Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ada ida, ada haryati

Pameran lukisan karya 27 pelukis wanita di balai seni rupa, jakarta dalam rangka hut dki jakarta ke-425. dipamerkan 50 lukisan dari berbagai daerah. (sr)

23 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BALAI Seni Rupa Jakarta sempat juga mengumpulkan 50 lukisan karya 27 pelukis wanita dari berbagai daerah -- dengan persiapan hanya dua minggu. Para pelukis berasal dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Semarang. Pameran, berlangsung 14 Juni-15 Juli, diselenggarakan antara lain untuk ikut merayakan HUT DKI Jakarta ke-52. Harapan adanya perbedaan khas antara karya pelukis wanita dengan pria, agaknya memang terlalu dicari-cari. Adapun soal jarangnya pelukis wanita tampil dalam pameran tunggal, mungkin disebabkan karena mereka memang kurang produktif. Padahal hasil mereka -- dilihat dari pameran ini -- cukup pantas untuk sebuah pameran sendirian. Sri Yunnah misalnya, yang pernah duduk di ASRI Yogya 1958-62. Paling tidak karya dekoratifnya, yang mengambil bentuk ragam hias sebagai motif, enak dilihat -- dan sebagai hiasan dinding semarak. Juga Timur Bjerknes yang selalu menggambar bunga. Ada kelebihan pada nyonya jebolan Seni Rupa ITB itu: suasana mistis pada Bunga-bunganya. Mungkin karena bunga yang digambarnya secara realistis itu hanya berlatar belakang putih kertas. Maryati Affandi Erna Pirous -- isteri pelukis AD Pirous -- menyuguhkan wajah seorang perempuan dengan akrilik yang digunakan, secara cat air. Bauran warnanya memang sedap dipandang, tapi jangan harap wajah perempuan di situ seperti dalam lukisan Basuki Abdullah. Erna menampilkan satu rupa dengan mata melotot, rambut tak keruan, wajah yang telah mengalami merah-hijaunya hidup. Warga Bandung yang lain, Umi Dachlan dan Herry Makmun, menampilkan lukisan non-figuratif. Seperti sudah sering ditulis orang, Umi memang masih berbau dosennya: Achmad Sadali. Memang ada perbedaan. Kalau Sadali menyukai warna berat coklat, biru tua, hitam, merah darah, Umi suka yang lebih cerah. Tapi Herry Makmun yang masih mahasiswa Seni Rupa ITB lebih cerah lagi. Dan baik komposisi goresan maupun warnanya lebih terasa puitis. Sapuan warna berkabutnya -- sedikit mengingatkan karya almarhum Zaini -- barangkali yang membedakannya dari jenis non-figuratif Seni Rupa ITB yang biasanya berbentuk masif. Tentu saja di antara yang dari Yogya tak ketinggalan Kartika Affandi. Biasa hadir dengan pameran tunggal, tampil dalam pameran bersama kaumnya, puteri sulung Affandi ini memang hanya pas-pasan. Satu-satunya yang membuat karyanya menarik tak lain karena dia bergaya Affandi. Juga yang bernama Maria Tjui. Tapi pada Tjui memang ada yang lain dan menyolok: pelototan catnya secara keseluruhan tidak membentuk wujud obyek, tapi lebih merupakan hiasan-hiasan. Sedikit jauh melihat lukisannya, yang tertangkap bukan lagi bentuk tapi seperti karya nonfiguratif. Tak berarti dia punya kelebihan bobot. Satu lagi yang bergaya Affandi adalah isteri pematung Eddy Sunarso, Kustiyah, yang memang suka melukis bunga kamboja. Yang ditampilkan kali ini kemboja dalam vas. Memang kurang segar, dan susunan batang-batangnya terasa aneh: terlalu patah-patah, tak meyakinkan bahwa pelukisnya pernah melihat secara benar bagaimana batang kamboja. Tapi Laut Maduranya lumayan -- meski kapal-kapal nampak agak ruwet. Di sinilah perbedaan pokok antara Affandi dan yang mencoba mengikuti gayanya. Keruwetan pelototan Affandi tidak berarti keruwetan dalam bentuk dan komposisi obyek -- yang tetap terjaga. Dua nama yang kali ini memang pantas disebut adalah Maryati Affandi -- ibu Kartika, isteri Affandi -- dan Ida Hajar, 37 tahun, sarjana muda ASRI Yogya 1967. Maryati tampil dengan dua sulaman -- dan dua keuntungan sekaligus dimanfaatkan dengan baik: warna benang yang memang cerah dan tekstur timbul sulaman yang memang tak dibuat-buat. Affandi sendiri pernah iri melihat "kenaifan" karya isterinya. Tapi ini memang wajar. Dalam usia 63 tahun, cukup tenar karena nama suaminya, apalagi yang diharap dari hidup ini. Dengan demikian karyanya bersih dari pretensi -- seperti lukisan kanak-kanak. Adapun Ida Hajar tampil dengan tiga lukisan besar: satu cat minyak dan dua batik. Masih seperti dulu-dulu: menampilkan figur-figur mirip karya Picasso: orang-orang berlengan bulat dengan wajah yang dahi dan hidungnya merupakan garis lurus. Dengan batik memang tak banyak yang bisa diketengahkan seperti dalam cat minyaknya. Sebab kecuali bentuk, Ida agaknya lebih terdukung oleh warna-warna dominan yang diselipkan di sana-sini: jingga atau biru yang muncul dari kontur hitam dan latar putih. Yang ditampilkannya memang bukan karya terbaiknya. Toh, ia tampak paling menarik di antara 50 karya yang lain. Sudarmadji, Direktur Balai Seni Rupa, menceritakan susahnya, menyelenggarakan pameran ini. Untuk rencana yang sudah agak lama, persetujuan Pemda DKI rupanya baru turun akhir Mei sementara pameran sudah harus dibuka pertengahan Juni untuk HUT DKI. Itulah kenapa tak semua pelukis wanita -- terutama dari luar Jawa -- bisa dihubungi. Dan kenapa pelukis wanita? "Balai Seni Rupa yang hampir tiga tahun berdiri ini, rasanya masih terpencil. Mungkin dengan pameran pelukis wanita, namanya sedikit populer dan banyak dikunjungi," kata Sudarmadji. Dan memang benar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus