KEPUTUSAN pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
28 April lalu, Pengadilan Tinggi membuat keputusan banding:
Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur (dipimpin oleh
Hakim Bismar Siregar) yang menyangkut terdakwa Raden Amir Modjo,
dikuatkan. Amir Modjo 50, Direktur PT EMKL (Ekspedisi Muatan
Kapal Laut) Niagara, Jakarta, dinyatakan terbukti bersalah
melakukan dua kejahatan sekaligus: pidana ekonomi dan korupsi.
Untuk kejahatan korupsi Amir Modjo harus menjalani hukuman 5
tahun penjara. Untuk pidana ekonomi ia kena 2Ih tahun dengan
membayar denda Rp 10 juta. Masih ada tambahan: Hakim
mewajibkannya menyetor ke kas negara sekitar Rp 423 juta. Itu
untuk mengganti kerugian negara akibat kejahatan yang dilakukan
Terhukum. Yaitu, menurut Hakim, Amir Modjo telah menghindari
kewajiban membayar bea masuk dan pungutan lain ketika
mengeluarkan susu milik Indomilk dari gudang pelabuhan.
Tapi semua barang milik Terhukum, yang pernah disita Jaksa
karena dianggap hasil kejahatan, oleh Hakim dinyatakan agar
dikembalikan kepada pemiliknya. Sebab 9 truk, 282 hektar tanah
di Lampung, rumah di Cipinang dan sebuah kantor di Tanjung Priok
itu menurut Hakim tak dapat dibuktikan Jaksa sebagai hasil
kejahatan Terhukum.
Keputusan itu, sebenarnya, sudah boleh dilaksanakan. Sebab baik
Jaksa maupun Amir Modjo tak menyatakan naik kasasi. Tapi hingga
hari ini Amir belum sepenuhnya 'menikmati' hasil peradilan itu.
Ia memang sudah mulai menjalani masa hukumannya di LPK Cipinang.
Tapi barang miliknya masih tetap dikuasai Jaksa. Sang Jaksa, Abu
Dinar, rupanya masih enggan melaksanakan keputusan Hakim karena
ia masih merasa punya sangkutan lain dengan Terhukum: kapan Amir
Modjo akan menunaikan kewajibannya membayar Rp 423 juta kepada
negara?
Agaknya Jaksa ingin menahan barang milik si terhukum yang
harganya mungkin kurang separoh dari kewajiban yang harus
ditunaikan Amir - sebagai semacam jaminan. Menurut Ridwan Sani
SH Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, jaksa memang
berkewajiban melaksanakan semua keputusan hakim: mengembalikan
barang bukti yang pernah disitanya -- tapi juga memaksa terhukum
menunaikan semua kewajibannya. Dalam kasus Amir, barang bukti
paling tidak untuk sementara masih tetap dikuasai Jaksa. Sebab,
"jika barang bukti sudah dilepaskan, janganjangan Anlir Modjo
tak memenuhi kewajibannya." Dan untuk memastikan kesanggupan
Amir itu pula Kejaksaan juga telah mengiriminya surat. "Kita
ingin melihat itikad baiknya," kata Ridwan Sani.
Adapun Hakim Bismar Siregar SH sendiri yakin, keputusannya
sebenarnya tak sulit dilaksanakan Jaksa. Jaksa bisa
memperbandingkan: kekayaan Amir Modjo yang dikuasai Kejaksaan
dengan kewajibannya membayar kepada negara yang Rp 423 juta
lebih itu. Dan jika itu masih kurang berarti. Terhukum masih
tetap berhutang kepada negara -- yang menurut keputusan harus
dibayar dalam dua tahun.
Penyelesaian yang begitu, menurut Bismar, memang akan terbentur
pada hal: siapa yang dianggap adil untuk menaksir barang milik
Terhukum. Itulah sebabnya Bismar bilang: "Ada cara lain." Amir
kapan saja boleh meminta eksekusi terhadap miliknya yang kini
dalam kekuasaan Jaksa. Menurut Imam Anis SH dari Pengadilan
Tinggi Jakarta, permintaan itu diajukan kepada Kejaksaan Negeri.
Jika di sana urusan macet, katanya, ke Kejaksaan Tinggi. Jika di
sini pun tak lancar," 'kan masih ada Kejaksaan Agung?"
Lalu kewajiban Amir membayar kepada negara? "Itu soal lain,"
kata Bismar. Hutang Amir kepada negara, memang, "perkara
perdata." Negara dapat menuntutnya melalui prosedur hukum yang
biasa. Soal nanti hakim memutuskan perlu-tidaknya menyita
kekayaan Amir Modjo dengan PT Niagaranya sebagai sitaan atas
jaminan, itu soal kedua.
Toh Imam Anis sendiri bisa mengerti sikap Jaksa yang tetap
menahan milik Amir Modjo. "Itu politik Jaksa kebijaksanaan
saja." Apakah kebijaksanaan begitu boleh? "Jangan boleh atau
tidak - soalnya hanyalah kebijaksanaan Jaksa untuk memaksa
Terhukum memenuhi kewajibannya." Sebab, menurut hakim tinggi
ini, sebelum memutus perkara Hakim tentu sudah mempertimbangkan
kemungkinan pelaksanaan keputusannya. "Terhukum sudah mengaku
bersalah dan bersedia membayar uang yang seharusnya distorkan ke
bea-cukai." Apalagi ada surat pernyataan bahwa PT Niagara itu
EMKL yang bonafid.
EMKL Niagara, dulu, memang bonafid. Ia punya langganan
perusahaan susu Indomilk. Tugasnya: menyelesaikan segala hal
yang menyangkut pengeluaran susu yang diimpor dari Australia,
dari gudang di Tanjung Priok. Dalam sidang pengadilan pihak
Indomilk menyatakan: untuk mengeluarkan 134.266 karung susu
bubuk dan 4.965 drum susu cair dari gudang, kepada Niagara sudah
diserahkan biaya sekitar Rp 1,5 milyar. Tapi ternyata perusahaan
EMKL ini, sekitar tahun 1974 dan 1975, mengeluarkan susu itu
tanpa lebih dulu menyelesaikan bea masuk, pajak dan lain-lain
urusan bea cukai.
Bagaimana bisa? Menurut Jaksa Abu Dinar, tentu ada permainan
antara perusahaan ekspedisi itu dengan orang bea-cukai -
khususnya dengan petugas Entreport di Tanjung Priok. Hubungan
Amir Modjo dengan petugas menurut Jaksa, tak lagi "ada udang di
balik batu." Sebab sudah jauh lebih gamblang: "ada batu di balik
udang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini