TEATER memang sebuah tontonan dalam arti tidak selalu lebih mengutarakan cerita, atau ide-ide, dibanding segi visual. Keyakinan ini - yang sebenarnya tidak baru tapi seakan pernah dilupakan-tampaknya disadari benar oleh empat grup drama peserta Temu Teater Dewan Kesenian Jakarta keenam, pekan lalu. Bahkan pada katalog Studiklub Teater Bandung, yang mementaskan Panji Koming, tertulis: "Menciptakan sebuah teater tidak sekadar memainkan sebuah naskah" (yang, kkususnya, hanya berisi cerita dan ide-ide). Itu bisa lebih dijelaskan oleh Aspar, sutradara sekaligus si empunya naskah Perahu Nuh II dari Ujungpandang, yang dalam acara simposium yang mengiringi pekan ini mengaku kagum kepada sandiwara Srimulat karena "spontanitas akting dan pengucapan dialognya yang wajar". Kecenderungan ini, dalam teater mutakhir, dimulai oleh Rendra - yang suka mementaskan naskah asing "secara lain" dan Arifin C. Noer. Tapi terasa menggebu-gebu pada Putu Wijaya. Pada Putu, pementasan sama sekali bukan mewujudkan naskah lewat aktor dan perlengkapan panggung. Naskah hanya embrio. Empat grup itu pun berada atau ingin berada dalam barisan itu. Yang paling jelas adalah kelompok Teater Ethika dari Jakarta. Sebenarnya, teater kampus Universitas Krisnadwipayana (Unkris) ini punya potensi pemain yang baik. Juga arif dalam menata pentas. Dengan empat kayu kaso ditegakkan di tengah arena, mereka membentuk kotak terbuka tinggi memanjang. Hanya ada atap kotak, dan pada atap itulah tokoh Bos berdiri tegak sepanjang pementasan yang sekitar satu jam. Lalu ada tali-tali menghubungkan atap kotak dengan keempat dinding Teater Arena. Lantai arena pun ditinggikan dengan dua trap. Dan hanya dengan itu terciptalah tempat bermain yang punya suasana. Tapi itulah: Korban - naskah karya Buddy W.S. Atmojo yang sekaligus sutradaranya - telah diperkosa demi munculnya tontonan. Dengan kata lain, cerita yang urut dan gamblang dalam naskah, tentang kelancungan dunia pendidikan (para kepala sekolah yang tak bekerja dengan baik, korupsi, suka mangkir), dipentaskan dengan semangat menggebrak - dengan imaji tertentu yang diusahakan muncul dari tata arena, dengan musik yang didominasi bunyi bambu ramai dipukuli, dengan gaya akting tidak realistis, yang semuanya tidak cocok dengan isi naskah yang kira-kira masih senada dengan drama macam Anton Chekov. Dipa, tokoh utama naskah ini, adalah bawahan yang setia melakukan tugas hingga menjadi korban kesetiaannya sendiri. Penampilannya mengingatkan orang pada tokoh Abu dalam Kapai-Kapai Arifin C. Noer. Celakanya, bila hampir seluruh dialog Kapai-Kapai merupakan satu bentuk puisi panjang, Korban tampil dengan dialog seharl-hari. Seandainya pementasan grup yang memenangkan festival teater antar perguruan tinggi se-Jakarta tahun lalu ini dilihat dari jauh, bisa jadi orang mengiranya pementasan Arifin C. Noer. Tapi begitu dialog terdengar, muncul kejanggalan: "Isi" dan bentuk berjalan sendiri-sendiri. Tidak separah Korban, grup teater dari Padang juga terasa mengabaikan "isi". Sutradara Wisran Hadi, yang punya latar belakang pendidikan seni rupa, telah dengan baik menyuguhkan adegan-adegan menarik. Properti, yang hanya sejumlah tikar dan buah kelapa, bisa memberikan imaji macam-macam: istana, medan tempur yang seru, dan lain-lain. Tapi Dara Jingga, naskah epik Wisran yang bercerita tentang kasus yang pernah terjadi antara kerajaan di Sumatera Barat dengan Singasari dan Majapahit di Jawa, kurang jelas maunya. Tak ada problematik yang terangkat dari serangkaian dialog para tokohnya. Problem utama memang fokus - pada tema kesejarahan ini. Pada Studiklub Teater Bandung, dengan sutradara Suyatna Anirun, kesadarannya tentang peristiwa pentas - seperti tertulis dalam brosur - ternyata tak muncul di panggung. Bandung tetap saja makmum dengan patuh pada naskah. Gerak para pemain pun terasa benar diatur pada jalur masing-masing. Sebuah pementasan yang kaku dan tanpa surprise. Tapi mungkin juga karena naskah. Saini K.M., penulisnya, mengangkat kartun karya Dwi Koen menjadi sebuah cerita utuh: dengan awal, perkembangan masalah, klimaks, dan antiklimaks. Padahal, Panji Koming dan Pailul - dua tokoh utama kartun itu - hidup dari banyolan, satire, dan sejenisnya. Sulit membayangkan sebuah cerita panjang terus-terusan menyuguhkan karikatur. Padahal, tanpa karakter karikatural, Pailul dan Koming hanya akan menjadi tokoh-tokoh yang datar. Soalnya memang jadi lain bila yang memainkan naskah ini semuanya pelawak - yang, juga, tidak terlalu setia. Maka, tampaknya Perahu Nuh 11 dari Ujungpandang paling menjadi tontonan yang layak. Dalam sandiwara ini para tokohnya tak diberi nama dan identitas. Semuanya baur - cuma sekumpulan manusia di sebuah pulau. Mereka saling mencurigai, menuduh, me!akukan intrik, menyulut peperangan, tapi akhirnya sebuah kesadaran - yang dari awal terasa sayup - semakin jelas. Yakni rasa kebersamaan dalam nasib: pulau yang mereka tinggali akan segera gersang. Dan merekapun mencari tempat baru, berlayar bersama-sama. Kapal pencarian itulah yang disebut Perahu Nuh 11. (Perahu Nuh I tentunya milik Nuh yang nabi itu). Tapi di panggung cerita tak seringkas itu. Aspar benar-benar menganggap naskahnya hanya sebagai janin yang lahir dan Amengalami proses dewasa di panggung. Panggung sendiri menJadi sebuah kancah yang ramai oleh suara buluh, teriakan, tapak-tapak kaki berlari, dialog yang membersitkan imaji, sugesti, asosiasi-asosiasi, lelucon, sadisme, kesunyian, perjuangan, pengkhianatan. Semua terasa dinamis dan bergaung. Dan untuk itu, ke-14 pemain Ujungpandang meyakinkan. Bahkan ketika salah seorang tiba-tiba memanjat tali naik ke atap panggung, bukan akrobatik murahan yang terasa hadir - tapi kejutan yang pas. Memang, Aspar, yang beberapa kali pegang peranan pada pementasan Arifin C. Noer, bisa mengingatkan orang pada "pengaruh Jakarta". Atau bahkan pada Putu Wijaya - dengan dialog-dialog yang tak setangkas dan se-"ngawur" pada Putu. Tapi inilah grup teater luar Jakarta yang menangkap dengan baik kecenderungan dunia teater sejak berdirinya Taman Ismail Marzuki tanpa terasa meniru. Bisakah tontonan panggung Jenis ini menjadi media ekspresi, tempat para aktivis dan penontonnya memperkaya pengalaman batin, menjadikan hidup lebih punya arti. Ini memang masih masa mencari bentuk bagi teater modern yang lebih relevan dengan lingkungannya di Indonesia. Mursal Esten dari Padang, misalnya, dalam diskusi tegas-tegas menunjuk pada teater tradisi sebagai sumber acuan. Di pihak lain, tokoh lama Asrul Sani meyakini, teater tradisional bukan idiom yang tepat buat teater masa kini. Yang mencoba berdiri di tengah adalah Saini K.M., yang menganggap bahwa baik yang tradisisonal maupun yang modern sama saja, selama sang dramawan sendiri tidak kreatif. Suara yang sama dikatakan dengan cara berbeda oleh Aspar. Rasanya, ucapan-ucapan itu bukan hal baru - sebagiannya sudah agak klise, yang lain terasa tidak begitu sinkron dengan kegiatannya sendiri. Seakan hanya pengisi waktu. Umar Kayam dalam pada itu mencoba memberikan peta permasalahannya. Ia bicara tentang aspek tradisi dan modernitas dan bagaimana kenyataan orang teater mengambil sikap. Tentu, pengamatan pada ladang yang luas, bisa berbagai (lihat: Kolom Umar Kayam). Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini