Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika instrumen mulai dibunyikan lagi, setelah 19 lagu berlalu dan Steve Vai sebelumnya mengumumkan bahwa dia akan memainkan lagu terakhir, penonton sudah bisa menebak apa judulnya: For the Love of God. Intronya memang dibuat telat sedikit, didahului oleh nada-nada lain tapi dengan nuansa yang sama. Dan tebakan penonton tepat. Sambutan pun bergemuruh.
Lagu sepanjang enam menit itu sangat identik dengan Vai, gitaris-komposer dari Amerika Serikat, yang Senin malam pekan lalu menggelar konser di Tennis Indoor Senayan, Jakarta. Boleh dibilang lagu ini semacam hit. Popularitasnya di kalangan penggemar Vai, juga musik instrumental gitar, melebihi lagu-lagu lain yang menjadikan Vai sampai di posisinya sekarang. Dalam pengumpulan pendapat di kalangan pembaca majalah Guitar World lima tahun lalu, lagu ini masuk di antara 100 solo gitar terbaik sepanjang masa. Tak mengherankan jika sebagian penonton ikut menyanyikan melodinya.
Dalam tempo perlahan, dengan nada dasar minor dan melodi yang menawan, For the Love of God merupakan etalase bagi beraneka teknik permainan gitar elektrik, khususnya di bagian solo. Vai mengerahkan trik-trik whammy bar, serta teknik two-hand tapping, harmonizer, dan manipulasi knob volume—semua yang menjadikannya berkualifikasi gitaris top dunia. Di panggung, malam itu, Vai mereproduksi semuanya dengan akurasi sempurna dan tetap terasa hidup.
Pertunjukan malah sebenarnya sudah menggairahkan sejak awal. Vai muncul di panggung tepat pukul 21.00. Dia mengenakan terusan ala Neo dalam film Matrix, bertopi koboi, dan berkacamata, semuanya serba hitam. Didukung Dave Weiner (gitar), Philip Bynoe (bas), Jeremy Colson (drum), dan Michael Aarom (keyboard), dia membuka pertunjukannya yang kedua kali di Jakarta ini dengan Racing the World, disambung dengan Velorum—kedua lagu ini diambil dari album mutakhirnya, The Story of Light (2012).
Konser di Jakarta memang bagian dari tur untuk album itu. Tapi, seperti umumnya, repertoar yang disajikan tak melulu dari sana. Sejak memulai karier solo pada 1984, lewat album Flex-Able, Vai telah menghasilkan sembilan album studio, semuanya berformat instrumental. Ini jumlah yang memadai untuk menyusun sebuah repertoar yang variatif dan "bergizi".
Saya sengaja menggunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk menonton konser itu. Saya tahu Indonesia jarang sekali kedatangan gitaris rock dunia, yang berformat instrumental tentunya. Sebelumnya memang pernah ada John Petrucci, Paul Gilbert, juga Steve Morse. Tapi kedatangan mereka merupakan paket bersama nama besar band masing-masing, yaitu Dream Theater, Mr. Big, dan Deep Purple.
Vai beda. Dia memang pernah bergabung dengan David Lee Roth (mantan vokalis Van Halen), Whitesnake, juga ikut rangkaian tur dalam formasi G3 bersama Joe Satriani, gitaris yang pernah menjadi gurunya. Tapi kedatangannya kali ini, sebelumnya pada 1996, adalah sebagai solo artist. Inilah karier yang dia pilih setelah pada 1982 meninggalkan posisinya sebagai gitaris pendukung—sebutan persisnya stunt guitarist—Frank Zappa, musikus eksentrik yang karya-karyanya melintasi batas-batas rock, jazz, klasik, dan bahkan eksperimental.
Satu hal lagi yang menarik: tak tanggung-tanggung, tempat yang dipilih untuk konser adalah gedung berkapasitas ribuan orang.
Saya pun membuat janji dengan para gitaris Indonesia, seperti Aria Baron, Donny Suhendra, dan Tohpati, untuk menonton bareng. Kami memutuskan membeli tiket festival seharga Rp 550 ribu daripada tribun seharga Rp 350 ribu dengan harapan bisa lebih dekat dengan panggung.
Seperti yang saya duga sebelumnya, sebagian besar yang saya lihat di antrean penonton adalah tipikal musikus. Kebanyakan berambut gondrong, berkostum hitam-hitam. Merekalah yang mendominasi, nyaris tidak ada ABG.
Setelah antrean yang tertib, akhirnya kami bisa masuk ke arena Tennis Indoor. Penataan panggungnya jauh dari kesan megah, didekorasi backdrop bergambar artwork sampul album The Story of Light. Yang menonjol hanya ampli-ampli signaÂture Vai—seri Carvin Steve Vai Legacy. Bapak tua berambut putih, guitar technician Vai, terlihat sibuk mondar-mandir menyetem dan mengecek perlengkapan Vai.
Penonton ternyata sangat ramai untuk ukuran sebuah konser gitar. Nyaris tidak ada tempat kosong, kecuali di bagian belakang area festival, karena sebagian besar orang di kelas itu ingin merapat ke panggung.
VAI, yang kini berusia 53 tahun, adalah gitaris yang selalu tampil atraktif. Sejak naik panggung, dia hampir tak pernah diam. Dia lincah bergerak, berpindah-pindah tempat, meliuk-liukkan badan dan lengannya bagaikan penari. Langkah-langkahnya seperti peragawan di atas catwalk. Permainan gitarnya yang sangar berpadu harmonis dengan gerak badannya dan mulutnya yang juga komat-kamit seakan-akan mengekspresikan nada-nada yang dihasilkan jemarinya.
Setelah dua lagu, Vai menyapa penonton. Dia mengucapkan selamat malam, berterima kasih karena sudah mau menonton, bahkan selamat berpuasa. Sambutan riuh. "Tonight we will give the best concert you'll ever had in your life," katanya kemudian.
Lagu demi lagu pun bergema. Apa judulnya seakan-akan tidak penting, karena Vai pun tidak menyebutkannya. Sangat kentara sekali pengaruh Frank Zappa di beberapa lagu. Tapi kelihatannya penonton juga tak peduli. Sebagian dari mereka hanya ingin melihat Vai dengan gitarnya: Vai memainkan gitarnya ataupun Vai menyangklongkan gitar-gitar Ibanez-nya yang memang menawan, termasuk seri JEM7V, yang merupakan rancangan bersama Vai dengan Ibanez.
Sebagai gitaris, saya akui sound panggung Vai sangat luar biasa. Dia sepenuhnya menguasai peralatan efeknya. Eksplorasi gitarnya pun maksimal. Akurasi nadanya sempurna, nyaris tidak ada yang meleset. Dia telah mencapai tahap ketika gitarnya menyatu dengan jiwanya.
Vai memang bintang, tapi dia juga memberi kesempatan gitaris pendukungnya, Dave Weiner, bersolo akustik—sekalian memberi kesempatan Vai berganti kostum. Bintang lain malam itu adalah drummer Jeremy Colson, yang tampil berbuka baju memamerkan tato di sekujur tubuhnya. Permainannya sangat powerful dan akurat dari awal sampai akhir.
Konser berlangsung sangat menghibur. Vai tampak pintar mencegah kejenuhan, misalnya dengan memainkan dua lagu versi akustik—walau sayangnya suara gitar akustiknya tidak sebagus gitar Weiner. Komposisinya bagus dan menarik. Aplaus penonton membahana saat Vai memainkan Tender Surrender yang bluesy dari album Alien Love Secrets (1995), yang juga merupakan track favorit saya selain lagu-lagu di album Passion and Warfare (1990).
Kalau diibaratkan pop star, Vai seperti Lady Gaga-nya para gitaris. Ini bisa kita lihat dari kostum-kostumnya yang inovatif. Konon kostum-kostum itu buatan perancang internasional ternama, termasuk kostum ala Star Wars dengan sinar laser berpendar-pendar dan lampu berkedip-kedip yang sangat nyentrik.
Yang tak ketinggalan adalah gimmick yang pernah saya lihat di YouTube: Vai mengundang dua orang penonton ke panggung dan membantunya menciptakan musik on the spot. Kedua penonton itu memerintahkan para pemain band meniru apa yang mereka nyanyikan, dari drum, bas, piano, dan terakhir Vai dengan gitarnya. Sayangnya, terkadang musikalitas penonton yang ditunjuk kurang, jadi terlalu gampang buat Vai untuk menirukan dengan gitarnya. Coba kalau yang ditunjuk Tompi atau Dira Sugandi, pasti akan jadi sesuatu banget….
Bagaimanapun, malam itu Vai menunjukkan diri sebagai gitaris yang inovatif dan cerdas dalam menggabungkan skill, komposisi, dan entertainment. Semestinya ini bisa membuka wawasan masyarakat Indonesia untuk lebih menghargai musik instrumental, agar dunia pergitaran Indonesia bisa bersaing di dunia internasional.
I Wayan Balawan, Gitaris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo