Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jatuh bangun di Suik

Kompleks suik, sarana usaha industri kecil, di pulogadung jakarta bertujuan menumbuhkan semangat niaga dan kedudukan yang dapat dipercaya yang dimiliki pengusaha lemah. (eb)

2 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA yang riuh rendah belum juga terasa di kompleks Sarana Usaha Industri Kecil (SUIK) yang terletak di kawasan industri Pulogadung, Jakarta Tirnur. Masuk ke kompleks SUIK terasa sepi. Tiga unit bangunan baru yang diresmikan Gubernur Tjokropranolo 16 April yang lalu masih banyak yang tutup. Unit yang lama pun tidak semua buka pintu. Padahal sudah 2 tahun kegiatan industri kecil masuk ke situ. Tjokropranolo sendiri ketika meresmikan pemakaian unit baru dan peletakan batu pertama pembangunan gedung Pusat Pelayanan Teknis melihat adanya kelemahan dalam merencanakan SUIK. "Harus dibedakan antara industri kecil dan industri perumahan," katanya. Industri perumahan, demikian Tjokro, jelas tidak bisa digabungkan ke dalam SUIK. Karena industri perumahan melibatkan tenaga kerja keluarga. Sedangkan tenaga kerja yang berasal dari kalangan keluarga itu tak bisa diboyong ke Pulogadung. Tetapi bagaimanapun pemerintah DKI berniat untuk memikat industri perumahan itu berkumpul di Pulogadung. Supaya pengusaha berikut tenaga kerja yang berasal dari keluarganya sendiri bisa, beroperasi di sana, pemerintah akan membangun perkampungan industri perumahan di tempat itu. Pengusaha-pengusaha yang terpaksa menyingkir dari SUIK ini antara lain yang bergerak dalam pembuatan jok/bekleding. Tidak bisanya kawasan SUIK digunakan sebagai tempat tinggal memang menambah ongkos transport, sementara perusahaan sendiri belum maju. Akhirnya mereka kembali ke pangkalan mereka di daerah Kebon Sirih, Jakarta Pusat. "Tapi hambatan utama adalah kesulitan pemasaran," kata Muhyidin, 35 tahun yang hanya bertahan 8 bulan di SUIK. Semula dia memperhitungkan 200 perusahaan besar yang bergerak di Pulogadung itu bisa jadi pasaran. Tapi meleset. Perabot Ny. Djaelani Ketika SUIK dibuka 2 tahun lalu ada 15 pengusaha jok di situ. Kemudian rontok satu per satu. Dan yang tinggal kini hanya Baharudin AM. Ini berkat rencananya yang matang sebelum masuk ke kawasan SUIK di Pulogadung itu. Jauh hari sudah dirintisnya untuk menjadi subkontraktor pembuatan jok dari berbagai perusahaan mobil. Setelah dia menempati SUIK perusahaan mobil rupanya melihat Baharudin AM memang cukup bonafide. Dari Panca Motor dia mendapat kesempatan membuat jok mobil Isuzu sebanyak 300 unit/bulan. Belakangan pesanan mengalir pula untuk membuat jok VW sebanyak 50 unit/bulan. Berdiri di atas tanah seluas 2,7 ha pada bagian barat kawasan industri Pulogadung, SUIK menampung 53 pengusaha kecil dengan buruh berjumlah 400 orang. Bidang usaha mereka meliputi konveksi, percetakan, sepatu, onderdil, bola bulutangkis, panel listrik, mebel dan macam-macam lagi. Pengusaha industri kecil yang menempati SUIK 2 tahun lalu dikenakan tarif Rp 500/mÿFD. Yang melamar belakangan dikenakan Rp 800/mÿFD per bulan. Belum termasuk biaya listrik dan air minum dari dari PAM. Penghuni nampaknya cukup senang di kawasan baru dan resik itu. Tapi tak lupa mereka mengeluh soal air yang kurang lancar. Hanya malarn hari, ketika kegiatan usaha sudah berhenti, ledeng mengucur. Pertama kali diresmikan, Agustus 1979, SUIK memang "masih dalam taraf coba-coba," sebagaimana dikatakan Dir-Ut PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP), Halim Shahab, 38 tahun. SUIK bertujuan menumbuhkan semangat niaga dan kedudukan yang dapat dipercaya yang selama ini tidak dimiliki pengusaha lemah. Prioritas diberikan kepada mereka yang sulit berkembang karena faktor lingkungan dan tak adanya tempat usaha yang membuat mereka sulit dapat kepercayaan. Memang setelah mereka pindah ke SUIK bidang industri kecil nampaknya mulai dapat angin. Misalnya "ahli jok" Baharudin AM. Kemudian seorang wanita yang membuka usaha pembuatan perabot dari rotan, Ny. T. Abdulkadir Djaelani maju pesat selama di SUIK itu. Dulu sebelum masuk ke Pulogadung ruangan kerja untuk usahanya itu hanya 35 mÿFD, menempel di rumahnya. Kini ruangan untuk mengolah perabotan rotan luasnya 120 mÿFD dengan buruh 25 orang. Ruangan kerja ini pun masih terasa sempit, apalagi kalau sedang memelitur. Tahun pertama berada di SUIK ekspornya meningkat 4 kali lipat. Dan tahun 1981 ini (baru 4 bulan) nilai ekspornya sudah mencapai jumlah tahun 1980. "Kami mengekspor tiap 10 hari sekali," kata Nyonya Djaelani. Karena kemajuan itu cita-cita wanita ini juga cepat melambung. Dia sudah bercita-cita untuk memasang teleks. "untuk memperlancar hubungan," ucapnya. Biasanya dia menerima dan mengirim berita bisnisnya dengan menumpang pada pesawat teleks milik PT JIEP.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus