Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jalan Tengah Belum Terjawab

DPR tetap meminta agar militer bisa diadili di peradilan umum. Dewan menawarkan digelarnya masa transisi.

18 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGEGOLKAN sebaris pasal yang bisa menggiring militer ke peradilan umum bukan perkara mudah bagi para politisi DPR. Sampai pekan lalu, upaya semua fraksi agar pemerintah menerima pasal ini belum berbuah. ”Kalau wakil pemerintah tak menerima usul DPR, kami akan tanya Presiden,” kata Wakil Ketua Panitia Khusus Peradilan Militer, Azis ­Syam­suddin, seusai rapat Badan Legislasi yang membahas RUU Peradilan Militer, kepada Tempo.

Sikap DPR ini buntut dari rapat kerja Panitia Khusus dengan Menteri Perta­hanan Juwono Sudarsono, Rabu dua pekan lalu. Kala itu, kepada pemerintah, DPR menawarkan masa transisi selama dua sampai tiga tahun jika UU Peradil­an Militer, yang kini dibahas itu, diberlakukan. Jalan tengah ini untuk men­ja­wab kebuntuan pembahasan RUU. Gan­jalannya, masalah yurisdiksi per­adilan militer dan pemeriksaan koneksitas yang diatur Undang-Undang tentang Peradilan Militer (UU No. 31/1997).

Para wakil rakyat berpendapat, mili­ter­ yang melakukan tidak pidana umum ­ha­rus dibawa ke peradilan umum. Kon­se­kuensinya, pengadilan koneksitas di­­ha­­pus. Ini tidak diterima pemerin­tah. Pe­­merintah ingin militer yang ter­libat tin­­dak pidana tetap di­bawa ke per­adil­an­ militer, dan koneksitas diper­tahankan.

DPR punya alasan untuk berkukuh meng­ubah UU Peradilan Militer yang di­anggap basi itu. Menurut Azis, reformasi peradilan militer merupakan amanat Ketetapan MPR tentang pemisahan TNI dan Polri, Ketetapan MPR tentang Pe­ran TNI dan Peran Polri, serta Undang-Undang tentang TNI. ”Jadi, harus dilaksanakan,” kata Azis.

Selama ini, menurut Azis, pemerintah menunjuk alasan psikologis dan infrastruktur sehingga usul DPR itu sulit diterima. Misalnya, soal polisi, jaksa, dan pengadilan yang dianggap tak siap mengadili militer. ”Kami tanya polisi, jaksa, dan pengadilan, mereka bilang siap,” katanya.

Sumber Tempo di Panitia Khusus me­nga­takan, justru militer yang tak siap. Ini, ujar sumber itu, terlihat pada perte­muan Panitia Khusus dengan Panglima­ TNI Jenderal Djoko Suyanto, akhir Mei lalu. Saat itu Panglima didampingi KSAD Jenderal Djoko Santoso, KSAL Lak­samana Slamet Soebijanto, dan KSAU Marsekal Herman Prayitno.

Dalam pertemuan tertutup itu, kata sang sumber, Panglima, KSAL, dan KSAU menyerahkan soal ini ke pemerin­tah dan DPR. Tapi KSAD menyampai­kan pendapat berbeda. Djoko menya­ran­kan undang-undang itu tidak diubah. ”Ke­sannya, Angkatan Darat tidak siap,” kata sumber itu.

Namun Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Ricardo Siagian menam­pik institusinya disebut tak setuju undang-undang itu diubah. ”Angkatan Darat bagian dari TNI. Jadi, sikap kami sama dengan TNI,” katanya. Kalaupun ada pendapat berbeda yang disampaikan KSAD, ujar Ricardo, itu biasa. ”Kan boleh punya pendapat beda.”

Ketua Panitia Khusus Andreas Parera ”memegang” jawaban lisan dan surat Panglima TNI pada Juli lalu. Dalam surat itu tersirat Panglima menyerahkan ini kepada pemerintah dan DPR. Hanya,­ Panglima meminta ekses-ekses peng­ubah­an tempat pengadilan itu di­per­ha­tikan. ”Ini yang menjadi dasar DPR mem­berikan solusi adanya masa transisi,”­ kata anggota Fraksi PDI Perjuangan ini.

Selama masa transisi dige­lar,­­­ ujar Andreas, TNI bisa me­­la­kukan sosialisasi agar se­ca­ra ber­tahap mereka siap. ”Ma­­sa tran­­sisi itu bisa juga di­guna­kan untuk mengubah Kitab Undang­-Undang Hukum Pidana Mi­li­ter,”­ ujar Andreas. Tapi so­al ma­­­sa tran­­­sisi yang ditawar­kan De­wan­ pada Rabu dua pekan la­­lu itu masih perlu dipelajari oleh Menteri Perta­hanan Juwono, dan pihaknya per­­­lu waktu un­tuk­ menja­wab. ”Tapi kami bukan­ mau meng­ulur-ulur waktu,” ujar Juwono.­ Hanya yang mengejutkan anggo­ta Dewan, Juwono meng­­ang­­gap waktu dua hingga tiga ta­­hun yang ditawarkan itu seba­gai waktu pembahasan RUU Per­adilan Militer. ”Kami ka­get juga mendengar Menteri Perta­hanan mengatakan itu,” kata Andreas.

Di mata Manajer Program Per­adilan Militer Imparsial, Do­ni Aryanto, pernyataan­ Juwono me­nguatkan indikasi pemerintah tak ber­niat mereformasi peradilan militer. Menurut Doni, permintaan ini bisa jadi suatu siasat. ”Dengan meng­ulur waktu, pemerintah bisa meng­amendemen UU TNI agar UU Peradilan militer tak perlu diubah,” ujarnya.

Direktur Harmonisasi Perundang-un­­­dangan Departemen Hukum, Wicipto Se­tiadi, menilai tudingan Imparsi­al terlalu dini. Menurut dia, sampai ki­ni pe­me­rin­tah belum mengeluarkan pen­da­pat so­al usulan transisi dari DPR. Ken­dati de­mikian, ia setuju UU Peradil­an Militer dan KUHP Militer dibenahi. Ada­pun soal amendemen UU TNI, me­nu­rut Wi­cipto, bisa dilakukan meski tak masuk prog­ram legislasi nasional. ”Kalau dianggap pen­ting, bisa dibahas,” ujarnya.

Jika UU TNI diamendemen, dampaknya akan ke mana-mana. Bahkan bisa jadi Undang-Undang Peradilan Militer tak berubah. ”Ini jelas kemunduran,” kata Andreas.

Abdul Manan, Aqida Swamurti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus