PUSKESMAS dan dokter hampir menyebar di seluruh pelosok. Tapi di
banyak tempat, mantri kesehatan masih memegang peranan penting.
Ada kalanya karena ia lebih mudah bergaul dengan masyarakat.
Tapi lebih-iebih lagi, karena tarifnya dirasakan lebih murah.
Timbul soal, kalau sang mantri sampai mencelakai pasiennya --
entah karena ia sedang sial, atau memang karena nasib sudah
menentukan si pasien harus meninggal di tangannya.
Seperti yang dialami Pinaria boru Manik, 50 tahun, mantri
kesehatan yang berpraktek di Tebingtinggi, Sum-Ut. Bu Manik
--begitu penduduk memanggilnya suatu hari, November tahun lalu,
menerima pasien di ruang prakteknya, di sebelah Depot Obat
Serasi, miliknya. Keluhan sang pasien pilek dan kepala pening.
Untuk dua macam penyakit itu, Pinaria hanya menyuntik sekali dan
langsung memberi dua jenis obat, untuk tiga hari. Mardiaty, 19
tahun, yang pilek itu, cukup membayar Rp 700. Sorenya, si gadis
sudah nampak sehat, bisa membuat kopi untuk ayahnya, bahkan
berlatih volley. Tapi malamnya suhu badannya tinggi. Semakin
malam semakin mengkhawatirkan. Malahan bekas suntikan membengkak
dan merah.
Esok harinya keadaan Mardiaty semakin parah. Siannya Pinaria
sempat memeriksanya, lalu memberinya obat kompres. Bukannya
tambah baik, Mardiaty semakin gawat. Malam harinya, gadis itu
meninggal dunia.
Ayah korban membawa kasus ini ke pengadilan, karena setelah
diperiksa dokter, Mardiaty dinyatakan meninggal akibat keracunan
obat. Dalam persidangan kemudian, Pinaria memperkirakan korban
kena serangan malaria. Obat yang disuntikkannya cloroquin, yang
sudah sering digunakannya untuk penyakit jenis itu.
Pengadilan Negeri Tebingtinggi tak menemukan bukti korban mati
karena keracunan obat, karena mayat tak diautopsi. Tapi Pinaria
tetap dihukum 6 bulan penjara dalam masa percobaan setahun,
ketika vonnis dijatuhkan 6 April lalu. Kesalahannya, tidak
memiliki izin praktek sebagai mantri kesehatan.
Hukuman seperti itu memang tak mengharuskan Bu Manik masuk
penjara. Tapi kegiatannya sebagai mantri partikelir terhenti.
Toko obatnya masih tetap buka, karena memang punya izin.
Anehnya, masyarakat sekitar Tebingtinggi seperti menuntut, agar
Pinaria kembali buka praktek. Soalnya, tarif Bu Manik paling
tinggi Rp 1.000 plus obat. "Kalau ke dokter harus bayar lima
kali lipat," kata seorang penduduk. Lagipula, penduduk
Tebingtinggi bagaikan punya statistik, berapa orang yang telah
disembuhkan mantri partikelir itu. "Saya jadi serba salah," ujar
Pinaria, eks siswa di RS Tarutung dengan mengantungi ijazah
bidan itu. Akan halnya kematian pasiennya, ibu dari 4 anak itu
menyebut "kebetulan mati di tangan saya."
Mantri kesehatan yang seprofesi dengan Pinaria, agaknya sedang
dapat sorotan negatif. Di Tebingtinggi saja, selama Oktober
tahun lalu ada 3 orang korban meninggal. Seorang di antaranya
meninggal setelah disuntik dokter Puskesmas.
Kematian di tangan dokter, tidak begitu diributkan orang,
seperti halnya di tangan mantri. Sikap seperti ini, dirasakan
tidak adil, setidak-tidaknya bagi Hanafi Lubis. Dia adalah
mantri kesehatan yang diam di Desa Titirante, Padangbulan,
Medan. "Mati hidupnya orang, bukan saya yang menentukan,"
katanya.
Hanafi bisa pula menyebut kecerobohan seorang dokter. Ada
seorang penduduk di desanya mengidap batuk darah. Pergi ke
dokter ahli, sekali suntik dan menebus resep habis Rp 10.000.
Sebulan kemudian kambuh. Kembali ke dokter, membayar jumlah yang
sama. Hampir setiap bulan orang itu ke dokter, penyakitnya
ternyata tak sembuh total. "Yang senang, dokternya," kata
Hanafi.
Orang itu akhirnya ditangani Hanafi dan sembuh tota dalam dua
bulan. "Penyakit seperti itu tak bisa disuntik sebulan sekali,
harus tiga hari sekali," kata Lubis. Biayanya dihitung-hitung
lebih murah, karena di tangan Lubis, sekali suntik membayar Rp
500 plus obat. Bahkan sering tak bayar.
Hanafi Lubis, 46 tahun, tahu seluk beluk kesehatan ketika
bekerja di RS Kodam 11 Bukit Barisan seak 1962. Sejak ia
pensiun sebagai anggota ABRI dengan pangkat terakhir Pelda pada
1979, dia mulai profesi sebagai mantri kesehatan. "Walaupun
banyak pasien yang suka nembak, saya tetap gembira dengan tugas
ini," katanya. Nembak maksudnya tidak membayar. "Rakyat di -
pedesaan miskin, saya harus ikut prihatin," tambahnya.
Seperti halnya Pinaria boru Manik, Hanafi Lubis juga membuka
praktek di rumahnya, meskipun ia lebih sering menerima
panggilan. Tak kenal waktu, siang atau malam, ia pasti siap
menjenguk pasiennya. "Pekerjaan ini perlu kesabaran dan punya
jiwa sosial," kata lelaki yang suka senyum ini. Tak heran jika
di kawasan Padangbulan, pinggiran Kotamadya Medan, nama Hanafi
Lubis lebih populer dari nama dokter Puskesmas yang ada di sana.
Padahal, seperti banyak mantri kesehatan lainnya, ia tidak
memiliki izin praktek.
Di tengah-tengah Kota Cirebon, Sarwan, seorang mantri kesehatan,
juga jauh lebih populer ketimbang dokter. Tempat praktek mantri
ini bernama Balai Pengobatan Karya Husada, terletak di Jalan
Kesambi. Pasiennya datang dari segala penjuru, bahkan dari luar
Jawa.
Terkun
Kelebihan Sarwan dari mantri yang lain, ia bisa mengobati secara
kebatinan, sekaligus secara medis. Ia tahu sakit seseorang
sebelum menyentuh tubuh pasiennya. Jika pasien harus diobati
secara non-medis. setelah sembuh tidak usah membayar. "Memang
begitu syaratnya," kata Sarwan, 73 tahun, yang mengaku mendapat
ilmu dari Kuwu Manten Sarwadadi di Desa Sumber, Cirebon pada
tahun 1930. Jika diobati secara medis, "paling tinggi membayar
Rp 1.300, sudah dengan obat," katanya. "Coba ke dokter, lima
kali lipat."
Pengobatan rangkap ini, sampai sekarang masih dilakukan Sarwan.
Ia merasa beruntung hanya sebagai mantri, "coba kalau saya
dokter, saya bisa diejek terkun (dokter dukun)," katanya sembari
tertawa. Ruang prakteknya berukuran 7 x 4 meter, tanpa seorang
pembantu yang mendampinginya. Pasien yang datang, rata-rata 15
orang sehari (buka 08.00 - 12.00), tidak perlu mendaftar. Siapa
yang merasa datang duluan, dialah yang masuk lebih awal.
Ketenaran Sarwan yang memulai usahanya sejak 1961 ini disebabkan
keramahannya dengan semua pasien. "Pasien yang datang pasti saya
hibur dulu, supaya melupakan sakitnya," katanya. Ia sempat
melontarkan kritiknya, "dokter-dokter sekarang terlalu komersial
dan cara pemeriksaannya terlalu tegang," katanya. Ayah 7 orang
anak ini mengaku cucu salah seorang laskar Pangeran Diponegoro.
Cara Mantri Sarwan memperoleh ilmu kesehatan punya ceriu agak
panjang. Keluarganya semula tak ingin menyekolahkan Sarwan, tapi
Residen Belanda di Cirebon waktu itu, mencari anak yang tanggal
lahirnya sama dengan kelahiran Ratu Yuliana untuk dijadikan anak
angkat. Entah tahu dari mana, Sarwan si anak petani itu
ditemukan Residen.
Setelah dibujuk, akhirnya (1927), orangtuanya merelakan Sarwan
ikut Residen. Di tangan pembesar Belanda itulah Sarwan dididik
oleh seorang dokter RS Kesambi, dr. Sudirman. Di RS itu Sarwan
belajar sebagai perawat. Inilah modalnya berpraktek sebagai
mantri kesehatan.
Meskipun menjadi pemilik Balai Pengobatan Karya Husada "saya
tetap miskin," kata Sarwan. Tapi sebuah mobil Landrover miliknya
yang ditempeli gambar Bung Karno siap menunggu di depan
Winiknya.
Basir, seorang mantri kesehatan di Desa Dawe, Kabupaten Kudus,
walau mengaku sudah tua, masih melayani panggilan dengan
berjalan kaki sampai sejauh 10 km, di lereng-lereng Gunung
Muria. "Saya heran, di Kecamatan Dawe ada Puskesmas, tapi orang
maslh memilih saya," kata laki-laki berusia 60 tahun itu.
Penduduk Kecamatan Gebong, juga di lereng G. Muria, bahkan
mengakui Basir lebih populer dari camatnya.
Kata penduduk kepopuleran itu karena Basir tak pernah menolak
panggilan dan kebanyakan pasien yang ditolongnya sembuh. "Ya,
itu karena saya dilindungi Tuhan," ujar Basir, yang lulus
sekolah mantri di RS Kariadi Semarang tahun 1944.
Dibayar Dengan Pisang
Berapa Basir pasang tarif? Lelaki yang kini juga diperbanNkan
sebagai tenaga kesehatan di pabrik tekstil PT Tubantia Besito,
Kudus, hanya menjawab dengan senyum. "Dibayar seribu rupiah
pernah, empat ratus juga pernah. Dibayar dengan buah pisang
sering juga," katanya. Itu sudah termasuk penyuntikan dan obat.
"Dengan pengabdian seperti ini, rasanya pantas saya naik haji,
tapi belum juga ada biaya," lanjut lelaki yang beranak 14 ini.
Ia bertekad naik haji tahun depan dari hasil setengah hektar
cengkihnya yang sedang berbunga lebat.
Frans Lapin, mantri kesehatan di Tana Toraja (Sul-Sel),
tergolong masih muda, 27 tahun . Pasien yang diobatinya selalu
setia membayar. Ia pun tergolong cukup laris, mungkin karena
Puskesmas agak jauh letaknya dan susah ditempuh.
Tapi, menurut Frans, ada yang dirasanya aneh. "Penduduk
pedesaan, merasa belum diobati kalau di tubuhnya tidak
ditancapkan stateskop," tutur Frans yang lulus Sekolah Penjenang
Kesehatan tahun 1973 di Ujungpandang.
Karena itu, ke mana Frans pergi, pasti membawa alat itu. Pernah
sekali, di salah satu desa di Kabupaten Gowa, ia lupa membawa
stateskop. "Tak ada yang mau diobati," katanya. "Di sini, walau
tidak membawa obat, asal pasien diperiksa dengan stateskop,
mereka sangat lega."
Frans lalu berkesimpulan: masyarakat pedesaan masih buta soal
kesehatan. Begitu pula, katanya, dokter Puskesmas belum mampu
berbuat banyak. Mungkin karena masih banyak dokter berpendirian,
siapa yang mau berobat, silakan datang. Sedangkan para mantri
kesehatan sanggup berpayah-payah memburu pasien, sampai ke
pelosok-pelosok desa. "Di sini perlunya mantri kesehatan, yang
tidak begitu formal," kata Frans.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini