AMERIKA, yang kaya raya itu, ternyata makin banyak menebar ranjau di pantainya bagi negeri berkembang. Sudah 10 negara lebih, dalam waktu kurang dari setahun. tersabet sejumlah ketentuan perdagangan AS yang proteksionistis. Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Muangthai, tahun ini, sampai termehekmehek dijepit Tariff Act of 1930. Dengan undang-undang ini, barang dagangan yang didakwa mendapat subsidi terancam bea"balasan" jika masuk AS. Denda minimal, sebesar subsidi yang diterima barang itu, langsung bisa dijatuhkan bila tidak ikut menandatangani Perjanjian Umum di bidang Perdagangan dan Tariff (GATT) tentang subsidi dan bea masuk tambahan. Jenis hambatan ini mulai dihidupkan kembali pertengahan lalu, sesudah Departemen Perdagangan AS menerima keluhan dari organisasi buruh tekstil dan pakaian jadi AS. Untuk melindungi buruh dan industri tekstil itu, pada tingkat pertama, Washington mengharuskan eksportir menyertakan surat keterangan asal (SKA). Dalam SKA (certificate of origin ) ini, eksportir diharuskan menjelaskan proses pembuatan pakaian jadi: dengan menyebut dari mana asal bahan baku, dan menguraikan ongkos apa saja yang membebani mata dagangan itu. Ketentuan ini juga melarang pembuatan pakaian jadi yang bagian demi bagiannya tidak dilakukan di satu negara. Para pengusaha Hong Kong, yang banyak mengupahkan proses menjahit dan pengiriman pakaian jadi dari Indonesia dan RRC, jelas kena palang pintu. Untung bagi eksportir Indonesia, mereka belum terkena Antid-Dumping Act 1921. Tapi karet alam Indonesia, jika mau dicari-cari alasannya, bisa terkena ketentuan ini - karena pabrikan di sini memperoleh kredit murah, dan penyusutan barang modalnya dipercepat. Jenis kompensasi semacam ini, oleh Washington, bisa dianggap semacam "subsidi" untuk menekan biaya produksi. Cukup tertutup rapat, bukan ? Tapi Presiden Ronald Reagan rupanya menganggap ranjau-ranjau itu belum cukup tangguh untuk melindungi industrl di dalam negerinya. Soalnya, pemulihan ekonomi di AS bahkan terancam, sesudah negeri itu dibanjiri barang-barang impor, hingga menyebabkan defisit perdagangannya mencapai US$ 130 milyar tahun lalu. Jadi, jangan kaget jika 30 Oktober 1984 lalu, Presiden Reagan buru-buru menandatangani undang-undang lain: Trade and Tariff Act 1984. Sedikitnya ada 200 perubahan terhadap peraturan perdagangan dan tarif lama, yang dianggap kurang menguntungkan industri AS. Jumlah barang yang bebas bea masuk antara lain dlsebut akan dikurangi dari yang sekarang masih 2.700 jenis. Sepatu, kopor, dan produk-produk dari kulit misalnya, diusulkan dikeluarkan dari daftar Generalized System of Preferences (GSP). Dan, jika suatu negara dianggap melakukan praktek perdagangan tidak fair, presiden diberi kuasa juga untuk mengeluarkan mata dagangan negara bersangkutan itu dari daftar GSP. Boleh jadi, dengan Trade and Tariff Act 1984, akan semakin banyak mata dagangan dari negara berkembang tidak bisa memasuki pasar AS karena harganya sulit untuk bersaing lagi. Pengamat ekonomi Dr. J. Panglaykim karena itu sangat heran, negara seperti AS yang dulu "gembar-gembor menganut asas perdagangan bebas" sekarang malah bersikap proteksionistis. "Aparat produksi di AS terbukti tidak kompetitif. Tindakan Reagan mempertahankan ketidak efisienan industri di sana," tambahnya. Pang juga heran karena ketentuan baru itu akan memperbolehkan pemerintah AS mengenakan bea masuk tambahan, jika suatu negara terbukti melakukan subsidi di hulu (upstream subsidies) bagi industrinya. Menurut anggapan sebuah sumber di Washington, pembebasan bea masuk, pemberian masa bebas pajak, penurunan tarif pajak, dan percepatan dalam menyusutkan barang modal bisa dianggap merupakan subsidi di hulu. Bahkan pemberian keringanan pajak, jika suatu perusahaan go public, juga dianggap subsidi. Alasannya: semua fasilitas yang diberikan dalam rangka menarik penanaman modal, pada akhirnya, dianggap bisa menekan biaya produksi barang yang dihasilkan industri bersangkutan. Pemberian fasilitas bagi para eksportir di Export Processing Zone (EPZ) dan kawasan industri juga dianggap suatu bentuk subsidi "terselubung". Kata Panglaykim, anggapan seperti itu mencerminkan makin sempitnya pandangan Washington. Padahal, "Soal penyusutan barang modal dipercepat 'kan merupakan beleid negara lain jadi nggak lucu kalau Reagan mau jadi polisi," katanya. Anehnya, dalam Trade and Tariff Act 1984 itu, presiden AS diminta melonggarkan ranjau penghalang bagi barang ekspor Israel, yang dikirim dari Free Trade Area Lucu memang, Jika barang ekspor negara lam yang dikirim dari EPZ bakal terkena bea masuk tambahan, dari Israel malah bakal dapat konsesi. "Ini 'kan namanya diskriminatif," kata seorang pengusaha. Jadi, hampir bisa dipastikan, dengan ketentuan baru itu, mata dagangan seperti kayu lapis dan karet, yang dapat Sertifikat Ekspor, akan terkena pula. Lalu bagaimana cara mengelakkannya? Fuady Mourad, direktur Panin Bank, punya saran: Agar pengusaha dan pemerintah mau mengurangi kehidupan ekonomi dengan biaya tinggi di sini. "Mental pengusaha kita juga perlu diperbaiki. Sebab, kalau sudah diproteksi, mereka biasanya tidur, tak berpikir lagi," katanya. Padahal, di luar, "Perubahan ekonomi terasa demikian cepat." Termasuk perubahan sikap AS, yang makin proteksionistis. Eddy Herwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini