BALAI Seni Rupa Jakarta sempat juga mengumpulkan 50 lukisan
karya 27 pelukis wanita dari berbagai daerah -- dengan persiapan
hanya dua minggu. Para pelukis berasal dari Jakarta, Bandung,
Yogyakarta dan Semarang. Pameran, berlangsung 14 Juni-15 Juli,
diselenggarakan antara lain untuk ikut merayakan HUT DKI Jakarta
ke-52.
Harapan adanya perbedaan khas antara karya pelukis wanita dengan
pria, agaknya memang terlalu dicari-cari. Adapun soal jarangnya
pelukis wanita tampil dalam pameran tunggal, mungkin disebabkan
karena mereka memang kurang produktif. Padahal hasil mereka --
dilihat dari pameran ini -- cukup pantas untuk sebuah pameran
sendirian.
Sri Yunnah misalnya, yang pernah duduk di ASRI Yogya 1958-62.
Paling tidak karya dekoratifnya, yang mengambil bentuk ragam
hias sebagai motif, enak dilihat -- dan sebagai hiasan dinding
semarak. Juga Timur Bjerknes yang selalu menggambar bunga. Ada
kelebihan pada nyonya jebolan Seni Rupa ITB itu: suasana mistis
pada Bunga-bunganya. Mungkin karena bunga yang digambarnya
secara realistis itu hanya berlatar belakang putih kertas.
Maryati Affandi
Erna Pirous -- isteri pelukis AD Pirous -- menyuguhkan wajah
seorang perempuan dengan akrilik yang digunakan, secara cat air.
Bauran warnanya memang sedap dipandang, tapi jangan harap wajah
perempuan di situ seperti dalam lukisan Basuki Abdullah. Erna
menampilkan satu rupa dengan mata melotot, rambut tak keruan,
wajah yang telah mengalami merah-hijaunya hidup.
Warga Bandung yang lain, Umi Dachlan dan Herry Makmun,
menampilkan lukisan non-figuratif. Seperti sudah sering ditulis
orang, Umi memang masih berbau dosennya: Achmad Sadali. Memang
ada perbedaan. Kalau Sadali menyukai warna berat coklat, biru
tua, hitam, merah darah, Umi suka yang lebih cerah. Tapi Herry
Makmun yang masih mahasiswa Seni Rupa ITB lebih cerah lagi. Dan
baik komposisi goresan maupun warnanya lebih terasa puitis.
Sapuan warna berkabutnya -- sedikit mengingatkan karya almarhum
Zaini -- barangkali yang membedakannya dari jenis non-figuratif
Seni Rupa ITB yang biasanya berbentuk masif.
Tentu saja di antara yang dari Yogya tak ketinggalan Kartika
Affandi. Biasa hadir dengan pameran tunggal, tampil dalam
pameran bersama kaumnya, puteri sulung Affandi ini memang hanya
pas-pasan. Satu-satunya yang membuat karyanya menarik tak lain
karena dia bergaya Affandi. Juga yang bernama Maria Tjui. Tapi
pada Tjui memang ada yang lain dan menyolok: pelototan catnya
secara keseluruhan tidak membentuk wujud obyek, tapi lebih
merupakan hiasan-hiasan. Sedikit jauh melihat lukisannya, yang
tertangkap bukan lagi bentuk tapi seperti karya nonfiguratif.
Tak berarti dia punya kelebihan bobot.
Satu lagi yang bergaya Affandi adalah isteri pematung Eddy
Sunarso, Kustiyah, yang memang suka melukis bunga kamboja. Yang
ditampilkan kali ini kemboja dalam vas. Memang kurang segar, dan
susunan batang-batangnya terasa aneh: terlalu patah-patah, tak
meyakinkan bahwa pelukisnya pernah melihat secara benar
bagaimana batang kamboja. Tapi Laut Maduranya lumayan -- meski
kapal-kapal nampak agak ruwet. Di sinilah perbedaan pokok antara
Affandi dan yang mencoba mengikuti gayanya. Keruwetan pelototan
Affandi tidak berarti keruwetan dalam bentuk dan komposisi obyek
-- yang tetap terjaga.
Dua nama yang kali ini memang pantas disebut adalah Maryati
Affandi -- ibu Kartika, isteri Affandi -- dan Ida Hajar, 37
tahun, sarjana muda ASRI Yogya 1967. Maryati tampil dengan dua
sulaman -- dan dua keuntungan sekaligus dimanfaatkan dengan
baik: warna benang yang memang cerah dan tekstur timbul sulaman
yang memang tak dibuat-buat. Affandi sendiri pernah iri melihat
"kenaifan" karya isterinya. Tapi ini memang wajar. Dalam usia 63
tahun, cukup tenar karena nama suaminya, apalagi yang diharap
dari hidup ini. Dengan demikian karyanya bersih dari pretensi
-- seperti lukisan kanak-kanak.
Adapun Ida Hajar tampil dengan tiga lukisan besar: satu cat
minyak dan dua batik. Masih seperti dulu-dulu: menampilkan
figur-figur mirip karya Picasso: orang-orang berlengan bulat
dengan wajah yang dahi dan hidungnya merupakan garis lurus.
Dengan batik memang tak banyak yang bisa diketengahkan seperti
dalam cat minyaknya. Sebab kecuali bentuk, Ida agaknya lebih
terdukung oleh warna-warna dominan yang diselipkan di sana-sini:
jingga atau biru yang muncul dari kontur hitam dan latar putih.
Yang ditampilkannya memang bukan karya terbaiknya. Toh, ia
tampak paling menarik di antara 50 karya yang lain.
Sudarmadji, Direktur Balai Seni Rupa, menceritakan susahnya,
menyelenggarakan pameran ini. Untuk rencana yang sudah agak
lama, persetujuan Pemda DKI rupanya baru turun akhir Mei
sementara pameran sudah harus dibuka pertengahan Juni untuk HUT
DKI. Itulah kenapa tak semua pelukis wanita -- terutama dari
luar Jawa -- bisa dihubungi. Dan kenapa pelukis wanita? "Balai
Seni Rupa yang hampir tiga tahun berdiri ini, rasanya masih
terpencil. Mungkin dengan pameran pelukis wanita, namanya
sedikit populer dan banyak dikunjungi," kata Sudarmadji. Dan
memang benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini