TANPA terlalu kita sadari, minuman beralkohol mengalir semakin deras dalam kehidupan masyarakat. Coba layangkan pandangan ke kota-kota besar. Perlahan, tapi pasti, disko, pub, niteclub, dan warung bir - tempat minuman keras itu dijual - mulai jadi bagian dari jadwal hidup orang kota. Kita bahkan tidak lagi merasa janggal melihat minuman yang memabukkan itu dijajakan di warung dan kios rokok. Padahai, di banyak negara, menjual minuman keras di tempat terbuka, atau menjinjingnya tanpa bungkusan, termasuk melanggar hukum. Tak bisa disangkal, tingkat konsumsi minuman beralkohol telah meningkat. Dalam dua dekade terakhir, industri minuman keras tumbuh dengan tingkat kenaikan produksi sekitar 2% setahun. Di samping itu, munculnya berbagai industri gelap yang tidak memiliki izin menunjukkan betapa besarnya permintaan pasar - terutama untuk minuman keras murahan. Perkara seberapa jauh alkohol berbahaya bagi kesehatan hingga kini masih diperdebatkan. Namun, yang tidak bisa ditawar untuk dipermasalahkan adalah dampak minuman itu pada perilaku yang blsa mengganggu ketenteraman masyarakat. Misalnya perilaku agresif, yang bisa berbuntut pada tindak kriminal. Juga kecelakaan lalu lintas akibat pengemudi mabuk. Kedua tindakan ini bukanlah monopoli pencandu yang sudah keracunan alkohol. Setiap peminum, bahkan yang baru saja mencobanya, punya peluang menjadi mabuk. Dan begitu alkohol mempengaruhi pusat saraf, tindakan seseorang tidak sepenuhnya lagi terkendali. Jumat pekan lalu, salah satu akibat alkohol itu dibahas dalam seminar sehari di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Diskusi "Kaitan Penyalahgunaan Alokohol dengan Kecelakaan Lalu Lintas" ini diselenggarakan Asosiasi Keselamatan Jalan Indonesia. Tampil sebagai pembicara Brigjen. Pol. (Purn.) Darmawan Soedarsono, yang bertahun-tahun mengamati masalah ini. Di sampmg itu, dibahas pula makalah Deputi Kapolri Bidang Operasi, Mayjen. Pol. Bobby Rachman, yang dibawakan Kol. Pol. Gandi, Kepala Subdirektorat Lalu Lintas Polri. Tampak hadir pula Dirjen Perhubungan Darat, Departemen Perhubungan, Giri Suseno. Gandi, yang muncul sebagai pembicara pertama, mengemukakan bahwa profil lalu lintas jalan raya terus-menerus berubah. "Dan kecelakaan bertambah terus." Salah satu penyebab yang sudah sering dikemukakan ialah tidak sebandingnya pengembangan jalan raya dengan penambahan kendaran bermotor. Panjang jalan yang total 205.577 kilometer mengalami pertumbuhan hanya 2,61% setahun. Sementara itu, kendaraan yang di tahun 1988 mencapai 8,5 juta bertambah 8,38% setahun. Pada tahun yang sama, dari 1.545.059 kasus yang ditangani Polri akibat pelanggaran lalu lintas, penyebab pelanggaran terbesar adalah faktor pengemudi. Sikap mental, kurangnya keterampilan mengemudi, dan kurangnya rasa tanggung jawab, ternyata, menelan 10.456 nyawa tahun lalu. Menurut Gandi, bertolak daribesarnya pengaruh faktor pengemudi ini yang mungkin saja bersumber dan pengaruh alokhol - maka hal itu memang patut dipermasalahkan. Walaupun data statistik yang menunjukkan kecelakaan akibat pengemudi mabuk masih relatif sangat kecil. Gandi mensinyalir, angka itu tidak menunjukkan data sebenarnya. "Karena memang tidak ada pemeriksaan secara khusus apakah pengemudi mabuk atau tidak, dan seberapa tingkat mabuknya," katanya. "Soalnya, peraturannya tidak ada." Menjawab pertanyaan seorang panelis, Gandi mengingatkan bahwa polisi sebagai aparat pemerintah harus mempunyai pegangan peraturan, untuk melakukan tindak pemeriksaan apalagi penangkapan. "Dalam soal alkohol, peraturannya tipis sekali." Mempertegas pendapat Gandi, Darmawan Soedarsono menunjuk, Peraturan Perundang-undangan Lalu Lintas paal 5.d UU No. 3/Tahun 1965 sebagai satu-satunya pegangan polisi untuk melakukan tindakan. Pasal ini menurut Darmawan ti,lak jelas, karena tidak rinci. Di situ memang disebutkan, pengemudi tidak boleh dipengaruhi minuman beralkohol. Namun, dalam peraturan, kondisi pengemudi itu disejajarkan dengan keadaan tubuh yang lemah dan kondisi sakit. "Kriteria mabuknya tidak dirinci. Karena itu, polisi tidak punya pegangan untuk menentukan apakah pengemudi mabuk atau tidak," katanya. Berdasarkan kajian terhadap berbagai penelitian, Darmawan bisa mengatakan bahwa dengan kadar alkohol 0,05% dalam tubuh, risiko melakukan kesalahan dalam mengemudi adalah 1:10. Risiko ini akan berlipat menjadi dua kali bila kadar alkohol naik menjadi 0,10%. "Dan, kalau kadar alkohol sudah sampai 0,15-0,20%, kemungkinan melakukan kesalahan mengemudi akan mencapai 50%." Padahal, teori mengemudi yang aman, tidak bisa mentoleransi sedikit Dun kemungkinan membuat kesalahan. "Karena itu, di negara-negara lain termasuk tetangga kita Singapura dan Filipina - kadar yang diperbolehkan hanya 0,05% ," kata bekas pejabat tinggi Polri itu. "Kalau tes pernapasan menunjukkan kadarnya lebih dari itu, secirang pengemudi langsung ditangkap." Wewenang yang diberikan pada polisi ini, menurut Darmawan, ternyata secara efektif berhasil menurunkan angka kecelakaan. "Maka, persoalannya adalah peraturan kita belum memanfaatkan hasil penelitian mutakhir," kata Ketua Asoisiasi Keselamatan Jalan Indonesia itu. Sudah ketinggalan zaman dan jadinya tidak efektif untuk menghadapi keadaan di masa kini. Padahal, menurut Darmawan, kita tidak bisa menutup mata terhadap peningkatan konsumsi alokohol. "Dan yang menakutkan, adanya gejala di kalangan pengemudi remaja, yang mencampurkan obat-obat psikotropik ke dalam minuman." Bukti-bukti kecelakaan, walaupun belum terekam secara statistik, sudah ada. Dan akibatnya sangat mengerikan. Dalam tanggapannya, Dirjen Perhubungan Darat, Giri Suseno, membenarkan perlunya aktualisasi perundang-undangan lalu lintas. "Usaha peremajaan ini memang sedang dikerjakan," katanya. Dan sebagai pemimpin direktorat jenderal yang terlibat dalam penyusunan rancangan undang-undang itu, ia berjanji akan mengolah persoalan ini, dan memasukkannya dalam rancangan undang-undang lalu lintas. Darmawan akhirnya sampai pada pendapat, secara umum kita memang belum mengontrol penyalahgunaan alkohol. Baik untuk melindungi kaum remaja, atau mengatasi tindakan kriminal, maupun untuk mengamankan jalan raya. Padahal, tanda-tanda di lapangan sudah ada. "Inilah yang sering menyulitkan aparatur negara untuk bertindak," ia menegaskan. Menurut bekas Kadispen Polri ini, sebelum masalahnya meruyak, sebaiknya kita mulai menyusun rambu-rambu pengaman. Diingatkannya bahwa perlu waktu khusus untuk menyusun perundang-undangan atau peraturan pemerintah. Dan masih diperlukan waktu lagi untuk merancang sistem pengamanan - berdasarkan peraturan itu - agar bisa menjadi ramburambu yang betul-betul efektif.Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini