SUASANA yang riuh rendah belum juga terasa di kompleks Sarana
Usaha Industri Kecil (SUIK) yang terletak di kawasan industri
Pulogadung, Jakarta Tirnur. Masuk ke kompleks SUIK terasa sepi.
Tiga unit bangunan baru yang diresmikan Gubernur Tjokropranolo
16 April yang lalu masih banyak yang tutup. Unit yang lama pun
tidak semua buka pintu. Padahal sudah 2 tahun kegiatan industri
kecil masuk ke situ.
Tjokropranolo sendiri ketika meresmikan pemakaian unit baru dan
peletakan batu pertama pembangunan gedung Pusat Pelayanan Teknis
melihat adanya kelemahan dalam merencanakan SUIK. "Harus
dibedakan antara industri kecil dan industri perumahan,"
katanya. Industri perumahan, demikian Tjokro, jelas tidak bisa
digabungkan ke dalam SUIK. Karena industri perumahan melibatkan
tenaga kerja keluarga. Sedangkan tenaga kerja yang berasal dari
kalangan keluarga itu tak bisa diboyong ke Pulogadung.
Tetapi bagaimanapun pemerintah DKI berniat untuk memikat
industri perumahan itu berkumpul di Pulogadung. Supaya pengusaha
berikut tenaga kerja yang berasal dari keluarganya sendiri bisa,
beroperasi di sana, pemerintah akan membangun perkampungan
industri perumahan di tempat itu.
Pengusaha-pengusaha yang terpaksa menyingkir dari SUIK ini
antara lain yang bergerak dalam pembuatan jok/bekleding. Tidak
bisanya kawasan SUIK digunakan sebagai tempat tinggal memang
menambah ongkos transport, sementara perusahaan sendiri belum
maju.
Akhirnya mereka kembali ke pangkalan mereka di daerah Kebon
Sirih, Jakarta Pusat. "Tapi hambatan utama adalah kesulitan
pemasaran," kata Muhyidin, 35 tahun yang hanya bertahan 8 bulan
di SUIK. Semula dia memperhitungkan 200 perusahaan besar yang
bergerak di Pulogadung itu bisa jadi pasaran. Tapi meleset.
Perabot Ny. Djaelani
Ketika SUIK dibuka 2 tahun lalu ada 15 pengusaha jok di situ.
Kemudian rontok satu per satu. Dan yang tinggal kini hanya
Baharudin AM. Ini berkat rencananya yang matang sebelum masuk ke
kawasan SUIK di Pulogadung itu. Jauh hari sudah dirintisnya
untuk menjadi subkontraktor pembuatan jok dari berbagai
perusahaan mobil.
Setelah dia menempati SUIK perusahaan mobil rupanya melihat
Baharudin AM memang cukup bonafide. Dari Panca Motor dia
mendapat kesempatan membuat jok mobil Isuzu sebanyak 300
unit/bulan. Belakangan pesanan mengalir pula untuk membuat jok
VW sebanyak 50 unit/bulan.
Berdiri di atas tanah seluas 2,7 ha pada bagian barat kawasan
industri Pulogadung, SUIK menampung 53 pengusaha kecil dengan
buruh berjumlah 400 orang. Bidang usaha mereka meliputi
konveksi, percetakan, sepatu, onderdil, bola bulutangkis, panel
listrik, mebel dan macam-macam lagi.
Pengusaha industri kecil yang menempati SUIK 2 tahun lalu
dikenakan tarif Rp 500/mÿFD. Yang melamar belakangan dikenakan
Rp 800/mÿFD per bulan. Belum termasuk biaya listrik dan air
minum dari dari PAM. Penghuni nampaknya cukup senang di
kawasan baru dan resik itu. Tapi tak lupa mereka mengeluh
soal air yang kurang lancar. Hanya malarn hari, ketika kegiatan
usaha sudah berhenti, ledeng mengucur.
Pertama kali diresmikan, Agustus 1979, SUIK memang "masih dalam
taraf coba-coba," sebagaimana dikatakan Dir-Ut PT Jakarta
Industrial Estate Pulogadung (JIEP), Halim Shahab, 38 tahun.
SUIK bertujuan menumbuhkan semangat niaga dan kedudukan yang
dapat dipercaya yang selama ini tidak dimiliki pengusaha lemah.
Prioritas diberikan kepada mereka yang sulit berkembang karena
faktor lingkungan dan tak adanya tempat usaha yang membuat
mereka sulit dapat kepercayaan.
Memang setelah mereka pindah ke SUIK bidang industri kecil
nampaknya mulai dapat angin. Misalnya "ahli jok" Baharudin AM.
Kemudian seorang wanita yang membuka usaha pembuatan perabot
dari rotan, Ny. T. Abdulkadir Djaelani maju pesat selama di SUIK
itu. Dulu sebelum masuk ke Pulogadung ruangan kerja untuk
usahanya itu hanya 35 mÿFD, menempel di rumahnya. Kini ruangan
untuk mengolah perabotan rotan luasnya 120 mÿFD dengan buruh 25
orang. Ruangan kerja ini pun masih terasa sempit, apalagi kalau
sedang memelitur.
Tahun pertama berada di SUIK ekspornya meningkat 4 kali lipat.
Dan tahun 1981 ini (baru 4 bulan) nilai ekspornya sudah mencapai
jumlah tahun 1980. "Kami mengekspor tiap 10 hari sekali," kata
Nyonya Djaelani. Karena kemajuan itu cita-cita wanita ini juga
cepat melambung. Dia sudah bercita-cita untuk memasang teleks.
"untuk memperlancar hubungan," ucapnya. Biasanya dia menerima
dan mengirim berita bisnisnya dengan menumpang pada pesawat
teleks milik PT JIEP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini