Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rohman Budijanto*
ORANG Indonesia seperti berteman dengan Tuhan. Untuk menyebut Sang Pencipta, tak dipakai bahasa penghormatan khusus. Ketika sedang membicarakan Tuhan, kita cukup menyebutnya Dia atau -Nya. Tak perlu sebutan dengan bahasa yang lebih "tinggi", seperti Beliau. Yang membedakan Tuhan dengan orang adalah kata gantinya yang diawali huruf besar.
Ketika kita berbicara langsung dengan Tuhan pun, kita berbicara dengan akrab. Kita menyebut-Nya dengan Kau, -Mu, atau Engkau. Tidak dengan bahasa yang meraja, misalnya Tuan atau Paduka. Padahal, dengan orang yang kita hormati, kita menyebut dengan ungkapan spesial, "Anda".
Sangat unik, karena kita mempunyai tradisi awalan "Anda" sebagai kata ganti orang kedua dengan huruf besar, "A" (mirip huruf awal kata ganti Tuhan). Anehnya, "Anda" tak pernah digunakan untuk kata ganti Tuhan. Tak pernah ada ungkapan, misalnya, "Syukurlah, Anda telah mengabulkan doaku", tapi "Syukurlah, Kau kabulkan doaku". Kebetulan pula "Anda" memang menunjukkan penghormatan tapi mengandung ketidakakraban. Ada jarak psikologis di antara kedua belah pihak yang berinteraksi dengan kata "Anda".
Penggunaan huruf kapital untuk kata ganti pihak kedua atau ketiga memang tidak dominan milik Tuhan. Banyak contoh untuk ini, antara lain: "Mau ke mana, Bang?", "Silakan Bapak datang sendiri", "Boleh ambil sendiri, Bu", "Jangan begitu, Mas!", "Jangan begitu, Pak", "Hatiku hanya untukmu, Dik", "Mohon dijawab, Pak Guru". Semua kata ganti orang itu diawali huruf kapital, tapi mereka bukan Tuhan.
Tak hanya dalam kata ganti diri, untuk menyebut posisi kita terhadap Tuhan pun sangat akrab. Ketika orang meninggal, doa standarnya adalah "Semoga mendapat tempat yang layak di sisi-Nya". Disebut di situ "di sisi" Tuhan. Bukan, misalnya, di bawah duli Tuhan atau depan kaki Tuhan. Tapi kita ingin posisi lebih dekat dan egaliter, yakni "di sisi" Tuhan.
Ada posisi yang bahkan lebih dekat daripada sisi. Ekspresi kedukaan kadang disampaikan dengan "Dia telah kembali ke haribaan-Nya". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "haribaan" dirujukkan ke kata "me-riba" (artiya memangku) atau "riba-an" (artinya pangkuan). Kita menganggap Tuhan seakrab ayah atau ibu yang memangku anaknya yang manja.
Dalam tradisi Kristiani ada sebutan pembeda yang unik. Kata "ayah" dipadankan dengan "bapak". Tapi, untuk Tuhan, disebut "Bapa". Penyebutan "Bapa" ini juga berlaku untuk pemuka agama, misal Paus disebut "Bapa Suci". Tapi, entah kenapa, Tuhan tak disebut Ayah. Boleh jadi karena "ayah" identik dengan hubungan biologis dengan anak, sedangkan "bapa(k)" dalam bahasa Indonesia bisa digunakan pada setiap lelaki yang dihormati.
Tapi bahasa Indonesia, yang tak mengenal jenis kelamin kata, karena itu lebih akurat dalam menyebut Tuhan. Baik Dia, Engkau, -Nya, maupun -Mu tak berjenis kelamin tertentu. Bahasa Inggris lebih tak netral dalam menyebut kata ganti Tuhan, karena menyebut-Nya Him (bukan Her). Bahasa Inggris tak bisa mengelak dari imajinasi bahwa Tuhan itu lelaki. Begitu pula bahasa Jerman menyebut-Nya Der Gott, Prancis De Dieu, keduanya maskulin.
Bahasa Indonesia yang karib dengan Tuhan ini bisa jadi disebabkan bahasa ini tak mengenal tingkatan berbahasa. Sifat kesederajatan atau egalitarianisme ini pun terbawa saat mengekspresikan hubungan sakral dengan Tuhan. Sampai-sampai kita tak menyadari betapa "tidak sopan" sebenarnya ketika kita ber-Kamu, ber-Dia, ber-Engkau, ber-Nya, atau ber-Mu kepada Zat yang Mahatinggi itu. Dan terlupakanlah bahasa yang "lebih sopan" bagi Tuhan, seperti Beliau, Baginda, dan Tuan.
Meski karib secara bahasa dengan Tuhan, bahasa Indonesia tetap tak bisa dibilang kurang ajar. Banyak ungkapan penghormatan khusus, yang sifatnya bukan kata ganti, tapi diperuntukkan bagi Tuhan. Misalnya, "firman" digunakan sebagai pengganti ucapan Tuhan. Bila disebut "firman", itu berarti ucapan Tuhan. Kata "firman" lebih tinggi derajatnya daripada kata, ucapan, titah, atau sabda.
Bahasa Indonesia juga punya ungkapan lain yang khusus terkait dengan Tuhan, yakni "hadirat". Seseorang yang meninggal biasanya disebut "kembali ke hadirat Ilahi". Kata "hadirat" yang menurut KBBI berarti "hadapan" ini hanya khas untuk Tuhan. Di hadirat Ilahi inilah kita biasanya menyungkurkan diri sebagai "hamba" atau abdullah, budak Tuhan.
Kalau hadirat terkesan tidak akrab, ungkapan lain dalam momen-momen ilahiah lebih akrab. Seperti ketika seseorang meninggal, maka disebut "berpulang" atau "dipanggil Tuhan". Alangkah mesranya ungkapan itu bagi kematian yang menyedihkan. Kita merasa kepergian abadi itu seperti "pulang" atau kembali ke rumah asal, karena si Tuan Rumah "memanggil".
Ada pula awalan yang didedikasikan untuk Tuhan, yakni "maha". Penggunaannya pasti merujuk kepada Tuhan kalau terkait dengan hal-hal yang agung, semisal Mahabesar, Mahasuci, Mahacerdas, Mahatahu, dan Mahaesa. Memang ada "maha" yang tak terkait dengan sifat ketuhanan, misalnya mahasiswa atau mahasantri. Pernah pengajar mahasiswa dijuluki "mahaguru", tapi ungkapan ini tak populer, karena kata itu membuat risi, ada kesan menyamai Tuhan, yang juga bisa disebut Sang Mahaguru. Karena itulah para profesor cukup puas disebut guru besar.
Bahasa Indonesia juga mengakui Tuhan sebagai Maharaja. Tapi kadang-kadang sifat egaliternya muncul lagi dalam menyerap konteks ketuhanan dari bahasa asing. Kita tengok ayat yang favorit dalam Al-Quran, Ayat Kursi. Memang kata "kursi" berasal dari bahasa Arab "kursiy". Tapi, dalam bahasa Indonesia, kursi diserap jadi bahasa generik untuk tempat duduk (juga kedudukan) atau tempat duduk yang kastanya paling rendah. Sangat layak kalau Ayat Kursi itu diterjemahkan sebagai Ayat Singgasana atau Ayat Takhta, karena konteksnya "kekuasaan Tuhan meliputi langit dan bumi".
Relasi manusia Indonesia dengan Tuhan dalam berbahasa sangat unik. Dalam banyak ekspresi, Tuhan disikapi egaliter, meski tak kehilangan rasa sebagai makhluk kecil terhadap Ilahi yang Akbar.
*) Wartawan Jawa Pos
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo