Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Peringatan buat simon

PB IDI memutuskan mencabut izin praktek Dr. Gunawan Simon yang dianggap tidak dapat membuktikan secara ilmiah metode pengobatannya dan tarifnya yang berlebihan untuk berpraktek bukan sebagai dokter tidak mudah. (ksh)

16 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI hari ini saya belum mendengar, atau belum dikasih tahu oleh siapa pun, bahwa rekomendasi IDI untuk izin praktek saya dicabut," ujar dr. Gunawan Simon kepada TEMPO, Senin pekan ini. Dokter yang dihebohkan punya metode baru ketika mengobati Almarhum Adam Malik, dan yang kini sedang menuntut dokter lain dengan dalih penghinaan itu, rupanya belum mendengar keputusan PB IDI yang bersidang Sabtu pekan lalu. Keputusan itu diambil dalam sebuah persidangan khusus di Jakarta yang dihadiri dr. Iwin Sumarman, ketua cabang Bandung, bersama dua wakil pengurus wilayah, Dr. Azrul Azwar, sekjen PB IDI, dan Prof. Dr. Tumbelaka, ketua MKEK (Majelis Kode Etik Kedokteran) yang juga ketua Badan Pembelaan Anggota. Azrul Azwar dalam keterangannya menyebutkan, pada pokoknya, Gunawan Simon antara lain dianggap tidak dapat membuktikan secara ilmiah metode pengobatan yang dilakukannya selama ini. Juga dinilai memasang tarif berlebihan. Sebelum penyidangan ini, wakil ketua PB IDI, dr. Kartono Mohamad, menegaskan bahwa sidang memasalahkan ucapan-ucapan dr. Gunawan yang bersangkutan dengan pengobatan Adam Malik. Bukan permasalahan baru, melainkan penyelesaian "tunggakan" IDI Cabang Bandung, yang sudah memeriksa Gunawan Simon sejak enam bulan lalu. Pemeriksaan Sabtu lalu itu memang berdasarkan berkas hasil pemeriksaan IDI Cabang Bandung, dan IDI Jabar selama ini. Terakhir, sidang dilakukan 28 Februari lalu di RSU Hasan Sadikin, Bandung. Gunawan Simon menyebutkan, sidang itu memasalahkan cara ia memeriksa dan cara ia mengobati pasien. Menurut prosedur, pencabutan rekomendasi seharusnya didahului dengan peringatan tertulis. Dan ini akan segera dilakukan oleh IDI Cabang Bandung. "Tapi itu hanya formalitas," ujar Azrul, "putusan PB IDI segera pula dijatuhkan." Sebab, menurut Azrul Gunawan Simon sudah pernah menyatakan permintaan maaf, tapi pada kenyataannya tidak menunjukkan penyesalan, dan berkeras pada sikapnya. "Kalau sampai minggu ini peringatan tertulis tidak dikirimkan oleh IDI Cabang Bandung, PB IDI akan langsung menjatuhkan keputusan," ujar Azrul, "karena ini termasuk kasus luar biasa." Iwin Sumarman, ketua Cabang Bandung, tak bersedia memberikan komentar. Namun, beberapa waktu lalu, kepada TEMPO Iwin menjelaskan, berkas IDI Bandung tentang Gunawan Simon sudah cukup lengkap. Antara lain, pemeriksaan obat-obat yang didapat dari beberapa pasien, dan Gunawan Simon sendiri. Obat-obat itu kemudian dianalisa oleh Departemen Farmasi ITB. Hasil analisa itu menunjukkan, obat-obat yang diberikan Gunawan Simon kelihatannya memang tidak baru. Bahkan tidak mengandung obat-obat tradisional. Dua orang dokter, yang tak mau disebutkan namanya, mengatakan bahwa dari hasil analisa, obat-obat itu mengandung: golongan opium, sitostatika (pencegah pembelahan sel kanker), preparat kortikosteroid (obat yang memiliki beberapa khasiat untuk beberapa penyakit), antibiotik, dan beberapa obat lain yang cukup dikenal. Simon sendiri, dalam sebuah wawancara dua pekan lalu, tetap tak bersedia menjelaskan rahasia obat-obat yang diberikan pada pasiennya. Ia dengan keras menyangkal pula menggunakan morfin - yang memang berbeda dari opium (candu). Sampai pekan ini ketika diwawancarai, Simon masih berkeras pada metode pengobatannya. Termasuk memberikan obat langsung pada pasiennya. Padahal, menurut dr. H. Sulaiman, kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Kodya Bandung, Gunawan Simon berjanji meninggalkan cara-cara itu. "Dalam pertemuan dengan pihak IDI Bandung, Kanwil Depkes, dan saya, dia berjanji menghentikan cara-cara pemeriksaan dan pengobatannya," ujar Sulaiman. "Dalam izin praktek yang diberikan Kanwil Depkes 'kan ada larangan memberi obat secara langsung kepada pasien," kata kepala DKK itu lagi. Sulaiman mengutarakan pula, atas permintaan IDI Bandung, dinas yang dipimpinnya pernah melakukan evaluasi menyeluruh tentang praktek Gunawan Simon. Evaluasi meliputi, antara lain, ruang kerja, obat-obat, dari mana obat-obat itu didapatkan, dan berapa niainya sebulan, juga tarif rata-rata. Tentang tarif, Sulaiman menyatakannya sangat tinggi, tanpa menyebut angka. Berdasarkan wawancara dengan beberapa pasien, TEMPO menemukan bahwa tarif Gunawan Simon rata-rata Rp 40.000 untuk sekali pemeriksaan. Selain ada yang mencapai Rp 125.000, ada pula yang mengaku membayar hanya Rp 4.000. Simon sendiri menyatakan, punya sejumlah pasien gratis - ia menunjukkan kartu-kartu bukti. Kakanwil Depkes Ja-Bar, dr. Rustandi, mengakui bahwa terdapat beberapa pengaduan tentang tingginya tarif Gunawan Simon, yang datang dari para pasien. Namun, menurut Rustandi, tak ada pengaduan perihal pengobatannya. Karena itu, Rustandi punya pandangan berbeda dalam hal pencabutan izin praktek Simon. "Kami akan membentuk tim khusus," katanya. Selain IDI, menurut Rustandi, tim mungkin juga memasukkan pendapat anggota masyarakat. "Dalam hal ini, pasien dr. Gunawan Simon," katanya. Wewenang pencabutan izin praktek memang terletak di tangan instansi yang dipimpinnya, walaupun secara prosedur sebaliknya izin tak mungkin dikeluarkan tanpa rekomendasi IDI. "Dia bisa praktek mungkin sebagai sinse," ujar kakanwil itu. Namun, dr. Sulaiman dari DKK berpendapat, tak mudah Simon untuk pindah menjadi sinse atau apa pun. Untuk itu, diperlukan izin dari kejaksaan, kemudian pendaftaran di DKK. Hal lain yang akan menyulitkan pula: bila Simon berpraktek sebagai bukan dokter, ia tak berhak membeli obat-obat berat "daftar G" - yang kini digunakannya untuk pengobatan. Ia tak boleh memasang papan dengan tanda dokter. Juga tak diperkenankan menggunakan peralatan kedokteran. Bahkan menyuntik pun tidak. Dengan kata lain, Gunawan Simon berhenti menjadi dokter, sekalipun memiliki ijazah dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Dekan FK Unpad, Dr. Djamhoer, M.S.P.H., sangat menyesalkan kasus alumnus FK Unpad itu. Namun, fakultas, kata ahli kebidanan itu, tak bisa berbuat banyak. Fakultas, menurut Djamhoer, tak punya wewenang untuk menilai wajar tidaknya praktek yang dijalankan seorang alumnus. Seluruhnya hak IDI dan instansi-instansi kesehatan resmi. Dan seorang dokter harus mempertanggungjawabkannya secara pribadi. "Fakultas," ujar Djamhoer lagi, "tak bisa memberikan semua segi. Selain pendidikan kualitas seorang dokter ditentukan pula oleh sifat pribadi dan lingkungannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus