Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Gila Game

Rumah Sakit Jiwa Grogol semakin sering menerima pasien anak dan remaja yang kecanduan game. Kerja sama orang tua kunci penting untuk keberhasilan terapi.

2 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Jika tetap tak mau datang ke rumah sakit, terpaksa kami jemput dan disuntik obat tidur." Skenario pamungkas itu terpaksa disiapkan tim medis Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heer­djan, Grogol,­ Jakarta Barat, untuk se­orang pasien yang baru berumur 16 tahun. Sudah empat bulan dia menjalani konsultasi dan terapi, tapi yang datang selalu ayah dan ibunya. Adapun sang pasien tetap mengurung diri di rumahnya di kawasan Pamulang, Banten.

"Kondisinya sudah pada titik dia harus dibawa ke rumah sakit. Enggak ada jalan lain," kata Susy Yusna Dewi, psikiater anak dan remaja RSJ Soeharto Heerdjan, saat kami temui di kantornya pekan lalu. Datang secara sukarela memang lebih baik. Tapi, jika itu tak mungkin, pemaksaan wajib dilakukan. "Semakin cepat dirawat semakin baik," kata Susy.

Remaja itu, katakan saja namanya Rudi, memang memerlukan perawatan di rumah sakit jiwa. Dia sebenarnya tidak gila seperti yang dipahami orang umum. Rudi hanya gila game. Tapi kecanduannya pada game sudah kelewatan, cenderung membuatnya mengalami gangguan jiwa.

Rudi adalah salah satu pasien Susy yang menjalani terapi akibat kecanduan game online. Belakangan jumlah pasien seperti ini kian banyak. Tahun ini ada 11 kasus, dari sebelumnya yang hanya 1-2 pasien per tahun. Menurut Susy, peningkatan terjadi karena masyarakat mulai sadar bahwa kecanduan game merupakan masalah serius.

Ciri-ciri kecanduan game yang harus diwaspadai sebenarnya sangat jelas: jam main game terus meningkat serta anak menunjukkan ekspresi permusuhan dan marah jika diminta berhenti. Dalam kasus yang lebih berat, anak menjadi lupa waktu, lupa makan dan tidur, serta ogah sekolah.

Semua ciri itu ada pada Rudi, dan dikeluhkan orang tuanya. Lebih dari setengah tahun, siswa kelas III SMA ini tak bersekolah. Selain asyik dengan game—salah satunya Giga Slave online—ia mengurung diri dan ogah bergaul dengan teman sebaya. Manakala amarahnya memuncak, Rudi kerap melepaskan tinju ke tembok.

Berdasarkan keterangan itu, Susy mendiagnosis Rudi sudah mengalami gangguan pada neurotransmiter, yakni bahan kimia yang bertugas memasukkan informasi ke sel saraf di otak. Maka obat untuk menyeimbangkan neurotransmiter otak diberikan. Tujuannya agar agresivitas dan emosinya menurun, ketergantungan pada game berkurang, dan bisa beristirahat.

Setelah minum obat, Rudi mulai membaik. Waktu main game sudah jauh berkurang, tak lagi seharian. Ia juga sudah bisa tidur, tak lagi begadang. Bila game dimatikan, juga tak marah. Yang belum berubah adalah sikapnya yang mogok sekolah dan ogah bersosialisasi. "Ini masih menjadi pekerjaan rumah," kata ayah Rudi.

Hal inilah yang membuat Susy harus bertemu dengan Rudi dan merawatnya di rumah sakit jiwa. Komunikasi dengan Rudi diharapkan bisa mengungkap sejumlah hal yang melatarbelakangi kecanduannya. Artinya, terapi yang dilakukan lebih mendasar, bukan sekadar memberi obat. Jika ia sudah mau rawat inap, sejumlah terapi bakal diberikan. Selain obat, ada terapi kelompok, terapi perilaku, menulis konsep diri, dan lain-lain.

Kasus serupa pernah ditangani Tjhin Wiguna, psikiater dari Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Seorang anak usia 11 tahun, siswa kelas V SD, kecanduan game dan enggan dibawa berobat. Kasus itu akhirnya berakhir bahagia karena orang tua sangat kooperatif dan kreatif menciptakan kegiatan bagi anaknya. Si anak diajak beternak ikan koi, hal yang terbukti sangat disukainya. "Anak bisa diajak diskusi. Toh, itu untuk kebaikan dia juga," kata Tjhin.

Berdasarkan kasus-kasus yang mereka tangani, Susy dan Tjhin menemukan bahwa pola asuh orang tua yang memanjakan dan memberikan apa yang dimaui anak merupakan salah satu faktor pemicu kecanduan game. Apalagi orang tua tak pernah memberikan hukuman jika anak berbuat salah. Bisa jadi orang tua sudah memberi ketegasan, tapi pengawasan tidak jalan karena mereka banyak di luar rumah.

Untuk mengurai kasusnya, semua harus dievaluasi. Jika pola asuh sebelumnya tidak ada ketegasan, ya, harus dibuat supaya tegas. Perubahan perilaku, baik pada orang tua maupun anak, harus dilakukan. Dengan cara itu, terbukti sejumlah kasus bisa beres. Misalnya, Susy pernah merawat pasien kecanduan game sampai tiga pekan, kini si pasien sudah membaik, mau bersekolah dan bersosialisasi. "Kerja sama orang tua luar biasa penting," kata Susy, yang di­iyakan Tjhin.

Dwi Wiyana


Gagal Jadi Dokter Gigi

Arfan, sebut saja begitu, memendam rasa bersalah yang mendalam kepada almarhum kakeknya. Sebab, harapan sang kakek agar dirinya menjadi dokter gigi akhirnya kandas. Cita-citanya itu direnggut oleh candu game online Atlantika. Terlalu asyik dengan permainan yang dimainkan secara beramai-ramai itu membuat mahasiswa angkatan 2008 ini lupa kuliah. Buntutnya, pada Januari tahun lalu, ia dinyatakan dropout (DO) oleh dekan fakultas kedokteran gigi sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan.

"Saya hancur dan depresi mendapat surat DO itu," kata Arfan, yang tahun ini mulai pindah kuliah di fakultas teknik mesin di universitas lain di Jakarta Selatan. Ditemui di taman kampusnya yang baru, Selasa malam pekan lalu, lajang 21 tahun ini mengaku sempat menahan surat putus kuliah itu hingga sembilan bulan. Jika orang tua bertanya, ia membohongi dengan sejuta cara, seperti semua baik-baik saja, kuliah lancar, dan sebagainya

Kegilaannya main game bermula dari mengikuti ajakan teman pada 2009. Semula hanya bermain 1-2 jam di warung Internet, tapi lama-lama tidak puas. Akhirnya Arfan memutuskan berlangganan Internet tanpa batas di tempat kosnya di Ulujami, Jakarta Selatan. Saban bulan Rp 250 ribu dikeluarkan dari kantongnya. Game pertama yang dimainkan adalah Point Blank, lalu berpindah ke Atlantik, yang lebih menantang. Kecanduan game online mulai menjeratnya.

Untuk adu strategi dan mengalahkan musuh-musuhnya, Arfan bahkan sempat begadang lima hari nonstop. Matanya memerah. Ia juga gampang marah. Tak aneh, tanpa alasan yang jelas, komputer di depannya kerap digebrak menjadi sasaran kemarahan. Toh, semua itu tak menyurutkan gairah Arfan untuk terus bermain agar menjadi pemain Atlantika terbaik.

Titik balik terjadi saat Arfan difitnah. Di komunitas Atlantika, ia dituding berlaku curang. Tak tahan dihajar dan dipermalukan terus-menerus, akhirnya ia mundur. Belum lagi tenang, selang beberapa waktu kemudian surat DO dari fakultas kedokteran gigi datang. Arfan syok.

Tapi soal hantaman itu yang justru membuatnya mau diajak bertemu dan berkonsultasi dengan Susy Yusna Dewi, psikiater RS Jiwa Soeharto Heerdjan. Empat kali bertemu, motivasi belajar Arfan dibangun ulang. Harapan untuk menjadi dokter gigi ditutup, dan masa depan menjadi sarjana teknik mesin dihamparkan. Game over, selesai sudah kegilaan pada permainan elektronik.

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus