Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Ia Cantik, Ia Sibuk, Selalu Tersenyum

Pengalaman beberapa pramugari udara seperti, ny. muskita, dewi suprapto, istri tinton, dll. dalam memberikan servis kepada konsumennya.

1 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA tak pernah menyatakan keresahan. Apalagi mogok, tak mau terbang. Dikenal sebagai pramugari udara, mereka sering dibayangkan sebagai wanita-wanita manis dan ramah. Berpakaian seragam rapi dan sesekali berlari-lari kecil melayani penumpang. Gadis remaja tak sedikit yang mengimpikan gelar itu, pramugari udara. Betapa tidak: bisa terbang ke mana-mana dan sepanjang jalan menjadi pusat perhatian puluhan bahkan ratusan penumpang. "Menjadi pramugari merupakan kebanggaan saya," tutur Lisbeth, salah seorang pramugari GIA yang telah mengenal udara sejak 1972. Sejak Desember 1979 lalu ia telah menjadi Nyonya Muskita dan sudah berniat suatu ketika "akan mendarat selama-lamanya" untuk mendampingi suaminya yang kini bertugas di luar negeri. Sebelum menyandang gelar pramugari Nyonya Muskita mendapat pendidikan 4 bulan dan latihan 4 minggu. Setelah lulus ujian baru diperkenankan mengikuti penerbangan domestik selama sebulan Dengan pendidikan tambahan, penguasaan pesawat DC-8 dan DC-9, ia dapat mengikuti penerbangan jalur (line) internasional. Merawat Manusia Ada kontrak mengikat setiap pramugari untuk tidak menikah selama 4 tahun setelah pendidikan. Kalau kontrak ini dilanggar dihajar dengan denda ganti rugi yang besar. Bila selamat, setiap satu tahun kontrak dapat diperpanjang dengan syarat: kondite baik, kesehatan memungkinkan dan tidak hamil. Menikahpun sudah oke bila telah lewat masa kontrak 4 tahun itu. Nyonya Muskita sudah terbilang dalam kelompok pramugari senior hingga berhak memakai "Wing Emas". Ini berarti ia sudah dapat melayani penumpang kelas utama (VIP). Ia mengaku sangat menyukai pekerjaannya. "Pekerjaan ini harus benar-benar dijiwai, barulah terasa enaknya," ujarnya. Sebagai senior Nyonya Muskita biasa bekerja 16 hari berturut-turut. Menclok di beberapa kota mancanegara. Pada saat-saat awal karirnya, jika singgah di sebuah negara, ia manfaatkan untuk keliling kota, nonton, ke disco dan berbelanja. "Umumnya pergi beramai-ramai. Kalau ada yang mempunyai pacar, waktunya dipergunakan untuk pacar," kata Nyonya Muskita. Sekembalinya dari perjalanan itu biasanya dapat libur antara 6-7 hari. Kalau perjalanannya lebih pendek, liburnya juga hanya 3-5 hari. Selama 8 tahun merawat manusia di dalam kapal terbang, Nyonya Muskita telah mengenal berbagai perangai penumpang. Katanya, orang Italia terkenal rewel dan bandel, suka mengganggu, teriak-teriak, melempari pramugari dengan bantal --dengan maksud bercanda. Orang Prancis umumnya angkuh dan sombong. Orang Jepang akan jadi anak manis sesudah diberi wiski dan air putih. Orang Belanda memuja nasi. Yang menjadi favorit adalah orang Amerika. "Mereka penuh pengertian dan tidak suka onar," kata pramugari ini. Orang Indonesia? "Yah umumnya baik, tetapi ada juga yang agak sombong, biasanya kalau baru pertama kali naik pesawat terbang." "Kita selalu berusaha menjadi tuan rumah yang baik," ujar nyonya itu kemudian. Ia menyanggah sangkaan seolah-olah pramugari Indonesia terlalu memanjakan orang asing. Malah menurutnya, orang Indonesia memang kurang perhatian terhadap pramugari -- dibandingkan dengan orang asing. "Diberi ucapan selamat siang, jalan begitu saja tanpa menoleh," ujarnya. Bagi pramugari ini penerbangan haji amat melelahkan, membutuhkan banyak kesabaran, tapi ia sangat menyukainya karena banyak yang lucu. Ada penumpang yang tidak berani menyentuh makanan yang dihidangkan. Ketika ditanya, langsung dijawab: "Lho saya takut bayarnya mahal, saya hanya punya uang pas-pasan untuk makan di Jedah saja." Setelah tahu gratis, langsung disikat bersih. Limun & Bantal Masih tentang jamaah haji, kalau satu minta limun atau bantal, semua kemudian berteriak minta barang yang sama. Ada yang kagum melihat kaki pramugari yang memakai stocking, langsung memegangnya sambil berkata "Kok kakinya bagus ya?" Terhadap barang-barang bawaannya para jamaah sangat fanatik. Kalau dipindahkan langsung dikembalikannya ke tempat semula. Dan kalau pesawat goncang, serempak berdoa. Nyonya Muskita yang berkulit putih, rambut sepanjang bahu, berwajah manis, pernah mendapat hukuman karena dipandang melanggar disiplin. Suatu kali dalam perjalanan dari Bombay ke Kairo. Di ibu kota Mesir ini ada waktu istirahat 3 hari. Kontan ia mencuci seluruh pakaiannya. Nggak tahunya ada panggilan mendadak untuk menggantikan crew yang lain. "Semua jadi panik, karena tidak ada seragam yang kering," katanya. Akhirnya disepakati terbang tanpa pakalan seragam. Ternyata penumpangnya adalah kontingen "Garuda" yang dikirim ke Timur Tengah. Crew pramugari minta maaf, tetapi tentara merasa jauh lebih senang dilayani dengan pakaian biasa. Buntutnya, setelah sampai di Jakarta crew dihajar hukuman grounded (tidak terbang) selama 2 bulan. Gaji yang diterima Nyonya Muskita setiap bulan antara Rp 76.000 sampai Rp 80.000 -- sudah termasuk tunjangan-tunjangan. Sebagaimana pramugari lainnya, ia memperoleh fasilitas satu tiket gratis dengan tujuan semaunya dan 3 tiket yang harganya hanya 10% dari harga biasa. Suami juga dapat satu tiket gratis. Orang tua wajib bayar 25%, saudara 50%, kalau ingin menyicipi perjalanan udara. Dewi Suprapto, istri pembalap Tinton Suprapto, juga pernah bekerja sebagai pramugari Garuda selama 6 tahun. Juni tahun lalu ia mengundurkan diri dalam rangka memasuki kehidupan rumah tangga. Ia mengakui bahwa pekerjaannya itulah yang mengantarkan jodoh. Sekali peristiwa, Tinton yang tak biasa memakai GIA ketinggalan pesawat di Hongkong. Akhirnya ia terpaksa pakai Garuda, sambil mengeluh berkepanjangan tentang kurangnya pelayanan penerbangan negaranya itu. Di situlah ia berkenalan dengan Dewi, yang kemudian menjadi ratu rumah tangganya. Selain menemukan jodoh Dewi juga punya pengalaman lain. Dalam sebuah penerbangan haji, di tengah perjalanan pulang seorang ibu yang berusia 80 tahun mengalami pendarahan. Mulanya disangka menderita wazir. Di lapangan terbang Dubai yang menjadi tempat persinggahan ketahuan, ada gangguan pada kantung rahim nenek itu. Dokter menyarankan agar pasien dioperasi dan dipulangkan. Tapi Station Manager Garuda setempat menentang karena peraturan tidak mengi-zinkan penumpang pesawat haji meninggalkan pesawat dalam keadaan sekarat sekalipun. Terjadi pertengkaran mulut antara Dewi dengan Station Manager. Akhirnya nenek itu tetap diangkut dengan pesawat itu. Dewi ditugasi untuk bertindak sebagaimana yang diinstruksikan dokter yaitu menolong wanita itu dengan pernapasan buatan. Darah keluar terus. Selama 9 jam Dewi merawat terus dengan tabah. Di Surabaya akhirnya nenek itu menghembuskan napas terakhir. "Saat itu saya benar-benar merasa terharu," kata Dewi mengenangkan. Tapi apa yang kemudian terjadi? Dewi dapat hukuman grounded karena berani bertengkar dengan Station Manager. Wiweko Melayani penumpang VIP yang jumlahnya maksimum 24 orang bagi Dewi tidak begitu melelahkan, meskipun harus memberi pelayanan yang sebaik mungkin. Pernah ketanggor seorang nyonya yang terbang dengan anjingnya. Binatang itu khusus dibelikan tiket dan duduk di kursi, sehingga harus dilayani menurut hak yang diperoleh penumpang lain. Nyonya itu setiap kali menegur, kalau anjingnya kurang diperhatikan. Sambil mengusap-usap binatang kesayangannya nyonya itu selalu membujuk "Oh darling, darling, oh!" Yang agak menegangkan adalah apabila Pak Wiweko, Dirut Garuda, kebetulan ikut dalam pesawat. Pramugari merasa kecut hati, karena kesalahan kecil bisa berakihat fatal. Kalau ketahuan bahasa Inggrisnya kurang afdol, Wiweko langsung menanyakan nomor si pramugari -- kemudian mengganti Wing emasnya dengan perak -- artinya hanya berhak melayani penumpang kelas ekonomi. "Bayangkan betapa malunya seorang pramugari senior yang biasa melatih atau mengajar yunior, harus bekerja bersama-sama dengan mereka," kata Dewi. Dewi memperoleh gaji lebih kurang sama besar dengan Nyonya Muskita. Tapi menurut pengetahuannya, kalau berhenti seyogyanya ia dapat bonus selama perpanjangan kontrak. Tetapi sampai sekarang sepeserpun tidak sampai ke tangannya. Ia tak tahu apa alasannya. Ia juga tidak mendapat uang pesangon. Nastiti (26 tahun) sudah 7 tahun jadi pramugari di Merpati Nusantara Airlines (MNA). "Dulu melihat kerja sebagai pramugari itu kayaknya bagaimana, enak, jadi saya tertarik," ujarnya. Ia berasal dari Yogya, anak ke-9 dari seorang pensiunan pegawai PNKA. Mula bekerja gajinya hanya Rp 25 ribu. Sekarang gaji pokoknya Rp 60 ribu. Rata-rata sebulan 80 jam terbang, dengan tambahan uang terbang total penghasilannya sekitar Rp 100 ribu. "Bagi saya yang masih bujangan, jumlah itu cukup," ujarnya. Setiap hari Sabtu ia menerima jadwal terbang secara tertulis. Tapi ia juga harus selalu siap untuk tugas-tugas mendadak, misalnya ada carteran atau ada crew yang tiba-tiba berhalangan. Baginya pekerjaan pramugari sama saja dengan pekerjaan lain, tidak ada istimewanya. Ia hampir sudah menyinggahi semua kota di Indonesia dan banyak kota di mancanegara. Yang membuatnya capek adalah flight panjang dan kalau harus mengurus rombongan yang banyak tingkah. Kadang-kadang Nastiti harus berhadapan dengan penumpang yang sok. Diminta mengenakan sabuk pengaman, malah menjawab: "Saya biasa naik jet, nggah usah diajarin." Biasanya ini penumpang Indonesia. Sangat Sensitif Nirwaty (26 tahun) yang telah bekerja selama 5 tahun sebagai pramugari Pelita Air Service, sering menjumpai hal-hal lucu dalam pekerjaannya. Seorang penumpang pernah menggedor pintu kamar kecil, karena tak bisa keluar. Ada pemuda lain, kebingungan ingin buang air kecil. Ketika ditunjukkan kamar kecil di belakang pesawat ia langsung pasang kuda-kuda hendak kencing di depan toilet karena kebetulan di situ ada plastik yang mirip ember. Waty segera memperingatkan, pemuda itu tersipu-sipu. Penumpang menurut Waty, sangat sensitif terhadap keadaan. Tercium bau yang asing sedikit langsung ketakutan, disangkanya pesawat terbakar. Ada yang cepat panik kalau pesawat menembus cuaca buruk. Menenangkan jiwa penumpang adalah bagian dari tugas pramugari. Kadang-kadang juga harus mengeluarkan tenaga ekstra sebagai pengasuh bayi kalau ketanggor penumpang yang membawa orok. Selama ibunya permisi ke belakang membuat susu, Waty mengganti tugasnya. "Tapi saya senang," ujarnya. Bagian dari keuntungan pramugari selain banyak pengalaman melihat daerah lain, adalah berkenalan dengan para pejabat. Waty pernah mengantar rombongan Wakil Presiden Adam Malik ke Kuba. Ia juga sempat menyertai rombongan Presiden Soeharto ke London. Ia meladeni dan mengenal dari dekat pemimpin-pemimpin itu. "Mulanya sih canggung dan takut-takut, tapi sekarang sudah biasa," ujar pramugari asal Sumatera Barat ini. Meskipun capek, umumnya pekerjaan pramugari disenangi. Namun banyak juga yang menganggap hal tersebut hanya sementara. Seperti kata Nastiti: "Kini saya menyempatkan diri mengikuti banyak kursus, kursus kesekretariatan misalnya. Saya sadar, saya sekarang sudah harus punya planning untuk masa depan. Karena pramugari hanya pekerjaan sementara, bukan karir."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus