SUDAH enam tahun lebih para industriwan bisa merasakan betapa nikmatnya berburu doiar. Kisah perburuan devisa itu dimulai dengan aba-aba Keputusan Menteri Keuangan RI - waktu itu Ali Wardhana - 15 November 1978. Beleid pemerintah yang populer dengan sebutan Kenop 78 itu memberikan pancingan yang mengangkat kurs dolar AS dari Rp 475 menjadi Rp 625. Yang lebih menggiurkan, sejak Januari 1979, menteri keuangan mulai mengeluarkan sertifikat ekspor (SE), antara lain untuk semen, besi beton, besi siku, benang kapas, kain kapas kembang, celana jin, kemeja batik, serta singlet dan celana dalam dari kaus. Barang-barang bersertifikat ekspor itu, yang dewasa ini sudah sekitar 2.000, bila diekspor diberi semacam subsidi yang besarnya antara 2,46- (benang kapas) dan 43,96% (celana jin) dari harga penjualan prangko kapal (FOB). Mendapatkan SE tidak semudah menelepon langganan. Sebab, dibutuhkan keuletan si-pengusaha. Menurut eksportir pakaian jadi, Poppy Dharsono, prosesnya begini. Eksportir harus mendapatkan dulu pembeli (importir) dari luar negeri. Kontrak pembelian kemudian dibuat dengan harga - FOB yang sudah ditentukan dalam daftar SE, yang tiap enam bulan diperbarui pemerintah. Untuk tekstil, diperlukan surat persetujuan ekspor produksi tekstil dari Kanwil Departemen Perdagangan. Kanwil akan memberikannya bila kuota masih ada, khususnya ke Eropa dan AS. Karena itu, pemohon harus mencantumkan siapa pembeli, siapa penerima barang, dan di mana tujuan ekspor tersebut. Beberapa tahun terakhir, eksportir yang tak mendapatkan kuota, kabarnya, bisa membeli kuota dari eksportir lain. Hal ini agaknya yang menyebabkan AS mengharuskan eksportlr menyertakan surat keterangan asal (certificate of origin). Sertifikat ini bisa dibuat sendiri oleh-pengusaha, bila tujuan ekspor barangnya ke AS. Untuk tujuan Hong Kong, surat keterangan asal cuma bisa diperoleh dari PT Sucofindo, sedangkan untuk tujuan Eropa bisa diminta dari Kanwil Perdagangan. Selain itu, masih juga diperlukan dokumen pemberitahuan ekspor barang -PEB) dari bank, dan bukti bahwa barang sudah diperiksa pembeli atau perwakilannya berupa certificate of inspection, serta surat pengapalan (bill of lading). Setelah semua dokumcn itu beres, barulah permohonan SE diajukan kepada Tim Harga Patokan dan SE. Tim dari unsur Departemer Perdagangan, Perindustrian, dan Keuangar ini menjanjikan bisa memprosesnya dalam 3-4 bulan. Tapi, menurut Poppy Dharsono, bisa sampai sembilan bulan belum juga lahir. Kalaupun SE itu sudah keluar. paling cepat dua minggu baru bisa dicairkan. Dan, masih perlu pemeriksaan bank, kemudian pernyataan dari bea cukai bahwa barang sudah diekspor mclalui BC. Balik lagi ke bank untuk sekali lagi diperiksa, kembali lagi ke BC untuk meminta dokumen pernyataan bahwa barang telah dikapalkan, akhirnya baru bisa minta pencairan di bank. Namun, banyak kalangan mengakui SE itu sangat membantu langkah-langkah mereka memngkatkan ekspor. Pernah mereka terpukul karena persentasc SE. diturunkan pemerintah, padahal resesi sudah mulai menggigit perekonomian negara-negara pengimpor komoditi Indonesia, 1981. Jeritan mereka, terutama dari kalangan industriwan tekstil, menyebabkan pemerintah melahirkan fasilitas perangsang baru, 1982, yakni kredit ekspor (KE). KE, yang dikategorikan kredit modal kerja dari Bank Indonesia ini, dapat dipakai untuk pembiayaan pengumpulan bahan baku, pengolahan, pengepakan, dan pengapalan barang ekspor. Bunganya yang 6% (untuk komodltl yang dlanggap maslh pcrlu promosl) dan 9% (untuk komoditi yang dianggap sudah kuat cukup murah dibandingkan kredit komersial berbunga 18%. Pada zaman susah uang tunai, akhir-akhir ini, tampaknya KE semakin banyak penggemarnya. (Lihat: Grafik). Menurut Zanzlbar, pemlhk enam pabrik karet di Padang, tahun lalu ia harus mengekspor dulu 700 ton per bulan, baru bisa mendapatkan KE sebesar Rp 1,3 milyar. Kredit diberikan bila ekspor sudah direalisasikan. Tapi ia hanya bisa mengambil untung 2% - 21%. "Meskipun bunga KE ditentukan 9/O untuk karet, ternyata dalam praktek bisa mencapai 10,75%," kata ketua Gabungan Pengekspor Karet Indonesia (Gapkindo), Harry Tanugraha. Soalnya, ekspor harus direalisasikan dulu, sehingga kredit baru diterima kira-kira enam buian kemudian. Sementara itu, bunga masih dihitung 15% - 19%. Perburuan devisa dolar, yang dilakukan Indonesia dan seluruh dunia di AS, menyebabkan AS berusaha memperkecil pintu impor. Mereka menuduh Indonesia melakukan sistem perdagangan yang tak wajar dengan sistem subsidi. Untung, Indonesia keburu menjadi anggota GATT (General Agreement on Tariff & Trade), sehingga AS, harus pikir-pikir dulu untuk melakukan tuntutannya lewat badan pengawas perdagangan internasional itu. Sementara. ini, agaknya, pemerintah Indonesia merasa sudah waktunya untuk mulai mendewasakan para industriwan dalam bisnis internasional, sehingga subsidi berbentuk SE dan l-E itu hendak dihapus. Akibatnya, ada pengusaha yang panas. Tapl ada pula yang berkepala dingln, yang mehhat bahwa ada jalan lain yang masih bisa diperbaiki untuk melapangkan perburuan dolar. Misalnya efisiensi bea cukai dan perkapalan. Max Wangkar Laporan Bambang Harymurti dan Budi Kusumah, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini