SOBAT
Novel: Putu Wijya
Penerbit: Sinar Harapan
Gambar Sampul: Hardyono
114 halaman, 1981.
INILAH novel tentang persahabatan dan perkawinan yang pelik dan
edan -- karena pengarangnya Putu Wijaya. Seakan sudah dijamin
bahwa sebuah dunia yang eksentrik -- liar, aneh, kocak --
merupakan 'makanan sehari-hari' para tokohnya. Demikan dalam
sandiwara, demikian dalam novel, maka demikian dalam cerita
pendek.
Tapi Sobat, novelnya yang terbaru, barangkali lebih mudah
diikuti -- misalnya dibanding novelnya terdahulu, Telegram, atau
Stasiun. Kecuali alurnya sederhana dan mudah terpegang, ditambah
kekocakan adegan dan dialog sejak awal sampai halaman terakhir,
Sobat punya daya rangsang lebih kuat. Terasa lebih akrab.
Memang tak seluruh persoalan dituturkan secara lurus benar.
Sering Putu - barusan genap berusia 37 tahun -- mengecoh pembaca
dengan adegan-adegan yang berakhir secara absurd. Bagian pertama
(hal 1-9) misalnya, sejak awal mengesankan pertengkaran sengit
Aji dengan Isak -- sobatnya sesama pemabuk, yang mendadak
memutuskan untuk menikah dengan Ina -- sehingga Aji kemudian
membunuhnya. Tapi yang terbunuh ternyata bukan Isak. Melainkan
Aji sendiri -- bagian jiwa Aji sendiri, yang terbelah karena
frustrasi. Ia merasa dikhianati sahabatnya, yang dinilainya
lemah karena sudah bersedia menyerahkan hidupnya pada seorang
perempuan.
Mahir Mengelabui
Bagian terakhir (hal 109-114) pun diakhiri secara itu. Sesudah
Aji benar-benar membunuh Isak dan kemudian dipenjarakan, Isak
yang sudah mati tibatiba muncul lagi. Roh itu menggoda Aji yang
barusan keluar dari penjara. Hari itu Aji minum bir - sesudah
beberapa lama menghentikan kebiasaan tersebut sejak ia sendiri
kemudian terjebak oleh perasaan cinta yang dulu diremehkannya,
dan menikah dengan Tantina.
Ketika ia mulai mabuk itulah, Isak muncul dan menyihirnya.
Dengan pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan sugestif.
"Kau lihat kawat-kawat listrik itu?" tanya Isak. Setelah Aji
melihatnya, Isak berkata, ". . . kawat listrik itu disentuh,
badan kita bisa kontak. Terus terang rasa sakitnya, tapi hanya
sebentar. Sesudah itu kau segera mati."
Aji didesak untuk memanjat tiang lis trik itu. Dan ketika Aji
naik, Isak buruburu cuci tangan. A ku tidak menyuruhmu bunuh
diri Iho!" katanya. Tapi Aji terus naik dan melemparkan tubuhnya
ke atas rentangan kawat listrik. Ia mati secara tragis. Mungkin
didorong oleh rasa bersalahnya telah membunuh sahabat sendiri,
yang tadinya dianggap tak bertanggungjawab -- karena Isak
tiba-tiba menceraikan istrinya yang telah melahirkan beberapa
orang anak.
Sesudah Isak dibunuhnya dulu, barulah Aji uhu bahwa Isak
tidaklah sebrengsek itu. Anak-anak yang dilahirkan Ina -- yang
jadi tumpuan kemarahan Aji terhadap Isak -- ternyata bukan anak
Isak. Tentu saja Aji sangat terguncang dan menyesal. Ia merasa
kehilangan segala-galanya, terutama seorang sahabat.
Rasa kehilangan, kesunyian dan frustrasi, itulah yang meluncur
dengan lancar, tajam dan menyesakkan dalam novel ini. Bahasanya
yang padat dan lincah dengan gampang menggerayangi - saraf
pembaca. Pemilihan karakter kedua okoh pemabuk menyebabkan Putu
terasa lebih leluasa dengan keedanannya. Juga dalam hal
penjungkirbalikan logika tokoh-tokohnya .
Sehingga, tak jadi soal benar apa sesungguhnya pekerjaan kedua
orang pemabuk itu -- yang kelihatan begitu royal dan selalu
punya uang untuk membeli berbotol-botol bir. Juga tak usah
dirisaukan benar -- Putu sendiri selalu mahir 'mengelabuP dalam
hal yang satu ini: -- makhluk dari kalangan mana sebenarnya
mereka, yang bisa bersoalawab mengenai segala sesuatu termasul
yang 'tinggi-tinggi'. Pengarang yang satu ini memang tak pernah
"nyinyir".
Yudhistira ANM Massardi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini