Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Info Kesehatan

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anak Penyuka TV Rentan Asma

SEMAKIN banyak alasan membatasi anak menonton televisi. Studi terbaru di Inggris menyebutkan anak-anak yang menatap layar TV lebih dari dua jam per hari lebih besar risikonya terserang asma. Hasil ini didapat setelah penelitian atas lebih dari 3.000 anak baru lahir hingga sebelas tahun yang mengalami masalah pernapasan.

Riset University of Glasgow, Skotlandia, ini dimuat di HealthDay News pekan lalu. Setiap tahun, para orang tua diminta melaporkan semua gejala asma pada anak mereka. Peneliti juga memantau kebiasaan anak-anak itu, termasuk menonton televisi, yang dimasukkan ke aktivitas nonfisik.

Ternyata mereka yang sejak kecil doyan menghabiskan waktu di depan TV dua kali lebih besar risikonya terserang asma dibanding yang jarang menonton. Hasil penelitian ini tak membedakan jenis kelamin dan berat badan si anak.

Dokter Andrea Sherriff dari University of Glasgow menyatakan asma berkaitan dengan perilaku tak aktif (sedentary behavior) dan kegiatan fisik. Pola bernapas anak sangat ditentukan aktivitasnya sehari-hari. Kurang bergerak sama dengan memicu perubahan di jantung dan menyebabkan sesak napas.

Kerja Lembur Picu Penyakit Jantung

BEKERJA di malam hari bisa menyebabkan perubahan hormon dan metabolisme tubuh. Akibatnya, risiko kegemukan, diabetes, dan serangan jantung pun meningkat. Penelitian terbaru ini dipublikasikan di edisi online Proceedings of the National Academy of Sciences awal bulan ini.

Frank Scheer, anggota tim peneliti dari Brigham and Women’s Hospital and Harvard Medical School, Boston, mengadakan tes laboratorium terhadap sejumlah pekerja malam—pria dan wanita—selama sepuluh hari. Hasilnya, para ”kalong” ini mengalami perubahan level gula dan insulin, meski mereka tak punya sejarah diabetes. Hormon pengatur berat badan, leptin, berkurang. Ini merupakan gejala awal kegemukan dan serangan jantung. Sejumlah peserta mengalami kenaikan tekanan darah di siang hari.

Para pekerja malam sebelumnya kerap dihubungkan dengan problem pencernaan, kelelahan, dan kesulitan tidur. Komplikasi macam ini muncul karena irama hidup seseorang bertentangan dengan ritme hidup normal: beraktivitas di siang hari, tidur di malam hari, atau disebut circadian. ”Mengubah ritme circadian memicu kekacauan metabolisme tubuh,” kata Dr Joseph Bass dari Feinberg School of Medicine, Northwestern University, Chicago.

Diet Terbaik: Makan Sedikit

BINGUNG menurunkan berat badan? Atau sudah mencoba berbagai jenis cara diet tapi tetap bertahan gendut? Peneliti dokter Frank Sacks, dosen Harvard School of Public Health, Amerika Serikat, menyarankan: makanlah sedikit. Tak jadi masalah dari mana asal kalori, apa makanan Anda, yang penting batasi asupan makanan. Riset ini dipublikasikan di New England Journal of Medicine akhir Februari lalu.

Sacks dan timnya menganalisis 811 pasien obesitas di Massachusetts dan Louisiana. Mereka secara acak dibagi dalam empat jenis diet sehat: lemak rendah atau lemak tinggi dan protein rata-rata atau tinggi. Berat badan para peserta penelitian ini turun rata-rata 5,9 kilogram dalam enam bulan—apa pun jenis diet yang mereka jalani. Tidak satu pun dari keempat jenis diet itu lebih unggul. Yang sukses adalah mereka yang makan sedikit.

Pria Gemuk, Seks Tak Prima

KEGENDUTAN tidak hanya mengganggu penampilan, tapi juga urusan ranjang. Semakin gemuk pria, semakin besar perubahan hormonnya dan semakin buruk kehidupan seksnya. Penelitian dari University of Utah, Amerika Serikat, ini dipublikasikan di Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism bulan ini.

Sebelumnya sudah ada studi tentang kaitan antara kegemukan dan berkurangnya jumlah sperma. Pria pun menjadi tidak subur. Ternyata, lebih dari itu, ukuran pinggang pria juga mencerminkan ketidakberesan kehidupan seksualnya.

Para peneliti memeriksa berat, indeks massa tubuh (BMI), dan hormon reproduksi 64 pria di awal dan di akhir studi yang berlangsung dua tahun ini. Para peserta juga diwawancarai soal kualitas kehidupan seksual mereka.

Hasilnya: semakin tinggi bobot dan BMI pria, semakin rendah hormon testosteronnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus