MEREKA tak pernah menyatakan keresahan. Apalagi mogok, tak mau
terbang. Dikenal sebagai pramugari udara, mereka sering
dibayangkan sebagai wanita-wanita manis dan ramah. Berpakaian
seragam rapi dan sesekali berlari-lari kecil melayani penumpang.
Gadis remaja tak sedikit yang mengimpikan gelar itu, pramugari
udara. Betapa tidak: bisa terbang ke mana-mana dan sepanjang
jalan menjadi pusat perhatian puluhan bahkan ratusan penumpang.
"Menjadi pramugari merupakan kebanggaan saya," tutur Lisbeth,
salah seorang pramugari GIA yang telah mengenal udara sejak
1972. Sejak Desember 1979 lalu ia telah menjadi Nyonya Muskita
dan sudah berniat suatu ketika "akan mendarat selama-lamanya"
untuk mendampingi suaminya yang kini bertugas di luar negeri.
Sebelum menyandang gelar pramugari Nyonya Muskita mendapat
pendidikan 4 bulan dan latihan 4 minggu. Setelah lulus ujian
baru diperkenankan mengikuti penerbangan domestik selama sebulan
Dengan pendidikan tambahan, penguasaan pesawat DC-8 dan DC-9, ia
dapat mengikuti penerbangan jalur (line) internasional.
Merawat Manusia
Ada kontrak mengikat setiap pramugari untuk tidak menikah selama
4 tahun setelah pendidikan. Kalau kontrak ini dilanggar dihajar
dengan denda ganti rugi yang besar. Bila selamat, setiap satu
tahun kontrak dapat diperpanjang dengan syarat: kondite baik,
kesehatan memungkinkan dan tidak hamil. Menikahpun sudah oke
bila telah lewat masa kontrak 4 tahun itu.
Nyonya Muskita sudah terbilang dalam kelompok pramugari senior
hingga berhak memakai "Wing Emas". Ini berarti ia sudah dapat
melayani penumpang kelas utama (VIP). Ia mengaku sangat
menyukai pekerjaannya. "Pekerjaan ini harus benar-benar dijiwai,
barulah terasa enaknya," ujarnya.
Sebagai senior Nyonya Muskita biasa bekerja 16 hari
berturut-turut. Menclok di beberapa kota mancanegara. Pada
saat-saat awal karirnya, jika singgah di sebuah negara, ia
manfaatkan untuk keliling kota, nonton, ke disco dan berbelanja.
"Umumnya pergi beramai-ramai. Kalau ada yang mempunyai pacar,
waktunya dipergunakan untuk pacar," kata Nyonya Muskita.
Sekembalinya dari perjalanan itu biasanya dapat libur antara 6-7
hari. Kalau perjalanannya lebih pendek, liburnya juga hanya 3-5
hari.
Selama 8 tahun merawat manusia di dalam kapal terbang, Nyonya
Muskita telah mengenal berbagai perangai penumpang. Katanya,
orang Italia terkenal rewel dan bandel, suka mengganggu,
teriak-teriak, melempari pramugari dengan bantal --dengan maksud
bercanda. Orang Prancis umumnya angkuh dan sombong. Orang Jepang
akan jadi anak manis sesudah diberi wiski dan air putih. Orang
Belanda memuja nasi. Yang menjadi favorit adalah orang Amerika.
"Mereka penuh pengertian dan tidak suka onar," kata pramugari
ini. Orang Indonesia? "Yah umumnya baik, tetapi ada juga yang
agak sombong, biasanya kalau baru pertama kali naik pesawat
terbang."
"Kita selalu berusaha menjadi tuan rumah yang baik," ujar nyonya
itu kemudian. Ia menyanggah sangkaan seolah-olah pramugari
Indonesia terlalu memanjakan orang asing. Malah menurutnya,
orang Indonesia memang kurang perhatian terhadap pramugari --
dibandingkan dengan orang asing. "Diberi ucapan selamat siang,
jalan begitu saja tanpa menoleh," ujarnya.
Bagi pramugari ini penerbangan haji amat melelahkan, membutuhkan
banyak kesabaran, tapi ia sangat menyukainya karena banyak yang
lucu. Ada penumpang yang tidak berani menyentuh makanan yang
dihidangkan. Ketika ditanya, langsung dijawab: "Lho saya takut
bayarnya mahal, saya hanya punya uang pas-pasan untuk makan di
Jedah saja." Setelah tahu gratis, langsung disikat bersih.
Limun & Bantal
Masih tentang jamaah haji, kalau satu minta limun atau bantal,
semua kemudian berteriak minta barang yang sama. Ada yang kagum
melihat kaki pramugari yang memakai stocking, langsung
memegangnya sambil berkata "Kok kakinya bagus ya?" Terhadap
barang-barang bawaannya para jamaah sangat fanatik. Kalau
dipindahkan langsung dikembalikannya ke tempat semula. Dan kalau
pesawat goncang, serempak berdoa.
Nyonya Muskita yang berkulit putih, rambut sepanjang bahu,
berwajah manis, pernah mendapat hukuman karena dipandang
melanggar disiplin. Suatu kali dalam perjalanan dari Bombay ke
Kairo. Di ibu kota Mesir ini ada waktu istirahat 3 hari. Kontan
ia mencuci seluruh pakaiannya. Nggak tahunya ada panggilan
mendadak untuk menggantikan crew yang lain. "Semua jadi panik,
karena tidak ada seragam yang kering," katanya. Akhirnya
disepakati terbang tanpa pakalan seragam. Ternyata penumpangnya
adalah kontingen "Garuda" yang dikirim ke Timur Tengah. Crew
pramugari minta maaf, tetapi tentara merasa jauh lebih senang
dilayani dengan pakaian biasa. Buntutnya, setelah sampai di
Jakarta crew dihajar hukuman grounded (tidak terbang) selama 2
bulan.
Gaji yang diterima Nyonya Muskita setiap bulan antara Rp 76.000
sampai Rp 80.000 -- sudah termasuk tunjangan-tunjangan.
Sebagaimana pramugari lainnya, ia memperoleh fasilitas satu
tiket gratis dengan tujuan semaunya dan 3 tiket yang harganya
hanya 10% dari harga biasa. Suami juga dapat satu tiket gratis.
Orang tua wajib bayar 25%, saudara 50%, kalau ingin menyicipi
perjalanan udara.
Dewi Suprapto, istri pembalap Tinton Suprapto, juga pernah
bekerja sebagai pramugari Garuda selama 6 tahun. Juni tahun lalu
ia mengundurkan diri dalam rangka memasuki kehidupan rumah
tangga. Ia mengakui bahwa pekerjaannya itulah yang mengantarkan
jodoh. Sekali peristiwa, Tinton yang tak biasa memakai GIA
ketinggalan pesawat di Hongkong. Akhirnya ia terpaksa pakai
Garuda, sambil mengeluh berkepanjangan tentang kurangnya
pelayanan penerbangan negaranya itu. Di situlah ia berkenalan
dengan Dewi, yang kemudian menjadi ratu rumah tangganya.
Selain menemukan jodoh Dewi juga punya pengalaman lain. Dalam
sebuah penerbangan haji, di tengah perjalanan pulang seorang ibu
yang berusia 80 tahun mengalami pendarahan. Mulanya disangka
menderita wazir. Di lapangan terbang Dubai yang menjadi tempat
persinggahan ketahuan, ada gangguan pada kantung rahim nenek
itu. Dokter menyarankan agar pasien dioperasi dan dipulangkan.
Tapi Station Manager Garuda setempat menentang karena peraturan
tidak mengi-zinkan penumpang pesawat haji meninggalkan pesawat
dalam keadaan sekarat sekalipun. Terjadi pertengkaran mulut
antara Dewi dengan Station Manager.
Akhirnya nenek itu tetap diangkut dengan pesawat itu. Dewi
ditugasi untuk bertindak sebagaimana yang diinstruksikan dokter
yaitu menolong wanita itu dengan pernapasan buatan. Darah keluar
terus. Selama 9 jam Dewi merawat terus dengan tabah. Di Surabaya
akhirnya nenek itu menghembuskan napas terakhir. "Saat itu saya
benar-benar merasa terharu," kata Dewi mengenangkan. Tapi apa
yang kemudian terjadi? Dewi dapat hukuman grounded karena berani
bertengkar dengan Station Manager.
Wiweko
Melayani penumpang VIP yang jumlahnya maksimum 24 orang bagi
Dewi tidak begitu melelahkan, meskipun harus memberi pelayanan
yang sebaik mungkin. Pernah ketanggor seorang nyonya yang
terbang dengan anjingnya. Binatang itu khusus dibelikan tiket
dan duduk di kursi, sehingga harus dilayani menurut hak yang
diperoleh penumpang lain. Nyonya itu setiap kali menegur, kalau
anjingnya kurang diperhatikan. Sambil mengusap-usap binatang
kesayangannya nyonya itu selalu membujuk "Oh darling, darling,
oh!"
Yang agak menegangkan adalah apabila Pak Wiweko, Dirut Garuda,
kebetulan ikut dalam pesawat. Pramugari merasa kecut hati,
karena kesalahan kecil bisa berakihat fatal. Kalau ketahuan
bahasa Inggrisnya kurang afdol, Wiweko langsung menanyakan nomor
si pramugari -- kemudian mengganti Wing emasnya dengan perak --
artinya hanya berhak melayani penumpang kelas ekonomi.
"Bayangkan betapa malunya seorang pramugari senior yang biasa
melatih atau mengajar yunior, harus bekerja bersama-sama dengan
mereka," kata Dewi.
Dewi memperoleh gaji lebih kurang sama besar dengan Nyonya
Muskita. Tapi menurut pengetahuannya, kalau berhenti seyogyanya
ia dapat bonus selama perpanjangan kontrak. Tetapi sampai
sekarang sepeserpun tidak sampai ke tangannya. Ia tak tahu apa
alasannya. Ia juga tidak mendapat uang pesangon.
Nastiti (26 tahun) sudah 7 tahun jadi pramugari di Merpati
Nusantara Airlines (MNA). "Dulu melihat kerja sebagai pramugari
itu kayaknya bagaimana, enak, jadi saya tertarik," ujarnya. Ia
berasal dari Yogya, anak ke-9 dari seorang pensiunan pegawai
PNKA. Mula bekerja gajinya hanya Rp 25 ribu. Sekarang gaji
pokoknya Rp 60 ribu. Rata-rata sebulan 80 jam terbang, dengan
tambahan uang terbang total penghasilannya sekitar Rp 100 ribu.
"Bagi saya yang masih bujangan, jumlah itu cukup," ujarnya.
Setiap hari Sabtu ia menerima jadwal terbang secara tertulis.
Tapi ia juga harus selalu siap untuk tugas-tugas mendadak,
misalnya ada carteran atau ada crew yang tiba-tiba berhalangan.
Baginya pekerjaan pramugari sama saja dengan pekerjaan lain,
tidak ada istimewanya. Ia hampir sudah menyinggahi semua kota di
Indonesia dan banyak kota di mancanegara. Yang membuatnya capek
adalah flight panjang dan kalau harus mengurus rombongan yang
banyak tingkah. Kadang-kadang Nastiti harus berhadapan dengan
penumpang yang sok. Diminta mengenakan sabuk pengaman, malah
menjawab: "Saya biasa naik jet, nggah usah diajarin." Biasanya
ini penumpang Indonesia.
Sangat Sensitif
Nirwaty (26 tahun) yang telah bekerja selama 5 tahun sebagai
pramugari Pelita Air Service, sering menjumpai hal-hal lucu
dalam pekerjaannya. Seorang penumpang pernah menggedor pintu
kamar kecil, karena tak bisa keluar. Ada pemuda lain,
kebingungan ingin buang air kecil. Ketika ditunjukkan kamar
kecil di belakang pesawat ia langsung pasang kuda-kuda hendak
kencing di depan toilet karena kebetulan di situ ada plastik
yang mirip ember. Waty segera memperingatkan, pemuda itu
tersipu-sipu.
Penumpang menurut Waty, sangat sensitif terhadap keadaan.
Tercium bau yang asing sedikit langsung ketakutan, disangkanya
pesawat terbakar. Ada yang cepat panik kalau pesawat menembus
cuaca buruk. Menenangkan jiwa penumpang adalah bagian dari tugas
pramugari. Kadang-kadang juga harus mengeluarkan tenaga ekstra
sebagai pengasuh bayi kalau ketanggor penumpang yang membawa
orok. Selama ibunya permisi ke belakang membuat susu, Waty
mengganti tugasnya. "Tapi saya senang," ujarnya.
Bagian dari keuntungan pramugari selain banyak pengalaman
melihat daerah lain, adalah berkenalan dengan para pejabat. Waty
pernah mengantar rombongan Wakil Presiden Adam Malik ke Kuba. Ia
juga sempat menyertai rombongan Presiden Soeharto ke London. Ia
meladeni dan mengenal dari dekat pemimpin-pemimpin itu. "Mulanya
sih canggung dan takut-takut, tapi sekarang sudah biasa," ujar
pramugari asal Sumatera Barat ini.
Meskipun capek, umumnya pekerjaan pramugari disenangi. Namun
banyak juga yang menganggap hal tersebut hanya sementara.
Seperti kata Nastiti: "Kini saya menyempatkan diri mengikuti
banyak kursus, kursus kesekretariatan misalnya. Saya sadar, saya
sekarang sudah harus punya planning untuk masa depan. Karena
pramugari hanya pekerjaan sementara, bukan karir."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini