BELUM selesai menghalau pukat harimau kini nelayan tradisional
di Kepulauan Riau harus berhadapan dengan muroami, jenis pukat
Jepang. Bisa diduga kalau bentrokan sewaktu-waktu dapat meletus
pula. Bulan lalu misalnya, sekelompok nelayan dari Desa
Mentebung, Kecamatan Tambelan, turun anak-beranak menyerang
muroami yang sedang menangkap ikan di perairan Pulau Mentebung.
Mereka bersenjata kayu nibung yang ditajamkan. Untung awak kapal
muroami segera kabur, hingga bentrokan itu tidak memakan korban.
Begitu ganaskah muroami? Menurut Luzon Lanjumin, Kepala Dinas
Perikanan Kepulauan Riau, alat ini tidak serakus pukat harimau.
Cara beroperasinya juga statis, yaitu dengan memasang pukat
secara tetap antara 2 karang. Pemasangannya pun tidak bisa di
sembarang tempat karena sangat tergantung pada keadaan arus dan
angin. Setelah pukat dipasang, awak kapal turun ke laut
menggiring ikan falangis (delah) yang bersembunyi di celah-celah
karang ke arah pukat dengan alat semacam rantai besi yang
berdering-dering. "Tapi rantai besi itu tidak sampai merusak
keutuhan karang," kata Luzon.
Menurut Luzon pula, mata jaring muroami berukuran 1,5 inci
seperti yang diizinkan, "hingga anak-cucu ikan masih bisa
lolos." Lagi pula muroami tidak bisa menjaring ikan dekat pantai
yang merupakan daerah operasi nelayan tradisional. Ikan falangis
alias ikan ekor kuning itu pun hanya terdapat di karang-karang,
"bukan sejenis ikan pancing yang biasa diburu nelayan," tambah
Luzon.
Rp 10 Juta Semusim
Saat ini baru 7 muroami yang diizinkan beroperasi di perairan
Riau. Menurut Dinas Perikanan setempat, perairan di sini masih
menyimpan sekitar 90 ribu ton falangis tiap kmÿFD. Dan selama ini
baru 5% saja yang ditangkap. Jadi menurut Luzon, "kalau muroami
beriktikad baik sebenarnya tak perlu mengganggu sumber rezeki
nelayan."
Tapi mengapa bentrok? Menurut Razak, bentrokan itu gara-gara
musim barat. Di musim begini muroami terpaksa berlindung di
kawasan pantai -- sambil menangkap ikan. Dan kepergok nelayan
tradisional. Tapi menurut seorang awak muroami, mereka
sebenarnya hanya korban penyaluran rasa kesal para nelayan yang
selama ini merasa rezeki mereka banyak dirampas nelayan asing.
Para awak muroami yang beroperasi di Kepulauan Riau ternyata
berasal dari Pulau Teledong, Teluk Jakarta.
Satu unit muroami dikontrak Rp 10 juta semusim (6 bulan). Sekali
merentang jaring alat ini dapat menangguk 2-3 ton ikan. Dengan
harga ikan delah rata-rata Rp 400/kg, tak sulit mereka menutup
harga kontrak.
Sebaliknya para nelayan tradisional tetap saja "dapat pagi makan
pagi". Maka bisa difaham kalau Eddiwan, Ketua Komisi IV DPR-RI
dan salah seorang Ketua DPP HNSI, amat prihatin melihat
ketimpangan penghasilan dua golongan nelayan di Riau itu.
"Nelayan tradisional tidak sempat merlikmati produksi ikan yang
lebih banyak untuk diekspor ke Singapura dan Malaysia," kata
Eddiwan yang akhir Desember 1979 lalu meninjau ke sana.
Untuk meningkatkan penghasilan nelayan tradisional, mulai
Februari baru lalu Pemda Kalimantan Timur mengizinkan PT Tirta
Raya Mina memperkenalkan alat penangkap ikan lain yang disebut
pukat cincin (purst seine) kepada para nelayan tradisinya di
sana, opersinya di Selat Makasar, berukuran 3040 ton dilengkapi
ruang pendingin, dipasang pada kedalaman 60-90 meter di daerah
20-30 mil dari pantai, "hingga tidak mengganggu operasi para
nelayan tradisional," seperti kata Ir. Kaspul Basran, Kepala Sub
Pemasaran Dinas Perikanan Kal-Tim.
Pukat ini juga untuk menangkap gerombolan ikan di permukaan air
yang disebut pelagic fish alias ikan kembung. Bentuk pukat ini
persegi panjang, tanpa kantung dan ikan diperangkap dengan
melingkarkan jaring. Setelah ikan digiring dengan alat penghalau
dan terkurung jaring, bagian bawah ditutup dengan menarik "tali
kolor" lewat cincin-cincinnya.
Tapi pukat cincin ini pula yang pernah dilabrak nelayan
tradisional di Muncar, Banyuwangi, beberapa waktu lalu. (TEMPO,
29 Desember 1979).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini