Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARWOTO menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca. Berseragam pilot maskapai Garuda Indonesia, Senin dua pekan lalu, ia tidak menyangka jaksa akan menuntut dirinya empat tahun penjara. ”Saya akan membuktikan yang saya lakukan itu benar,” ujar pria 46 tahun itu dengan raut muka muram saat meninggalkan ruang sidang Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta.
Nama Marwoto, pilot lulusan Akademi Penerbangan Curug pada 1985, ”mengangkasa” saat pesawat Garuda 737-400 yang dikemudikannya dari Jakarta gagal mendarat dengan mulus di Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, 7 Maret 2007. Burung besi berbobot 53,9 ton itu ”meloncat-loncat” tiga kali di bandara hingga roda depannya mencelat, sebelum menerjang ujung landas pacu, dan lantas meluncur ke areal persawahan.
Badan pesawat yang membawa 133 penumpang dan lima awak itu patah dan terbakar. Tercatat, 20 penumpang dan satu awak pesawat meninggal. Seorang awak kabin dan sebelas penumpang lainnya luka berat.
Penyidik kepolisian, yang menelisik kecelakaan tersebut, menyatakan pengemudi pesawat merupakan orang yang harus bertanggung jawab. Delapan bulan kemudian Marwoto, sang pilot, ditetapkan menjadi tersangka. Berkasnya kemudian bergulir ke persidangan pada 24 Juli 2008.
Di Indonesia, ini adalah kasus pertama seorang pilot diadili karena profesinya. Jaksa menjerat Marwoto melanggar Pasal 479G Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal yang mengatur perihal kealpaan yang menyebabkan pesawat celaka.
Marwoto dianggap mengabaikan peringatan dari ground proximity warning system (GPWS) dan kopilot Gagam Saman Rohmana, yang menyatakan pesawat harus naik atau terbang kembali. ”Yang kami persoalkan kelalaiannya,” kata jaksa penuntut, Djamin Susanto.
Tuduhan ini tak disetujui M. Assegaf, pengacara Marwoto. Menurut dia, pesawat yang dikemudikan kliennya tak bisa dikendalikan ketika akan mendarat. ”Pesawat tiba-tiba turun.”
Sebelum ada peringatan dari GPWS dan Gagam, ujar Assegaf, Marwoto sudah berusaha mengangkat hidung pesawat, untuk naik lagi, namun tak berhasil karena setir pesawat berat sekali. ”Ada yang nggak beres nih,” kata Assegaf menirukan ucapan Marwoto.
Dalam persidangan, menurut Assegaf, tak ada satu pun keterangan saksi dan ahli yang memberatkan kliennya. Sejumlah saksi hanya menjelaskan kondisi pesawat yang melewati landasan dan terbakar. ”Itu fakta yang tidak usah dibuktikan,” katanya. Adapun ahli dari pilot senior Garuda menyatakan, memang para pilot harus ekstra-hati-hati jika mendaratkan pesawat di Bandara Adisutjipto. Itu lantaran landasan bandara di kota gudeg tersebut pendek dan tidak ada area penyelamatan atau runway and safety area (RESA).
Sebenarnya ada pula tiga saksi dari tim investigasi Australia yang seharusnya dihadirkan. Tapi mereka menolak hadir dan memberikan keterangan dengan alasan terikat Undang-Undang Investigasi Keselamatan Transportasi di negara mereka.
Selain Marwoto, kata Assegaf, yang mengetahui keadaan di kokpit ketika itu adalah Gagam. Namun, dalam kesaksiannya, Gagam mengaku pingsan. Dalam situasi yang kritis itu, menurut Assegaf, kliennya harus segera mengambil keputusan. ”Dengan kondisi semacam ini, apakah masih beralasan untuk mengatakan Marwoto melakukan kelalaian?” katanya. Dengan semua keadaan seperti itulah, ujar Assegaf, Marwoto tidak bisa dinyatakan melakukan kesalahan. ”Itu pasal untuk pembajakan,” katanya. ”Lagi pula, sudah ada Undang-Undang Penerbangan, kenapa yang diterapkan KUHP?”
Presiden Federasi Pilot Indonesia, Manotar Napitupulu, menyatakan pengadilan tidak dapat memberikan sanksi kepada pilot. Yang berwenang, ujarnya, Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara Departemen Perhubungan dan maskapai penerbangan tempat pilot bekerja.
Pengadilan terhadap Marwoto ini, menurut Manotar, menunjukkan bahwa Indonesia telah melanggar resolusi Organisasi Keselamatan Penerbangan Dunia (International Civil Aviation Organization/ICAO), yang isinya melarang kriminalisasi dalam kecelakaan penerbangan. Menurut Manotar, kasus yang menimpa Marwoto membuat pilot Indonesia maupun luar negeri khawatir. Asosiasi pilot Inggris, ujarnya, telah menyurati federasi mereka, yang isinya mereka khawatir jika menerbangkan pesawat di wilayah Indonesia. ”Karena, kalau sampai terjadi sesuatu, mereka bisa ditangkap,” ujarnya.
Kendati sarat pertentangan, toh jaksa yakin tuduhan kepada Marwoto sudah tepat. ”Tidak ada yang kebal hukum di Indonesia. Ini risiko pekerjaan,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, Fora Noenoetitoe. Mengenai penggunaan Undang-Undang Penerbangan, Djamin mengatakan, ”Hingga kini belum ada hukum acara penerbangannya.”
Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Topo Santoso, dalam undang-undang khusus atau lex specialis, memang tidak disebutkan ketentuan pasal sekian dalam KUHP tidak berlaku dengan undang-undang tersebut. ”Sehingga tidak ada larangan untuk menerapkan KUHP,” ujarnya.
Jika perkara ini nanti sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, ujar Topo, apa pun keputusannya akan menjadi yurisprudensi terhadap kasus serupa. ”Itu akan menjadi patokan,” katanya.
Rini Kustiani, Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo