadi. "Pohon ini aku tanam sewaktu kelas III," kata Nabila. Belimbing itu bagian dari kebun sayur sekolah.
Panen pohon belimbing, sayur-sayuran, dan ikan lele memang mengiringi acara pembagian rapor siswa pada 27 Juni lalu. Para guru makan siang bersama-sama dengan sayur terung, kubis, dan bungkul yang ditanam siswa. Lauknya dari ikan yang dipelihara di kolam di pelataran belakang sekolah.
Ada kebun toga, green house, kolam ikan, perpustakaan, dan sanitasi. Juga ada program membantu di kantin kejujuran. Namun pengelolaan sampah tetap mendapat porsi penting.
Lima menit sebelum bel pelajaran dimulai, para siswa berburu sampah. Sebelum dimasukkan ke keranjang terpisah (organik dan anorganik), sampah-sampah itu dihitung oleh ketua kelas. Siswa yang paling banyak memungut sampah menjadi bintang kelas. Kebiasaan itu terbawa ke rumah. "Anak saya sekarang bisa menyiram tanaman dan memilah sampah di rumah," ujar Edi Sutopo, guru mata pelajaran pendidikan lingkungan hidup, menirukan omongan wali murid.
Ketua Komite Sekolah Kasdikin menjelaskan, para siswa kelas V dan VI diajak kerja bakti di lingkungan luar sekolah pada saat peringatan 17 Agustus. Dia mengajak orang tua menyumbang tanaman untuk kebun toga dan green house. Pihaknya mendukung pimpinan sekolah yang mengembangkan kebun belimbing.
Upaya yang dilakukan SDN Wates 2 itu mendapat ganjaran berupa penghargaan Adiwiyata Mandiri, yang disampaikan Wakil Presiden Boediono pada Hari Lingkungan Hidup Internasional, 5 Juni lalu. Untuk tahun ini, ada 47 sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan di 10 provinsi yang memperoleh penghargaan itu. Kesepuluh provinsi itu adalah Sumatera Barat, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo.
Sekolah yang mengikuti program ini ada 4.132 dari 33 provinsi. "Adiwiyata adalah program untuk mewujudkan sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan," kata Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya. Ada sejumlah aspek yang dinilai, yaitu kurikulumnya; kegiatan sekolah yang melibatkan murid, guru, orang tua, dan warga sekitar sekolah; serta pengelolaan sarana dan prasarana pendukung sekolah yang ramah lingkungan.
Termasuk di aspek terakhir adalah kantin yang sehat dan bersih. Makanan yang dijajakan tidak boleh mengandung bahan pengawet atau pengenyal, pewarna, dan perasa. Produknya juga tidak tercemar dan kedaluwarsa. Sedangkan kemasannya bukan dari plastik, Styrofoam, dan aluminium foil.
Ilyas Asaad, Deputi Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup, menjelaskan, aspek tambahan lain adalah upaya kepala sekolah dan guru membina sepuluh sekolah di sekitarnya untuk mendapatkan penghargaan Adiwiyata di tingkat kabupaten/kota. "Agar kepedulian dan perilaku ramah lingkungan menyebar ke sekolah lain," ujarnya.
Aspek kurikulum memuat upaya sekolah dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Di SMP Negeri 1 Sumenep, Madura, yang mendapatkan penghargaan Adiwiyata Mandiri 2014, pihak sekolah mengelola sampahnya sendiri. Setiap hari ada 2 meter kubik sampah dari kantin sekolah. Lalu sampah organik berasal dari daun pepohonan yang ada di halaman sekolah.
Pada pelajaran pendidikan lingkungan hidup, para siswa dilibatkan membuat kompos, pembibitan, observasi, dan daur ulang sampah. Mereka mempraktekkan membuat kompos secara alami dan dengan mesin sumbangan Dinas Lingkungan Hidup Sumenep. Hasilnya dijadikan pupuk untuk seluruh tanaman yang ada di halaman sekolah dan sebagian lagi dijual.
Sedangkan pada pelajaran prakarya, mereka membuat suvenir dari sampah non-organik. "Saya membuat pot bunga dari botol bekas air minum kemasan," kata Putri, siswi kelas VIII. Hasil karya Putri dan siswa lain dipamerkan di satu ruang di halaman depan sekolah. Ada aneka macam suvenir yang terbuat dari bekas sedotan minuman, kayu gagang es krim, koran, dan barang bekas lain. Sekolah ini pernah jadi juara I lomba desain kebaya dari barang bekas yang diadakan Kota Sumenep.
Untuk pengelolaan kantin, sekolah bekerja sama dengan Puskesmas Pabian, yang sebulan sekali melakukan pemeriksaan. Pada jam istirahat, sekolah menutup pintu gerbang sehingga siswa jajan di kantin yang ada di dalam sekolah. "Dua bulan lalu kami melarang jajanan makaroni karena sejumlah siswa mengeluh sakit tenggorokan," ucap Lulu, petugas Puskesmas Pabian. Makaroni seharga Rp 500 itu digemari siswa.
Sejumlah suster di SMK Katolik Mater Amabilis, Surabaya, malah menjadi pengawas dapur kantin sekolah. "Kami tidak boleh menjual mi instan dan makanan chiki-chiki," kata Eka, yang mengelola salah satu kantin di sekolah yang tahun ini memperoleh Adiwiyata Mandiri itu.
Minyak goreng tidak boleh dipakai berulang-ulang. Minyak jelantah dari kantin dan sisa praktek memasak siswa jurusan tata boga dikumpulkan untuk bahan membuat sabun. Kulit nanas, pisang, durian, dan buah-buahan lain diolah kembali menjadi minuman wine.
"Sisa bahan makanan dan organik lain kami buat kompos dengan metode Takakura," ucap Joana Sutrisna, siswi kelas X jasa boga yang jadi kader lingkungan unit Takakura. Sejumlah siswa lain tergabung dalam unit kegiatan green house, pengomposan, dan biopori. Anggota setiap unit sekitar 40 siswa yang berminat.
Sebagian pelajar dari luar Surabaya menginap di asrama sekolah. Tahun lalu sekolah membeli alat instalasi pengolahan air limbah untuk mendaur ulang air sisa cucian (laundry) dan toilet. "Ini jadi bahan pelajaran bagi anak-anak," kata Kepala Sekolah Suster Yosefa. Air toilet yang didaur ulang digunakan untuk menyiram tanaman yang ada di kebun pembibitan dan taman sekolah. Pemakaian alat ini mengurangi biaya iuran bulanan ke perusahaan air minum daerah.
Djoko Wismono, guru pendidikan lingkungan hidup, menjelaskan, awalnya sulit mengajak siswa baru sekolah menengah atas mencintai dan jadi kader lingkungan. "Kami iming-imingi mereka mengikuti kegiatan lingkungan di luar sekolah," kata Djoko, yang aktif di lembaga swadaya masyarakat Tunas Hijau.
Untuk regenerasi, para siswa kelas XII yang jadi kader lingkungan ia wajibkan mencari lima adik kelasnya yang duduk di kelas X. Djoko berharap semakin banyak siswa melakukan tindakan nyata menjaga dan memulihkan lingkungan. Florence, siswi kelas X yang menjadi kader green house, kini rajin melakukan stek tanaman di kebun pembibitan sekolahnya.
Untung Widyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo