PEMELIHARAAN kesehatan dikenal sebagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat suatu negara - bersama, misalnya, pendidikan dan GNP. Di negera berkembang, pelayanan kesehatan ini umumnya masih rendah. "Usaha menuju ke pemeliharaan kesehatan yang baik dan merata merupakan proses panjang," kata Menteri Kesehatan Soewardjono Soerjaningrat. Hal ini dikemukakan Menteri, ketika ia menandatangani Surat Keputusan Bersama Departemen Kesehatan dan Departemen Tenaga Kerja di Jakarta, pekan lalu. Isi keputusan bersama itu menyangkut pemeliharaan kesehatan tenaga kerja di perusahaan-perusahaan swasta. Selain bagi pekerjanya sendiri, pelayanan juga meliputi istri dan anak-anak pekerja. Ini sejenis asuransi kesehatan yang sudah dijalankan di lingkungan pegawai negeri - yang dikenal sebagai Askes. Kedua menteri tersebut dalam konperensi pers menyebutkan, surat keputusan bersama Depkes dan Depnaker bukan kewajiban. "Ini sukarela, belum wajib, karena belum ada undang-undangnya," ujar Soewardjono. Sementara itu, Sudomo mengakui bahwa pelayanan kesehatan, berupa tunjangan kesehatan di sejumlah perusahaan swasta, sudah cukup baik. "Yang sudah baik jangan diatur-atur lagi," katanya. Sedangkan yang belum oleh Sudomo diimbau untuk menyesuaikan diri dengan surat keputusan bersama itu. Di lingkungan DKI Jakarta, perusahaan swasta yang belum menunaikan kewajiban pemeliharaan kesehatan tenaga kerjanya bisa bergabung ke badan pengelola Dana Upaya Kesehatan Masyarakat (DUKM), yang disebut kedua menteri sebagai proyek percobaan. Apakah pelaksanaan DUKM akan mengakibatkan klinik-klinik perusahaan swasta dihentikan izinnya? "Yang sudah melaksanakan dan melebihi, jalan terus saja," ujar Sudomo. Sedangkan Soewardjono menilai, peleburan klinik-klinik itu ke DUKM bisa terjadi dalam jangka waktu panjang. DUKM adalah proyek pemerintah daerah dalam mengelola pelayanan kesehatan tenaga kerja perusahaan swasta. Menurut kakanwil Depkes DKI, dr. Soedarso, DUKM merupakan perpanjangan program Badan Penyelenggara Dana Pelayanan Kesehatan (BPDPK) - asuransi kesehatan pegawai Pemda DKI. Hingga kini, kata Soedarso, sudah 102 perusahaan menyatakan berminat bergabung dengan DUKM - yang direncanakan mulai berjalan 1 April mendatang. Pengembangan DUKM, yang juga sejenis asuransi kesehatan, selain dimotori Pemda DKI, konon didukung juga oleh Kadin, IDI, Irsjam (Ikatan Rumah Sakit Jakarta Metropolitan), SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar), dan PWI. Dalam pelaksanaan DUKM, lembaga-lembaga tersebut akan bergabung dalam Badan Musyawarah DUKM. Badan Pelaksana DUKM - yang diketuai dr. Soedarso - dibentuk gubernur, dengan tugas meliputi koordinasi sejumlah fasilitas kesehatan berikut tenaga medisnya serta perusahaan-perusahaan anggota. Untuk pengelolaan dana, ditunjuk Bank Pembangunan Daerah (Bapeda). Lembaga ini bertanggung jawab pada gubernur. Setiap tenaga kerja yang disertakan dalam DUKM dikenai premi (semacam iuran) Rp 2.500 per bulan, yang dibayar oleh perusahaan. Imbalannya: pelayanan kesehatan dari yang ringan sampai yang berat, termasuk persalinan, cuci darah, dan pemasangan alat pacu jantung - yang biayanya bisa mencapai jutaan rupiah. "Bayangkan, betapa besar untungnya peserta," ujar Soedarso bangga, sambil menyebutkan bahwa di Amerika Serikat premi asuransi kesehatan bisa mencapai US$ 70 per bulan. Penggabungan dana kesehatan perusahaan-perusahaan swasta ini mengikuti prinsip asuransn Semakin besar pesertanya, semakin kecil preminya. Seperti diutarakan Sudomo kepada wartawan, asuransi seharusnya bisa menurunkan jumlah dana kesehatan di perusahaan-perusahaan, yang menurut pengamatannya bisa mencapai 15% sampai 20% upah bulanan. Angka premi yang rendah itu bisa dicapai DUKM terutama karena mereka tak perlu menanamkan modal lagi. Fasilitas kesehatan yang disertakan sudah ada: 120 puskesmas, 27 rumah sakit, dan sekitar 165 dokter yang semuanya tersebar di lima wilayah DKI. Peserta DUKM, yang akan mendapat kartu keluarga, berhak berobat ke semua rumah sakit dan dokter yang telah ditunjuk. Setiap pengobatan akan dicatat pada kartu keluarga itu tanpa diminta bayaran apa pun. "Tidak ada yang memakai sistem kuitansi," ujar Soedarso. Seluruh pembayaran akan dilakukan tiap bulan oleh Badan Pelaksana DUKM berdasarkan tagihan rumah sakit, puskesmas, dan para dokter. Bisa dibayangkan dana yang berputar akan banyak sekali. Juga prosedur dan birokrasinya akan panjang pula. Karena itu, Sudomo, dalam konperensi pers, melihat bahwa hanya Perum Astek (Asuransi Sosial Tenaga Kerja) yang mampu mengelola dana ini. "Pengelolaan dana ini yang paling sulit ditangani," katanya. Mengapa? "Mengelola dana asuransi mengandung risiko yang sangat tinggi," ujar dr. Mohamad Hasan, seorang bekas pejabat tinggi Depkes. Dokter yang kini sedang menyiapkan disertasi tentang ekonomi kesehatan, khususnya - ekonomi pelayanan kesehatan (health care economics)- itu menganggap bahwa Bapeda bukan badan asuransi profesional. Pengelola asuransi kesehatan, menurut Hasan, biasanya digabungkan dengan asuransi lain, misalnya asuransi pensiun. "Maka, perputaran uang yang cepat pada asuransi kesehatan bisa diimbangi dengan perputaran asuransi pensiun yang berjangka panjang," katanya. Di samping itu, Hasan mengemukakan, asuransi kesehatan harus didasarkan tabel-tabel faktor risiko yang rumit karena tergolong asuransi sosial yang mengikuti asas kompensasi. "Kompensasi ini peka terhadap besarnya jumlah dan jenis pengobatan. Bank tak mungkin bisa memperhitungkannya," katanya. Lebih lanjut Hasan menguraikan, sekalipun faktor risiko juga ditekan lewat kontrol yang berlapis-lapis, baik medis maupun ekonomis, toh risiko bangkrut senantiasa terbuka. Mengingat keadaan tidak selalu bisa diramalkan. "Di negara maju, inilah yang ditentukan undang-undang," ujar Hasan. "Pemerintah wajib membayar kembali semua kerugian badan asuransi kesehatan yang bangkrut." Jim Supangkat. Laporan: Adyan Soeseno dan Indrayati, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini