Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama bertahun-tahun, Dien Hermiyati menenteng tas dengan tangan kiri atau menggantungkannya di siku kiri. Ini adalah kebiasaan yang juga dilakukan hampir semua perempuan yang tidak kidal. Agar tangan kanan bebas melakukan berbagai aktivitas yang lebih kompleks, tangan kiri selalu mendapat tugas menanggung beban tas.
Berat tas itu bisa lebih dari dua kilogram. Isinya macam-macam: ada gadget, dompet, kosmetik, dan lain-lain. "Orang menyebutnya kantong Doraemon, semua barang ada," kata nenek tiga cucu ini sembari tertawa. Kebiasaan yang remeh sebenarnya. Tapi kebiasaan itulah yang menyebabkan tendon atau urat di atas siku kirinya meradang. Nyeri. Dalam istilah kedokteran, radang di tendon yang menyebabkan nyeri ini disebut tendinitis atau tendonitis.
Warga perumahan Bukit Permai Cibubur, Jakarta Timur, ini mengaku nyeri di atas siku kirinya mulai terasa sejak pertengahan April lalu. Awalnya tidak terlalu nyeri, tapi lama-kelamaan bertambah dan kian menyiksa. Untuk meredakannya, Dien sudah mencoba obat gosok, obat tempel alias koyo, kompres air hangat, dan menelan obat penghilang nyeri. Namun hasilnya nihil. Rasa cenat-cenut kian menjadi dan di lokasi yang nyeri terlihat bengkak, merah, dan panas.
Kini ia mengistirahatkan tangan kirinya dan memakai tangan kanan untuk membawa tas. "Belum berani menenteng tas lagi walau tasnya ringan. Takutnya nanti enggak sembuh-sembuh," ujar Dien kepada Tempo pekan lalu. Meski ibu dua anak ini sudah meninggalkan kebiasaan itu, kondisi uratnya belum pulih benar. Ia masih menjalani terapi.
Sebulan lalu Dien bertemu dengan Laura Djuriantina, dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi medis Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta. Dia menjalani pengobatan mutakhir, yakni radial shock wave therapy (RSWT). Setelah dua kali terapi, nyerinya jauh berkurang. Sementara semula derajat nyerinya skala 8 (dari skala 0 sampai 10), sekarang tinggal 2.
Nyerinya makin ringan setelah Dien menjalani terapi ketiga pada Selasa pekan lalu, yang sempat kami saksikan. Awalnya Laura melumurkan gel di atas kulit yang nyeri, lalu dokter itu mengaktifkan alat RSWT hingga berbunyi seperti rentetan tembakan dalam volume rendah. Dien meringis. "Sakit-sakit enak," katanya. Lama kelamaan kulit yang ditembak alat tersebut memerah. Lima belas menit kemudian, sesi terapi selesai.
Laura menjelaskan, RSWT adalah terapi gelombang kejut bertekanan tinggi yang "ditembakkan" di kulit sekitar daerah yang sakit. Alat ini bekerja dengan menghilangkan nyeri pada bagian tubuh dan meningkatkan kesembuhan jaringan lunak yang sakit. Dengan pemberian gelombang kejut, maka jaringan yang rusak secara bertahap melakukan regenerasi dan akhirnya sembuh. "Alat ini akan menstimulasi jaringan saraf untuk mengaktifkan mekanisme penghambat nyeri," ucapnya.
Keuntungan menggunakan alat ini adalah pengobatan yang relatif cepat dan efektif; meminimalkan pemberian obat oral, penggunaan kortison, dan injeksi berulang; serta meminimalkan tindakan bedah atau operasi. Selain itu, tak ada efek samping. Laura mengatakan banyak pasien segera merasakan perbaikan pasca-pengobatan dengan terapi gelombang kejut ini. Terapi gelombang kejut biasa dipilih setelah terapi lain di luar operasi gagal.
Selain Dien, pasien lain yang memetik manfaat terapi gelombang kejut adalah Rifki Feriandi. Ia bukan penderita tendinitis, melainkan pasien plantar fasciitis alias nyeri pada tumit. Gangguan ini muncul akibat meregangnya ligamen—semacam pita yang menghubungkan tulang tumit ke tulang jari kaki—yang menyangga lengkungan kaki.
Penyebab penyakit ini, antara lain, pekerjaan yang banyak bertumpu pada kaki, sepatu yang tidak cocok, atau kegemukan. Setelah Rifki menjalani dua kali terapi, penderitaannya jauh berkurang. Sebelum terapi, selama sekitar dua bulan, nyeri hebat terasa di tumitnya setelah bangun tidur. "Kalau berjalan, saya terpaksa jinjit," katanya.
Tentu saja tak ada pengobatan instan. Perlu beberapa pekan, bahkan berbilang bulan, untuk mendapatkan penyembuhan sempurna. Dengan terapi sekali satu-dua pekan, pasien rata-rata butuh empat-enam kali terapi.
Selain di RS Pondok Indah, terapi serupa, meski dengan nama berbeda, diterapkan di RS Medistra, Jakarta. Nama alatnya Extracorporeal Shock Wave Therapy. Menurut Sendjaja Muljadi, dokter spesialis saraf yang mengoperasikan alat ini, ada sejumlah indikasi nyeri yang bisa ditangani. Selain nyeri akibat radang sendi pada bahu, siku, dan tangan serta nyeri pada telapak kaki, pasien yang datang lazimnya mengeluhkan nyeri punggung atau pengapuran di sekitar persendian. Sendjaja menyebutkan alat ini dipakai di Medistra sejak 2010.
Selain untuk masyarakat umum, menurut Nicolaas Budhiparama, dokter spesialis bedah ortopedi dan traumatologi RS Medistra, terapi gelombang kejut diaplikasikan pada sejumlah atlet. "Kulakukan pada atlet atau mereka yang suka berolahraga dan mengalami tendinitis," ujarnya Rabu pekan lalu.
Meski hasilnya memuaskan pasien, terapi gelombang kejut tak boleh dilakukan pada sejumlah kondisi, antara lain pada mereka yang mengidap diabetes melitus dan kanker, mereka yang dalam masa kehamilan, serta mereka yang memiliki gangguan pengentalan darah.
Dwi Wiyana
Tertindas Tendinitis
TendinitIs atau radang pada tendon yang menyebabkan nyeri. Penyakit ini biasanya mendapat sebutan sesuai dengan bagian tubuh yang terkena. Misalnya achilles tendinitis jika berlokasi di bagian belakang tungkai bawah dan patellar tendinitis untuk nyeri pada tendon patela (yang menghubungkan tempurung lutut dengan tulang kering). Ada juga supraspinatus tendinitis, yakni peradangan di sekitar sendi bahu yang menimbulkan nyeri saat lengan digerakkan, terutama ke arah atas dan saat berbaring.
Menurut Laura Djuriantina, dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi medis Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, di antara gejala tendinitis adalah nyeri pada area tertentu dan semakin terasa sakit jika bagian tersebut digerakkan. Juga ada pembengkakan, rasa panas, dan memerah. Jika diraba, terasa ada benjolan.
Tendinitis ini banyak dialami kalangan yang memasuki usia pertengahan. Maklum, lantaran umur, tendon mereka lebih peka terhadap cedera karena kehilangan elastisitas dan melemah. Namun tendinitis juga biasa dialami kaum muda, termasuk kalangan perempuan muda yang suka menenteng tas berat.
"Lari, tenis, berenang, basket, golf, boling, dan bisbol termasuk olahraga yang berpotensi memicu terjadinya tendinitis," katanya. Untuk mencegah terjadinya gangguan penyakit ini, pemanasan, pendinginan, dan peregangan sebelum dan sesudah berolahraga harus dilakukan.
Meski terkesan tak berbahaya, tendinitis yang tidak ditangani dengan tepat bisa dengan mudah berujung pada kerusakan tendon. Kalau kondisinya sudah begini, apa boleh buat, penanganan lebih lanjut, yakni pembedahan, terpaksa harus dilakukan. Nah, agar operasi bisa dicegah, beberapa perawatan dan pengobatan tendinitis bisa dipilih.
Laura menegaskan, pengobatan tendinitis ditujukan untuk menghilangkan rasa sakit dan mengurangi peradangan. Dalam urusan ini, istirahat menjadi prioritas utama bagi penderita. Ia harus berhenti melakukan kegiatan yang menyebabkan tendinitis, entah itu olahraga entah pekerjaan tertentu. Jika memang berhenti total tidak mungkin, pasien harus mengusahakan adanya proses penurunan aktivitas yang signifikan.
Pada temuan awal tendinitis, kompres es atau handuk hangat sangat disarankan. Tindakan ini mampu mengurangi pembengkakan pada bagian yang terkena tendinitis. Namun, jika terapi ini sudah dilakukan dan rasa nyeri tak tertahankan tetap menclok, obat pereda rasa nyeri bisa diberikan. Dalam beberapa kasus, pemberian suntikan kortikosteroid pada bagian tendon yang terkena bisa diberikan. Namun suntikan ini punya risiko jika berulang kali dilakukan. "Bisa terjadi ruptur atau robekan dan merusak tendon," kata Laura.
DW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo