Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Buaya-buaya Menjelang Pindah

Taman Buaya Jakarta milik Lukman Arifin, diperintahkan untuk ditutup sementara oleh direktorat II DKI. Rencananya lukman memindahkan arena atraksi buaya ke Ancol, peternakan buayanya ke teluk gong. (il)

23 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GARA-GARA peristiwa berdarah. Awal April lalu Mayor Pur. (AD) D. P. Matondang, Kepala Otorita Parkir Wilayah Jakarta Barat, telah tewas ketika terjadi perkelahian rebutan rezeki antara anggota Hansip dan anggota parkir DKI Jaya Dua hari setelah peristiwa naas itu Taman Buaya Indonesia Jaya DKI, yang letaknya di jalan Bandengan Utara dan tidak jauh dari lokasi perkelahian, diperintahkan untuk ditutup sementara oleh Direktorat II DKI (Ketertiban Umum). Tidak ada ketegasan apakah ada kaitan antara pembunuhan dan pertunjukan buaya yang kian hari kian banyak menarik perhatian. Yang diketahui "secara resmi, 'kan tidak ada ijin," kata Wakil Humas DKI, Suyono Ruslan. Namun resmi atau tidak resmi, pertunjukan buaya ini sudah berjalan sejak Maret 1977. Bahkan selama jangka waktu tersebut pihak Taman Buaya selalu rajin menyetor pajak tontonan sebanyak 20% dari hasil penjualan karcis masuk. Hari-hari libur harga karcis Rp 250 untuk orang dewasa dan Rp 100 untuk anak-anak. Dan paling sedikit laku 1000 helai karcis untuk setiap hari libur. Pemilik Taman Buaya, Lukman Arifin, memang hanya mendapat ijin untuk membuka restoran yang menunya di samping bakso dan bakmi juga menjual sate biawak dan kadang-kadang pula sate buaya. Lukman gemar beternak buaya. Mulai dari beberapa ekor saja, rupanya dia semakin mujur dalam hal mengumpulkan buaya. Karena selain mendatangkan dari berbagai tempat di Indonesia, Lukman juga banyak menetaskan dari telur. Akhir Mei lalu binatang piaraan yang aneh itu sudah sampai 700 ekor. Karena jumlahnya ratusan itulah, pemiliknya mulai kewalahan memberi makan. Setiap hari Lukman harus belanja daging atau ikan tidak kurang dari Rp 35.000 untuk umpan buaya-buayanya. Karuan saja, dengan tidak masuknya karcis pertunjukan, berarti buaya-buaya tersebut mulai terserang KKM, kemungkinan kurang makan. Biarpun Lukman berpendapat bahwa buaya bisa tahan tidak makan selama 3 bulan, setidaknya kemungkinan besar mereka akan terserang KKG, kemungkinan kekurangan gizi. Taman Buaya Indonesia Jaya DKI menyajikan pertunjukan buaya dengan manusia dan manusia dengan ular yang cukup mengundang penonton. Anak buah Lukman Arifin selalu mempunyai kebolehan untuk bermain-main dengan ular atau buaya: walaupun cuma berguling-guling bagaikan teman kecil bergelut memang pertunjukannya sendiri tidak seberapa hebat. Tapi suasana yang diciptakan pawang Arsyad, seperti lehernya yang berkalung taring buaya, semedi, mulut komat-kamit lalu menyemburkan air putih ke moncong "anak-anaknya", memang terasa menyeramkan juga. 30 orang karyawan yang masih ada hubungan sanak saudara Lukman Arifin mengurus dan sebagian bertindak menjadi pawang ratusan ekor buaya ditempatkan berjejal di beberapa kolam yang berair hijau. Oknum Buaya Pemda DKI mempertimbangkan, semakin banyaknya buaya peliharaan Lukman, sedikit banyak mengganggu kehidupan lingkungan. Biarpun belum ada tetangga Taman Buaya yang pernah digerayangi, tapi ketika kawasan Bandengan banjir seperti tahun lalu, kabarnya ada oknum buaya sempat berjalan-jalan kian ke mari. "Karena tidak ada ijin itulah," kata Wakil Humas DKI Suyono Ruslan, "jadi untuk sementara pertunjukan dilarang." Lukman dapat menunjukkan perkara ijin sudah dimintanya sejak dua tahun lalu. Waktu itu Nopember 1977, surat permintaan ijinnya memakai nama Yayasan Penyayang Binatang Buaya. Pihak Direktorat III DKI yang tugasnya memberi ijin segala pertunjukan di wilayah Jakarta merasa keberatan. Namanya "penyayang binatang," tapi "terbukti dia juga mengadakan penyembelihan biawak dan ular," demikian pejabat Direktorat III DKI drs. Tamsil Sofyan pernah berkata. Waktu itu disarankan agar nama "penyayang binatang" diganti saja. Sementara ijin tertulis belum keluar pertunjukan jalan terus. Dan DKI juga menerima pajak tontonan. Setahun kemudian, Nopember 1978, sekali lagi surat dilayangkan ke DKI. Kali ini kepala surat sudah memakai nama Taman Buaya Indonesia Jaya. Surat ini sudah diparaf Tamsil Sofyan pada hari yang sama. "Dan kami tetap menunggu," kata Lukman Arifin, sampai pertunjukan dilarang secara lisan saja 3 April lalu. Teluk Gon Pemda DKI bukannya tidak mau tahu keruwetan Lukman. "Kasihan juga kalau buaya itu kelaparan," demikian Gubernur DKI Tjokropranolo pernah berkata. 8 Juni kemarin Lukman dipanggil berunding. Disepakati: Karena Bandengan Utara kini menjadi tempat pemukiman yang ramai, buaya-buaya yang ratusan jumlahnya itu harus pindah ke Ancol atau kebun binatang Ragunan. Untuk sementara Kepala Sub Direktorat Kebudayaan, Hiburan & Rekreasi (Direktorat III) drs. Tamsil Sofyan kemudian memberi ijin tidak tertulis, hanya sekedar isyarat "lampu hijau," perpanjangan masa pertunjukan 6 bulan lagi. Setelah itu, lokasi buaya di Bandengan Utara harus pindah. Rencananya Lukman akan memindahkan arena pertunjukannya ke Ancol. Sedangkan peternakannya akan pindah ke Teluk Gong dekat Muara Kapuk. "Saya punya tanah seluas 5 hektar di situ," ujar Lukman. Suratman, Humas Taman Buaya Indonesia Jaya menambahkan: "Untuk pembiakan ternak buaya, kami sudah ada ijin dari dinas PPA." PPA adalah anak bagian Departemen Pertanian untuk Direktorat Perlindungan & Pengawetan Alam. Lukman mengaku pencinta buaya. "Saya ini kalau sudah di kandang buaya, seperti ketemu pacar saja." Biarpun cinta buaya, tetapi Lukman semustinya memerlukan bimbingan dari seorang dokter hewan. Agar buaya itu bisa berkembang lebih baik lagi. Sebab dari 400 butir telur buaya yang didapatnya tahun ini, hanya 50 ekor yang lestari menetas. Sisanya, mati bayi, karena perawatan yang kurang sempurna. Sekedar saran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus