Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Jangan pakai sepatu kain, atau ...

Sudiman dan iwan, mencari nafkah sebagai tukang semir sepatu. perolehan mereka rp 1.500 sehari. kecewa bila orang pakai sepatu kain atau sandal jepang. mereka bercita-cita tinggi.

24 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKTU film India Boot Polish menaburkan air mata di tahun-tahun 50-an, kita masih hanya terlibat secara emosionil. Anak-anak kecil yang mencari-nafkah sebagai tukang semir jalanan itu rasanya masih merupakan gambaran kepahitan hidup masyarakat lain. Maklum: jangankan sebagai sumber nafkah. Sepatunya sendiri sebagai barang pakai sehari-hari masih merupakan benda yang agak tuan-tuanan. Tapi sekarang, hampir 20 tahun sesudah itu, duilah. Di mana-mana terlihat anak-anak menggantungkan kotak kecil di pundak. Mereka bertebaran di stasiun, menduduki restoran, muncul di tempat-tempat ramai. Setiap sepatu tidak luput dari perhatian. Mereka mendesak. Kadangkala merayu dan merengek. Di Jakarta, yang paling sering mereka ucapkan adalah: "Oom, untuk ongkos sekolah." Jebolan Sekolah Teknik Benarkah mereka sekolah? Ya. Ada yang benar-benar masih sekolah. Iwan yang kecil gepeng, dijumpai Linda Djalil dari TEMPO di pinggir jalan, duduk di kelas 2 SD. Jangan main-main: ia sudah memiliki masa kerja 2 tahun - sama sekali tidak atas suruhan atau paksaan orang tua. Ia bisa meyakinkan itu. Teman-teman sekelasnya pun pada tahu, setiap hari ia mencantelkan kotak semir (ia sendiri menamakannya "kotak wasiat"). "Saya tidak malu," ujarnya dengan mata yang tajam. "Tapi untuk diberitahukan pada ibu guru, ya masih malu juga." Sudiman, 5 tahun lebih tua dari Iwan, sebaliknya. Ia nyemir sepatu sejak 2 tahun lalu memang semata-mata untuk nafkah. "Saya lari aja ke sini dari Surabaya. Kerja apa saja, pokoknya dapet duit. Tapi nggak nyangka jadi tukang semir," kata anak yang kelihatannya kumal itu. Scbcnarnya ia sudah sempat rnencapai kelas 2 Sekolah Teknik. Tapi, biasa, karena biaya tak ada, ia berhenti. Apalagi ia mulai mendapat kewajiban menghidupi orang tuanya yang tidak bekerja lagi. Bersama salah seorang kakaknya yang menjadi tukang parkir, ia mencari nafkah di Jakarta dengan cara hidup tak menentu. Untuk orang yang sendirian, untuk seorang anak kecil, penghasilan berburu sepatu memang agak lumayan. Dengan tarif Rp 50 rata-rata, Iwan - sanggup mengumpulkan Rp 500 sehari. Artinya 10 pasang kaki manusia. Maklum ia hanya bekerja antara pukul 8.00 sampai pukul 12.00. Karena sesudah itu, sore hari ia harus berhadapan dengan sepatu ibu guru - bukan untuk disemir, meskipun ia sering melirik-liriknya. Kalau lagi liburan, angka pendapatan kadang membiak jadi Rp 750-Rp 1.000. Lain halnya dengan Sudiman yang bekerja sejak pukul 8 pagi sampai 12 malam. Dengan medan operasi seluas daerah Jalan Sabang-Sarinah, ia mampu mengumpulkan Rp 1.500 satu hari. Tak heran kalau ia bisa secara tetap makan 3 kali dengan biaya Rp 300. Bahkan asap rokok pun bergelung di mulutnya. Bajetnya: Rp 125 satu hari. Nasi Pakai Tempe Setiap bulan, Sudiman menjadi orang baik yang mampu balas budi. Dengan membawa Rp 2.000, ia menjenguk orang tuanya. Pemberian yang sebenarnya kecil sekali ini menjadi sangat luhur, kalau mengin&at tak pernah ada bantuan dari kakak kandungnya sendiri - seorang dokter. Ini mungkin disebabkan karena orangtua dan kakak kandung itu terlibat persoalan keluarga yan memang pelik dipccahkan. Satu hal yang menolong Sudiman adalah: kepintarannya untuk tidak mengeluarkan biayakalau naik kereta api. Boleh dilaporkan kereta yang dipakainya selalu KA Gaya Baru. Tapi bagaimana caranya luput terus dari kondektur selama 2 tahun, boleh ditiru. "Bilang saja, kasihan pak, saya orang nggak punya," katanya sambil tertawa. Tidak mau kalah dengan Sudiman, Iwan juga mencoba memberi arti pada perolehannya. Ia mengaku sangat ketat dan pelit dalam merencanakan pengeluaran uang. Maklum. Pekerjaannya sekarang ini dimulai dengan nol. Ia tahu benar bagaimana caranya maju: hemat, hemat, dan memikirkan hari depan. Iwan ini, sebelum punya kotak semir sendiri, dulunya membonceng kerja lewat kotak kawannya. Ia waktu itu berkongsi sambil belajar nyemir: perolehan yang diterimanya hanya separuh. Karena itu sekarang, setelah memiliki kotak sendiri, ia selalu menyisihkan uang untuk tabungan. Seminggu sekali ia pergi ke loket sebuah bank di Pusat Perdagangan Senen untuk menyerahkan Rp 200. Ini sudah berlangsung lama. Sekarang sudah lumayanlah banyaknya. "Jumlahnya saya sengaja nggak tahu," kata Iwan. "Nggak mau diinget, tahu-tahu nanti udah banyak! Gitu." Duka pekerjaan semacam ini tentu saja agak kabur. Karena ia lebih merupakan penyaluran energi, kalau pelakunya anak-anak. Daripada terbuang dengan sia-sia untuk mengejar layang-layang putus, atau terlibat jadi pemadat rokok pada saat paru-paru mereka masih berkembang, atau pokoknya hanya melulu menuruti hawa nafsu -- ya nafsu anak-anak. Hanya saja kemungkinan mendapat uang dengan cara menunggu sampai larut malam memang bisa membuat kesehatan mereka terganggu. Ada kalanya juga pendapatan itu membuatmereka justru segan ke sekolah. Makanan pun mereka mulai memilih. "Makanan sih sederhana saja," bantah Iwan. "Nasi pakai tempe." Ya, Iwan memang lain. Ia pintar di sekolah. Untuk pelajaran berhitung ia dapat 8 di rapot. Ini mungkin karena hidup keluarganya tidak terlalu miskin. Ibunya tidak jarang mampu memberikan Rp 100 untuk belanja sehari. Ia memburu sepatu sekedar bisa membebaskan beban sang ibu dari membeli buku sekolah. Ibu sendiri bekerja sebagai tukang masak dan cuci. Perempuan yang memiliki 6 anak ini (4 sudah menikah) dan sudah ditinggal mati suami, malah masih mampu membawa Iwan sekali-sekali nonton bioskop. Engkongnya sendiri punya pesawat TV. Jadi ini jenis lain lagi dari anak penyemir sepatu. Direktur Apalagi modal tukang semir toh murah saja. Asal berani melawan rasa malu, dan rasa malu ini memang mengganggu pembangunan. Iwan membawa semir coklat dan hitam, masing-masing berharga Rp 150 satu kaleng. 2 hari sekali ia harus membeli yang baru. Sekaleng semir putih, itu seperti yang ada di kotak Sudiman, harganya lebih mahal -- bisa sampai Rp 450. Tentu saja untuk sepatu putih tarifnya lain. Apalagi jenis sepatu lain model sekarang: tidak cukup membungkus kaki - tapi terus naik melllbalut ujung betis. Itu namanya rezeki. Hanya celakanya kalau kebetulan musim hujan. Nyemir sepatu tidak hallya berarti.membuat sepatu jadi klimis, tapi juga mencakar-cakar lumpur. Tak jarang kuku jadi pedas. Iwan dan Sudiman yang beroperasi di Jakarta sama saja dengan pemburu sepatu di tempat lain. Seorang tukang semir sepatu yang diketemukan TEMPO di Stasiun Semut, Surabaya, yang juga pernah memiliki pengalaman di Jakarta mengatakan nafkah tukang semir sebenarnya cukup. Ia juga sering mondar-mandir ke Malang untuk mengantarkan tabungan - buat orang tua. Ia mendapat prioritas memasuki stasiun karena pada malam hari ia membantu sebagai penjaga gudang. Hidupnya ternyata tidak serawan tukang semir sepatu di layar putih. Mukanya kelihatan gembira. Ia sama sekali tidak terancam persaingan dengan tukang semir sepatu yang lain, karena ia yakin sekali pada peruntungannya. "Tapi untuk menjaga apa-apa, saya terpaksa selalu siap tidak makan sehari-sehari, jadi tidak hanya tergantung hasil," ujarnya - dengan gembira. Jangan dikira tukang semir tak punya cita-cita. Sudiman, yang menumpang hidup di emperan kantor bersama 50 pekerja jalanan, memang tidak tegas menyatakan ingin merubah nasib. Tapi bagaimana bisa puas bergabung menjadi kelas bawah bersama rekan-rekannya tukang parkir, tukang rokok dan calo taksi? Iwan, sambil menatap seorang tukang besi yang lagi bekerja -- di Gang Kenanga, Jakarta, di mana ia operasi berkata: "Saya nanti ingin jadi direktur." Apa artinya, direktur? Anak itu senyum-senyum. Katanya: "Pokoknya orang kaya!" .... Tentunya anda tahu, siapa musuh tukang semir. Anak-anak ini selalu memandang ke bawah - ke arah kaki - setiap ada orang datang. Dan alangkah kecewanya mereka, kalau si tuan ini ternyata pakai sepatu kain. Atau sandal Jepang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus