Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dunia orang mabuk

Pengarang: putu wijaya jakarta: sinar harapan, 1981 resensi oleh: yudhistira anm massardi. (bk)

2 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOBAT Novel: Putu Wijya Penerbit: Sinar Harapan Gambar Sampul: Hardyono 114 halaman, 1981. INILAH novel tentang persahabatan dan perkawinan yang pelik dan edan -- karena pengarangnya Putu Wijaya. Seakan sudah dijamin bahwa sebuah dunia yang eksentrik -- liar, aneh, kocak -- merupakan 'makanan sehari-hari' para tokohnya. Demikan dalam sandiwara, demikian dalam novel, maka demikian dalam cerita pendek. Tapi Sobat, novelnya yang terbaru, barangkali lebih mudah diikuti -- misalnya dibanding novelnya terdahulu, Telegram, atau Stasiun. Kecuali alurnya sederhana dan mudah terpegang, ditambah kekocakan adegan dan dialog sejak awal sampai halaman terakhir, Sobat punya daya rangsang lebih kuat. Terasa lebih akrab. Memang tak seluruh persoalan dituturkan secara lurus benar. Sering Putu - barusan genap berusia 37 tahun -- mengecoh pembaca dengan adegan-adegan yang berakhir secara absurd. Bagian pertama (hal 1-9) misalnya, sejak awal mengesankan pertengkaran sengit Aji dengan Isak -- sobatnya sesama pemabuk, yang mendadak memutuskan untuk menikah dengan Ina -- sehingga Aji kemudian membunuhnya. Tapi yang terbunuh ternyata bukan Isak. Melainkan Aji sendiri -- bagian jiwa Aji sendiri, yang terbelah karena frustrasi. Ia merasa dikhianati sahabatnya, yang dinilainya lemah karena sudah bersedia menyerahkan hidupnya pada seorang perempuan. Mahir Mengelabui Bagian terakhir (hal 109-114) pun diakhiri secara itu. Sesudah Aji benar-benar membunuh Isak dan kemudian dipenjarakan, Isak yang sudah mati tibatiba muncul lagi. Roh itu menggoda Aji yang barusan keluar dari penjara. Hari itu Aji minum bir - sesudah beberapa lama menghentikan kebiasaan tersebut sejak ia sendiri kemudian terjebak oleh perasaan cinta yang dulu diremehkannya, dan menikah dengan Tantina. Ketika ia mulai mabuk itulah, Isak muncul dan menyihirnya. Dengan pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan sugestif. "Kau lihat kawat-kawat listrik itu?" tanya Isak. Setelah Aji melihatnya, Isak berkata, ". . . kawat listrik itu disentuh, badan kita bisa kontak. Terus terang rasa sakitnya, tapi hanya sebentar. Sesudah itu kau segera mati." Aji didesak untuk memanjat tiang lis trik itu. Dan ketika Aji naik, Isak buruburu cuci tangan. A ku tidak menyuruhmu bunuh diri Iho!" katanya. Tapi Aji terus naik dan melemparkan tubuhnya ke atas rentangan kawat listrik. Ia mati secara tragis. Mungkin didorong oleh rasa bersalahnya telah membunuh sahabat sendiri, yang tadinya dianggap tak bertanggungjawab -- karena Isak tiba-tiba menceraikan istrinya yang telah melahirkan beberapa orang anak. Sesudah Isak dibunuhnya dulu, barulah Aji uhu bahwa Isak tidaklah sebrengsek itu. Anak-anak yang dilahirkan Ina -- yang jadi tumpuan kemarahan Aji terhadap Isak -- ternyata bukan anak Isak. Tentu saja Aji sangat terguncang dan menyesal. Ia merasa kehilangan segala-galanya, terutama seorang sahabat. Rasa kehilangan, kesunyian dan frustrasi, itulah yang meluncur dengan lancar, tajam dan menyesakkan dalam novel ini. Bahasanya yang padat dan lincah dengan gampang menggerayangi - saraf pembaca. Pemilihan karakter kedua okoh pemabuk menyebabkan Putu terasa lebih leluasa dengan keedanannya. Juga dalam hal penjungkirbalikan logika tokoh-tokohnya . Sehingga, tak jadi soal benar apa sesungguhnya pekerjaan kedua orang pemabuk itu -- yang kelihatan begitu royal dan selalu punya uang untuk membeli berbotol-botol bir. Juga tak usah dirisaukan benar -- Putu sendiri selalu mahir 'mengelabuP dalam hal yang satu ini: -- makhluk dari kalangan mana sebenarnya mereka, yang bisa bersoalawab mengenai segala sesuatu termasul yang 'tinggi-tinggi'. Pengarang yang satu ini memang tak pernah "nyinyir". Yudhistira ANM Massardi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus