Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Jarum suntik pak mantri

Di beberapa tempat mantri kesehatan lebih populer dibandingkan dokter. kasus seorang pasien yang meninggal di tangan mantri kesehatan, pinaria boru manik di sumatera utara. (sd)

2 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUSKESMAS dan dokter hampir menyebar di seluruh pelosok. Tapi di banyak tempat, mantri kesehatan masih memegang peranan penting. Ada kalanya karena ia lebih mudah bergaul dengan masyarakat. Tapi lebih-iebih lagi, karena tarifnya dirasakan lebih murah. Timbul soal, kalau sang mantri sampai mencelakai pasiennya -- entah karena ia sedang sial, atau memang karena nasib sudah menentukan si pasien harus meninggal di tangannya. Seperti yang dialami Pinaria boru Manik, 50 tahun, mantri kesehatan yang berpraktek di Tebingtinggi, Sum-Ut. Bu Manik --begitu penduduk memanggilnya suatu hari, November tahun lalu, menerima pasien di ruang prakteknya, di sebelah Depot Obat Serasi, miliknya. Keluhan sang pasien pilek dan kepala pening. Untuk dua macam penyakit itu, Pinaria hanya menyuntik sekali dan langsung memberi dua jenis obat, untuk tiga hari. Mardiaty, 19 tahun, yang pilek itu, cukup membayar Rp 700. Sorenya, si gadis sudah nampak sehat, bisa membuat kopi untuk ayahnya, bahkan berlatih volley. Tapi malamnya suhu badannya tinggi. Semakin malam semakin mengkhawatirkan. Malahan bekas suntikan membengkak dan merah. Esok harinya keadaan Mardiaty semakin parah. Siannya Pinaria sempat memeriksanya, lalu memberinya obat kompres. Bukannya tambah baik, Mardiaty semakin gawat. Malam harinya, gadis itu meninggal dunia. Ayah korban membawa kasus ini ke pengadilan, karena setelah diperiksa dokter, Mardiaty dinyatakan meninggal akibat keracunan obat. Dalam persidangan kemudian, Pinaria memperkirakan korban kena serangan malaria. Obat yang disuntikkannya cloroquin, yang sudah sering digunakannya untuk penyakit jenis itu. Pengadilan Negeri Tebingtinggi tak menemukan bukti korban mati karena keracunan obat, karena mayat tak diautopsi. Tapi Pinaria tetap dihukum 6 bulan penjara dalam masa percobaan setahun, ketika vonnis dijatuhkan 6 April lalu. Kesalahannya, tidak memiliki izin praktek sebagai mantri kesehatan. Hukuman seperti itu memang tak mengharuskan Bu Manik masuk penjara. Tapi kegiatannya sebagai mantri partikelir terhenti. Toko obatnya masih tetap buka, karena memang punya izin. Anehnya, masyarakat sekitar Tebingtinggi seperti menuntut, agar Pinaria kembali buka praktek. Soalnya, tarif Bu Manik paling tinggi Rp 1.000 plus obat. "Kalau ke dokter harus bayar lima kali lipat," kata seorang penduduk. Lagipula, penduduk Tebingtinggi bagaikan punya statistik, berapa orang yang telah disembuhkan mantri partikelir itu. "Saya jadi serba salah," ujar Pinaria, eks siswa di RS Tarutung dengan mengantungi ijazah bidan itu. Akan halnya kematian pasiennya, ibu dari 4 anak itu menyebut "kebetulan mati di tangan saya." Mantri kesehatan yang seprofesi dengan Pinaria, agaknya sedang dapat sorotan negatif. Di Tebingtinggi saja, selama Oktober tahun lalu ada 3 orang korban meninggal. Seorang di antaranya meninggal setelah disuntik dokter Puskesmas. Kematian di tangan dokter, tidak begitu diributkan orang, seperti halnya di tangan mantri. Sikap seperti ini, dirasakan tidak adil, setidak-tidaknya bagi Hanafi Lubis. Dia adalah mantri kesehatan yang diam di Desa Titirante, Padangbulan, Medan. "Mati hidupnya orang, bukan saya yang menentukan," katanya. Hanafi bisa pula menyebut kecerobohan seorang dokter. Ada seorang penduduk di desanya mengidap batuk darah. Pergi ke dokter ahli, sekali suntik dan menebus resep habis Rp 10.000. Sebulan kemudian kambuh. Kembali ke dokter, membayar jumlah yang sama. Hampir setiap bulan orang itu ke dokter, penyakitnya ternyata tak sembuh total. "Yang senang, dokternya," kata Hanafi. Orang itu akhirnya ditangani Hanafi dan sembuh tota dalam dua bulan. "Penyakit seperti itu tak bisa disuntik sebulan sekali, harus tiga hari sekali," kata Lubis. Biayanya dihitung-hitung lebih murah, karena di tangan Lubis, sekali suntik membayar Rp 500 plus obat. Bahkan sering tak bayar. Hanafi Lubis, 46 tahun, tahu seluk beluk kesehatan ketika bekerja di RS Kodam 11 Bukit Barisan seak 1962. Sejak ia pensiun sebagai anggota ABRI dengan pangkat terakhir Pelda pada 1979, dia mulai profesi sebagai mantri kesehatan. "Walaupun banyak pasien yang suka nembak, saya tetap gembira dengan tugas ini," katanya. Nembak maksudnya tidak membayar. "Rakyat di - pedesaan miskin, saya harus ikut prihatin," tambahnya. Seperti halnya Pinaria boru Manik, Hanafi Lubis juga membuka praktek di rumahnya, meskipun ia lebih sering menerima panggilan. Tak kenal waktu, siang atau malam, ia pasti siap menjenguk pasiennya. "Pekerjaan ini perlu kesabaran dan punya jiwa sosial," kata lelaki yang suka senyum ini. Tak heran jika di kawasan Padangbulan, pinggiran Kotamadya Medan, nama Hanafi Lubis lebih populer dari nama dokter Puskesmas yang ada di sana. Padahal, seperti banyak mantri kesehatan lainnya, ia tidak memiliki izin praktek. Di tengah-tengah Kota Cirebon, Sarwan, seorang mantri kesehatan, juga jauh lebih populer ketimbang dokter. Tempat praktek mantri ini bernama Balai Pengobatan Karya Husada, terletak di Jalan Kesambi. Pasiennya datang dari segala penjuru, bahkan dari luar Jawa. Terkun Kelebihan Sarwan dari mantri yang lain, ia bisa mengobati secara kebatinan, sekaligus secara medis. Ia tahu sakit seseorang sebelum menyentuh tubuh pasiennya. Jika pasien harus diobati secara non-medis. setelah sembuh tidak usah membayar. "Memang begitu syaratnya," kata Sarwan, 73 tahun, yang mengaku mendapat ilmu dari Kuwu Manten Sarwadadi di Desa Sumber, Cirebon pada tahun 1930. Jika diobati secara medis, "paling tinggi membayar Rp 1.300, sudah dengan obat," katanya. "Coba ke dokter, lima kali lipat." Pengobatan rangkap ini, sampai sekarang masih dilakukan Sarwan. Ia merasa beruntung hanya sebagai mantri, "coba kalau saya dokter, saya bisa diejek terkun (dokter dukun)," katanya sembari tertawa. Ruang prakteknya berukuran 7 x 4 meter, tanpa seorang pembantu yang mendampinginya. Pasien yang datang, rata-rata 15 orang sehari (buka 08.00 - 12.00), tidak perlu mendaftar. Siapa yang merasa datang duluan, dialah yang masuk lebih awal. Ketenaran Sarwan yang memulai usahanya sejak 1961 ini disebabkan keramahannya dengan semua pasien. "Pasien yang datang pasti saya hibur dulu, supaya melupakan sakitnya," katanya. Ia sempat melontarkan kritiknya, "dokter-dokter sekarang terlalu komersial dan cara pemeriksaannya terlalu tegang," katanya. Ayah 7 orang anak ini mengaku cucu salah seorang laskar Pangeran Diponegoro. Cara Mantri Sarwan memperoleh ilmu kesehatan punya ceriu agak panjang. Keluarganya semula tak ingin menyekolahkan Sarwan, tapi Residen Belanda di Cirebon waktu itu, mencari anak yang tanggal lahirnya sama dengan kelahiran Ratu Yuliana untuk dijadikan anak angkat. Entah tahu dari mana, Sarwan si anak petani itu ditemukan Residen. Setelah dibujuk, akhirnya (1927), orangtuanya merelakan Sarwan ikut Residen. Di tangan pembesar Belanda itulah Sarwan dididik oleh seorang dokter RS Kesambi, dr. Sudirman. Di RS itu Sarwan belajar sebagai perawat. Inilah modalnya berpraktek sebagai mantri kesehatan. Meskipun menjadi pemilik Balai Pengobatan Karya Husada "saya tetap miskin," kata Sarwan. Tapi sebuah mobil Landrover miliknya yang ditempeli gambar Bung Karno siap menunggu di depan Winiknya. Basir, seorang mantri kesehatan di Desa Dawe, Kabupaten Kudus, walau mengaku sudah tua, masih melayani panggilan dengan berjalan kaki sampai sejauh 10 km, di lereng-lereng Gunung Muria. "Saya heran, di Kecamatan Dawe ada Puskesmas, tapi orang maslh memilih saya," kata laki-laki berusia 60 tahun itu. Penduduk Kecamatan Gebong, juga di lereng G. Muria, bahkan mengakui Basir lebih populer dari camatnya. Kata penduduk kepopuleran itu karena Basir tak pernah menolak panggilan dan kebanyakan pasien yang ditolongnya sembuh. "Ya, itu karena saya dilindungi Tuhan," ujar Basir, yang lulus sekolah mantri di RS Kariadi Semarang tahun 1944. Dibayar Dengan Pisang Berapa Basir pasang tarif? Lelaki yang kini juga diperbanNkan sebagai tenaga kesehatan di pabrik tekstil PT Tubantia Besito, Kudus, hanya menjawab dengan senyum. "Dibayar seribu rupiah pernah, empat ratus juga pernah. Dibayar dengan buah pisang sering juga," katanya. Itu sudah termasuk penyuntikan dan obat. "Dengan pengabdian seperti ini, rasanya pantas saya naik haji, tapi belum juga ada biaya," lanjut lelaki yang beranak 14 ini. Ia bertekad naik haji tahun depan dari hasil setengah hektar cengkihnya yang sedang berbunga lebat. Frans Lapin, mantri kesehatan di Tana Toraja (Sul-Sel), tergolong masih muda, 27 tahun . Pasien yang diobatinya selalu setia membayar. Ia pun tergolong cukup laris, mungkin karena Puskesmas agak jauh letaknya dan susah ditempuh. Tapi, menurut Frans, ada yang dirasanya aneh. "Penduduk pedesaan, merasa belum diobati kalau di tubuhnya tidak ditancapkan stateskop," tutur Frans yang lulus Sekolah Penjenang Kesehatan tahun 1973 di Ujungpandang. Karena itu, ke mana Frans pergi, pasti membawa alat itu. Pernah sekali, di salah satu desa di Kabupaten Gowa, ia lupa membawa stateskop. "Tak ada yang mau diobati," katanya. "Di sini, walau tidak membawa obat, asal pasien diperiksa dengan stateskop, mereka sangat lega." Frans lalu berkesimpulan: masyarakat pedesaan masih buta soal kesehatan. Begitu pula, katanya, dokter Puskesmas belum mampu berbuat banyak. Mungkin karena masih banyak dokter berpendirian, siapa yang mau berobat, silakan datang. Sedangkan para mantri kesehatan sanggup berpayah-payah memburu pasien, sampai ke pelosok-pelosok desa. "Di sini perlunya mantri kesehatan, yang tidak begitu formal," kata Frans.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus