GARA-GARA peristiwa berdarah. Awal April lalu Mayor Pur. (AD)
D. P. Matondang, Kepala Otorita Parkir Wilayah Jakarta Barat,
telah tewas ketika terjadi perkelahian rebutan rezeki antara
anggota Hansip dan anggota parkir DKI Jaya Dua hari setelah
peristiwa naas itu Taman Buaya Indonesia Jaya DKI, yang letaknya
di jalan Bandengan Utara dan tidak jauh dari lokasi perkelahian,
diperintahkan untuk ditutup sementara oleh Direktorat II DKI
(Ketertiban Umum).
Tidak ada ketegasan apakah ada kaitan antara pembunuhan dan
pertunjukan buaya yang kian hari kian banyak menarik perhatian.
Yang diketahui "secara resmi, 'kan tidak ada ijin," kata Wakil
Humas DKI, Suyono Ruslan. Namun resmi atau tidak resmi,
pertunjukan buaya ini sudah berjalan sejak Maret 1977. Bahkan
selama jangka waktu tersebut pihak Taman Buaya selalu rajin
menyetor pajak tontonan sebanyak 20% dari hasil penjualan karcis
masuk. Hari-hari libur harga karcis Rp 250 untuk orang dewasa
dan Rp 100 untuk anak-anak. Dan paling sedikit laku 1000 helai
karcis untuk setiap hari libur.
Pemilik Taman Buaya, Lukman Arifin, memang hanya mendapat ijin
untuk membuka restoran yang menunya di samping bakso dan bakmi
juga menjual sate biawak dan kadang-kadang pula sate buaya.
Lukman gemar beternak buaya. Mulai dari beberapa ekor saja,
rupanya dia semakin mujur dalam hal mengumpulkan buaya. Karena
selain mendatangkan dari berbagai tempat di Indonesia, Lukman
juga banyak menetaskan dari telur. Akhir Mei lalu binatang
piaraan yang aneh itu sudah sampai 700 ekor.
Karena jumlahnya ratusan itulah, pemiliknya mulai kewalahan
memberi makan. Setiap hari Lukman harus belanja daging atau ikan
tidak kurang dari Rp 35.000 untuk umpan buaya-buayanya. Karuan
saja, dengan tidak masuknya karcis pertunjukan, berarti
buaya-buaya tersebut mulai terserang KKM, kemungkinan kurang
makan. Biarpun Lukman berpendapat bahwa buaya bisa tahan tidak
makan selama 3 bulan, setidaknya kemungkinan besar mereka akan
terserang KKG, kemungkinan kekurangan gizi.
Taman Buaya Indonesia Jaya DKI menyajikan pertunjukan buaya
dengan manusia dan manusia dengan ular yang cukup mengundang
penonton. Anak buah Lukman Arifin selalu mempunyai kebolehan
untuk bermain-main dengan ular atau buaya: walaupun cuma
berguling-guling bagaikan teman kecil bergelut memang
pertunjukannya sendiri tidak seberapa hebat. Tapi suasana yang
diciptakan pawang Arsyad, seperti lehernya yang berkalung taring
buaya, semedi, mulut komat-kamit lalu menyemburkan air putih ke
moncong "anak-anaknya", memang terasa menyeramkan juga. 30 orang
karyawan yang masih ada hubungan sanak saudara Lukman Arifin
mengurus dan sebagian bertindak menjadi pawang ratusan ekor
buaya ditempatkan berjejal di beberapa kolam yang berair hijau.
Oknum Buaya
Pemda DKI mempertimbangkan, semakin banyaknya buaya peliharaan
Lukman, sedikit banyak mengganggu kehidupan lingkungan. Biarpun
belum ada tetangga Taman Buaya yang pernah digerayangi, tapi
ketika kawasan Bandengan banjir seperti tahun lalu, kabarnya ada
oknum buaya sempat berjalan-jalan kian ke mari. "Karena tidak
ada ijin itulah," kata Wakil Humas DKI Suyono Ruslan, "jadi
untuk sementara pertunjukan dilarang."
Lukman dapat menunjukkan perkara ijin sudah dimintanya sejak dua
tahun lalu. Waktu itu Nopember 1977, surat permintaan ijinnya
memakai nama Yayasan Penyayang Binatang Buaya. Pihak Direktorat
III DKI yang tugasnya memberi ijin segala pertunjukan di wilayah
Jakarta merasa keberatan. Namanya "penyayang binatang," tapi
"terbukti dia juga mengadakan penyembelihan biawak dan ular,"
demikian pejabat Direktorat III DKI drs. Tamsil Sofyan pernah
berkata. Waktu itu disarankan agar nama "penyayang binatang"
diganti saja.
Sementara ijin tertulis belum keluar pertunjukan jalan terus.
Dan DKI juga menerima pajak tontonan. Setahun kemudian, Nopember
1978, sekali lagi surat dilayangkan ke DKI. Kali ini kepala
surat sudah memakai nama Taman Buaya Indonesia Jaya. Surat ini
sudah diparaf Tamsil Sofyan pada hari yang sama. "Dan kami tetap
menunggu," kata Lukman Arifin, sampai pertunjukan dilarang
secara lisan saja 3 April lalu.
Teluk Gon
Pemda DKI bukannya tidak mau tahu keruwetan Lukman. "Kasihan
juga kalau buaya itu kelaparan," demikian Gubernur DKI
Tjokropranolo pernah berkata. 8 Juni kemarin Lukman dipanggil
berunding. Disepakati: Karena Bandengan Utara kini menjadi
tempat pemukiman yang ramai, buaya-buaya yang ratusan jumlahnya
itu harus pindah ke Ancol atau kebun binatang Ragunan.
Untuk sementara Kepala Sub Direktorat Kebudayaan, Hiburan &
Rekreasi (Direktorat III) drs. Tamsil Sofyan kemudian memberi
ijin tidak tertulis, hanya sekedar isyarat "lampu hijau,"
perpanjangan masa pertunjukan 6 bulan lagi. Setelah itu, lokasi
buaya di Bandengan Utara harus pindah.
Rencananya Lukman akan memindahkan arena pertunjukannya ke
Ancol. Sedangkan peternakannya akan pindah ke Teluk Gong dekat
Muara Kapuk.
"Saya punya tanah seluas 5 hektar di situ," ujar Lukman.
Suratman, Humas Taman Buaya Indonesia Jaya menambahkan: "Untuk
pembiakan ternak buaya, kami sudah ada ijin dari dinas PPA." PPA
adalah anak bagian Departemen Pertanian untuk Direktorat
Perlindungan & Pengawetan Alam.
Lukman mengaku pencinta buaya. "Saya ini kalau sudah di kandang
buaya, seperti ketemu pacar saja." Biarpun cinta buaya, tetapi
Lukman semustinya memerlukan bimbingan dari seorang dokter
hewan. Agar buaya itu bisa berkembang lebih baik lagi. Sebab
dari 400 butir telur buaya yang didapatnya tahun ini, hanya 50
ekor yang lestari menetas. Sisanya, mati bayi, karena perawatan
yang kurang sempurna. Sekedar saran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini