Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siti Ajeng Soelaeman berjalan mengendap-endap mendekati sebuah papan berangka besi dengan corak bunga-bunga kecil di permukaannya. Setelah dipandanginya beberapa detik, papan yang mirip sebuah reklame itu digesernya beberapa langkah. Ia lalu merebahkannya di lantai, menjadikannya sebuah panggung mungil dengan sudut kemiringan sekitar 45 derajat.
Lalu, brak, dengan cepat dia menjatuhkan tubuhnya di sana. Bergelung, meliukkan tubuhnya, berdiri, lalu duduk di tepinya dengan kaki menggantung. Seperti anak kecil, ia menjadikan papan itu arena bermain. Terkadang dia tampak sedang berdialog dengan seseorang yang sosoknya tak tampak. Wajahnya kadang murung, kadang ceria. Ia beberapa kali menjauh dari panggung mungil itu, tapi kemudian kembali berlari dan melompat ke atasnya.
Inilah salah satu fragmen yang disuguhkan Andara Firman Moeis dalam karya tari terbarunya, Memo-Lusion, yang dipentaskan di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat dan Sabtu dua pekan lalu. Lewat penampilan solo Siti Ajeng di atas panggung itu, koreografer kelahiran Jakarta, 20 Januari 1986, tersebut mencoba berbicara tentang memori.
"Memori mendefinisikan masa lalu, masa kini, dan masa depan, walaupun urutannya bisa saja berubah," kata gadis yang akrab disapa Anggie itu. Itulah alasan mengapa Anggie perlu melengkapi karyanya dengan dua fragmen lain yang merepÂresentasikan masa kini dan masa depan.
Memo-Lusion sesungguhnya tak berbeda dengan karya Anggie yang lain. Sejak karya pertamanya, It's Me (2005), lalu Kosong (2007), "......" (2008), Covering With Colors (2009), S[h] elf (2010), dan iBody (2011), karya Anggie senantiasa berpijak pada pengalaman sehari-hari. Pada Memo-Lusion, Anggie tetap tak bergeser dari ciri khasnya itu. Memori yang dia hadirkan di atas panggung adalah catatan-catatan dan rekaman peristiwa yang dia alami.
Anggie menggandeng tujuh penari untuk membawakan karyanya. Selain Siti Ajeng Soelaeman, tampil Arisma Ranisa, Cecilia Dilliami, Nur Hasanah, Siti Alisa Soelaeman, Siti Tyasutami, dan Ranisa Adinda Nasution. Pada fragmen bagian pertama, ketujuh penari itu muncul di atas panggung menghadirkan keriangan gadis-gadis muda. Mengenakan busana berwarna cerah, mereka berlari-larian menjelajahi berbagai sudut panggung, bergurau memperebutkan sesuatu. Pada bagian ini, Anggie membagi ingatannya pada masa kini, tentang kesenangan dia dan teman-temannya menari di atas panggung.
Anggie rupanya tak hanya berbicara tentang memori dengan gerakan tari yang didominasi gerak yang ritmis. Ia juga berbicara melalui berbagai benda yang dihadirkan di panggung. Panggung dibuat dengan latar belakang berupa fasad bangunan dengan beberapa pintu dan jendela dengan sedikit ruang di belakangnya yang memungkinkan para penari berjalan berseliweran di sana. Di dinding rumah itu juga dipajang beberapa foto close-up bagian tubuh manusia seperti mata, ketiak, lidah, dan tungkai kaki.
Dua buah televisi yang salah satunya menayangkan gambar conveyor belt (ban berjalan tempat pengambilan bagasi) dengan aneka koper dan kardus di atasnya menempel di dinding. Ia juga menyelipkan rekaman pembicaraan—atau wawancara—beberapa perempuan yang menyampaikan pendapat mereka tentang memori yang mereka miliki. Mungkin Anggie khawatir, tanpa penjelasan verbal itu, penonton tak mengerti apa yang hendak dia sampaikan.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo