Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AUDIT Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan anggaran Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya pada 2014 menyisakan bau tak sedap. Di balik laporan hasil pemeriksaan yang berujung pada opini "wajar dengan pengecualian" itu menyembul dugaan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.
Konflik kepentingan diduga melibatkan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan DKI Jakarta Efdinal. Tatkala tim audit BPK memelototi laporan keuangan DKI, Efdinal malah menjadi "makelar" tanah sengketa yang masuk obyek audit. Mewakili tiga warga Pondok Kopi, Jakarta Timur, Efdinal dengan berbagai cara meminta Pemerintah Provinsi DKI membeli lagi tanah permakaman seluas lapangan bola yang sudah dibebaskan pada 1979 itu.
Indikasi penyalahgunaan wewenang semakin kentara ketika Efdinal menjadikan draf laporan audit sebagai bahan "tawar-menawar". Kepada sejumlah pejabat DKI, April lalu, Efdinal berjanji menyetip temuan penyimpangan dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang dilakukan Dinas Kesehatan. Syaratnya, lagi-lagi, Pemerintah Provinsi harus membeli lahan permakaman umum di Pondok Kelapa itu.
Seberapa kuat pengaruh Efdinal atas hasil akhir audit memang harus dibuktikan. Namun faktanya, pada Juli lalu, BPK mengumumkan ada 70 dugaan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan DKI Jakarta. BPK mempersoalkan antara lain pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras yang dianggap terlampau mahal sekitar Rp 191 miliar.
Sepak terjang Efdinal kembali menunjukkan bahwa lembaga audit yang seharusnya menjadi "sapu pembersih" itu ternyata belum steril dari permainan lancung. Majalah ini beberapa kali membongkar praktek jual-beli opini BPK. Tangan-tangan "hitam" memainkan hasil pemeriksaan dengan motif uang, konsesi proyek, atau dukungan kekuasaan. Pada Juni 2010, Komisi Pemberantasan Korupsi membekuk pejabat BPK Jawa Barat karena menerima suap dari pejabat Kota Bekasi yang meminta laporan keuangan daerah itu dipoles.
Kelakuan pejabat seperti Efdinal bisa merusak mental auditor lain yang bekerja sungguh-sungguh dan profesional. Kredibilitas lembaga audit negara pun dipertaruhkan. Karena itu, langkah Indonesia Corruption Watch melaporkan Efdinal ke Majelis Kehormatan dan Kode Etik BPK sudah tepat.
Majelis Kehormatan harus menggelar persidangan etik yang transparan. Kode Etik BPK melarang benturan kepentingan dan penggunaan hasil pemeriksaan untuk kepentingan pribadi. Undang-Undang BPK menyatakan penyalahgunaan hasil pemeriksaan bisa dipidana dengan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Karena itu, jika kelak kuat terindikasi adanya perbuatan pidana dalam perkara ini, hukum harus ditegakkan.
Kalau tak segera dibuat terang-benderang, kasus Sumber Waras bisa menjadi bola liar. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI yang lama berseteru dengan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama seperti mendapat amunisi baru. Mereka membentuk panitia khusus untuk menguliti kasus ini. Meski akhirnya hanya menyalin utuh laporan BPK, panitia khusus DPRD telah melaporkan kasus Sumber Waras ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
KPK sebaiknya berhati-hati bila hendak mengusut politisasi perkara Sumber Waras ini. Perhitungan kerugian negara versi BPK saja tak cukup untuk menjadi dasar pengusutan. Komisi antikorupsi harus memastikan ada-tidaknya niat jahat (mens rea) serta perbuatan melawan hukum (actus reus) dalam pembelian lahan untuk rumah sakit jantung dan kanker ini. Sebaiknya persidangan etik ihwal permainan lancung dalam proses audit rumah sakit itu digelar lebih dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo