Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari di bulan Juni. Muhammad Hasbi, waktu itu belum genap umur sebulan, terkena diare. Nurlela dan Ruslan, orang tua Hasbi, tergopoh-gopoh membawa si bayi ke Rumah Sakit Budi Asih, Jakarta Timur. Lemas lunglai si buyung. Dia kehilangan banyak cairan tubuh. Perawat dan dokter sigap bertindak.
Tak dinyana, dua pekan kemudian, Hasbi yang diare terpaksa menjalani amputasi. Tangan kiri Hasbi, yang menghitam dari ujung jari sampai siku, harus dipotong.
Pekan lalu, Tempo mengunjungi Hasbi. Bayi kecil yang kini berumur empat bulan ini terlelap dalam timangan sang biyung di rumahnya di Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. Nyenyak dia tidur. ”Kalau sudah pulas, dia tidak mudah bangun,” kata Nurlela, 24 tahun.
Ruslan, 25 tahun, mengisahkan kronologi peristiwa tragis yang dialami Hasbi. Awalnya, perawat memasang cairan infus di tangan kiri Hasbi. Merasa tenang karena anaknya berada dalam pengawasan ahli, Ruslan pun berangkat bekerja sebagai tenaga keamanan sebuah gedung di Jakarta Pusat. Hasbi yang dirawat inap di RS Budi Asih ditunggui sang ibu.
Keesokan harinya, Ruslan datang ke rumah sakit. Kali ini ada yang berubah. Infus yang kemarin terpasang di tangan kiri telah berpindah ke kaki kiri. ”Tenang saja, Pak. Ada pembekuan darah sehingga infus dipindah ke kaki,” kata Ruslan, menirukan ucapan seorang perawat. Ruslan sempat melihat ujung jari tangan kiri Hasbi berwarna kebiruan. Gamang, tapi dia tak tahu harus berbuat apa.
Pada hari keempat, jantung Ruslan berdegup kencang. Pihak rumah sakit meminta dia segera datang. ”Separuh tangan Hasbi membiru,” kata Ruslan. ”Menurut dokter, anak saya mengalami kelainan pembekuan darah.” Dokter juga menjelaskan berbagai kemungkinan penyebab munculnya penyakit itu. ”Saya orang awam, nggak paham penjelasan dokter,” katanya. ”Saya cuma ingin anak saya sehat.”
Ruslan pun manut ketika dokter merujuk anaknya ke Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta Barat. Sepuluh hari berlalu, kondisi Hasbi tidak kunjung membaik. Separuh tangannya hitam membusuk. Demi mencegah penjalaran kerusakan ke bagian tubuh yang lain, tangan kiri Hasbi terpaksa diamputasi.
”Ini kan aneh. Pasien datang dengan keluhan diare, kok berakhir dengan amputasi tangan,” kata Iskandar Sitorus. Ketua Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan ini yakin telah terjadi kesalahan prosedur yang dilakukan petugas medis RS Budi Asih. Kesalahan mungkin terletak pada pemasangan jarum infus atau kelebihan dosis obat. ”Ada indikasi malpraktek yang sudah kami laporkan ke polisi,” katanya.
Juru bicara RS Budi Asih, dr. Hamonangan, membantah tuduhan malpraktek. Menurut dia, apa yang terjadi pada Hasbi bukan kesalahan prosedur. Dokter sudah bertindak benar memasang jarum infus di tangan pasien. Setelah terjadi pembekuan darah, jarum infus dipindah ke kaki agar cairan infus dapat masuk ke dalam tubuh.
Belakangan baru diketahui bahwa si bayi mengidap gangguan pembekuan darah (disseminated intravascular coagulation, DIC). ”Kebetulan gejalanya muncul di tangan kiri, bekas tusukan jarum infus,” kata Hamonangan, ”Tapi bukan karena salah infus lalu tangan menjadi sakit.”
Secara klinis, seperti dijelaskan oleh Prof Dr Karmel Tambunan, Ketua Perhimpunan Trombosis Hemastosis Indonesia (PTHI), sindrom DIC memang muncul mendadak dan biasanya langsung parah. Umumnya pasien diketahui menderita DIC setelah gejalanya muncul dan darahnya diperiksa. ”Ini bisa karena faktor keturunan atau terinfeksi bakteri,” kata Karmel.
Gejala DIC juga tidak selalu sama. Ada pasien yang mengalami syok berupa penurunan tensi darah, kaki tangan dingin, dan nadi lemah. ”Ini yang merepotkan identifikasi,” ujarnya.
Karmel membenarkan bahwa suntikan atau jarum infus bukan penyebab DIC. Namun begitu, suntikan, luka, dan komplikasi kehamilan memang dikenal sebagai perangsang (stimuli) gejala DIC. Begitu stimuli DIC muncul, terjadilah bekuan-bekuan darah kecil yang tersebar dan mengacaukan lalu-lintas darah. Pasokan oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Risiko kerusakan organ yang parah dan mematikan pun menanti.
Benar, apa yang sesungguhnya terjadi pada Hasbi perlu penelusuran lebih dalam dan komprehensif. Ada-tidaknya malpraktek pun masih menjadi tanda tanya. Namun, niat Ruslan untuk maju ke meja hijau tidak surut. ”Biar pengadilan yang memutuskan,” kata Ruslan.
Suseno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo