Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kalau istri atau suami anda...

Bersikap lembut terhadap penderita kanker barangkali bisa meringankan penderitaan. bagaimana menghadapi anggota keluarga yang menderita kanker, diseminarkan pekan lalu di jakarta.

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMENTARA kanker belum bisa disembuhkan, perasaan keluarga yang, salah seorang anggotanya sedang bergelut dengan penyakit ini, tak kalah runyamnya. Maklum, mereka harus bisa menahan diri menghadapi perangai penderita yang meminta banyak perhatian. Gampang marah. Atau, terkadang juga, menyumpah-nyumpah menyesali dirinya yang diserang penyakit tak berobat itu. Menyumpal gejolak perasaan si penderita, mungkin akan menambah parah penderitaannya. "Berilah kesempatan. Biarkan dia melampiaskan semua perasaannya," begitulah anjuran Diana, wanita berparas cantik, berusia 27 tahun, yang menjanda ditinggalkan suaminya yang kena kanker. Adek Mulyadi, suami Diana, adalah seorang dokter yang bekerja di PLN, Jakarta. Ia menderita kanker limfoma. Penyakit itu sendiri ditemukan agak terlambat. Sekitar 3 tahun yang lalu pemeriksaan rontgen menunjukkan jantungnya membesar. Dokter yang memeriksa menyebutkan tanda itu sebagai kelainan bawaan belaka. Tapi belakangan baru diketahui jantung membengkak itu sebagai awal dari penderitaan sang suami. Ia mulai batuk-batuk. Tambah lama tambah parah. Dan dalam pemeriksaan 2 tahun kemudian baru tersingkap, dokter lulusan Universitas Indonesia tahun 1979 itu, terserang kanker. "Kata dokter yang memeriksa, sudah stadium tiga. Sudah berat sekali," kenang Diana kepada wartawan TEMPO, Indrayati. Suami Diana tahu betul apa arti penyakit yang dideritanya itu. Namun sebagaimana orang awam, dia juga tak bisa menghindar dari gejolak perasaan penderita kanker berubah-ubah secara bertahap. Pada tahap pertama, dia menunjukkan sikap penolakan. Merasa tidak kankeran. Dan penyakitnya biasa-biasa saja. Tetapi sikap ini kemudian berubah pada tahap berikutnya, menjadi gampang marah. Menempatkan gelas saja kalau salah, dia bisa naik pitam. Pada tahap ketiga, menurut Diana, suaminya menunjukkan sikap tawar-menawar. Misalnya dengan berkata: "Mengapa saya yang sakit kanker, tapi bukan mereka yang tidak dibutuhkan orang banyak." Pada tahap keempat dia berada dalam depresi. Merasa amat sedih, karena tahu kalau penyakitnya tak bakal bisa disembuhkan. Ia mulai berpikir siapa yang akan mengurus istri dan seorang anak yang akan dia tinggalkan. Kemudian sikap itu berubah menjadi sikap menyerah total. Pada tahap terakhir ini, menurut cerita Diana, dia sendiri mengerahkan semua kemampuannya untuk hanyut bersama perasaan sang suaml. Ia tetap menunjukkan sikap sebagai seorang istri terhadap suami. Meskipun sang suami kini tinggal tulang dan hanya bisa terbaring di tempat tidur. Sikap seorang istri sejati itulah yang mengantarkan Adek Mulyadi dengan tenang, sampai dia menemukan ajalnya awal Mei yang lalu. Sikap yang baik terhadap penderita kanker, sekalipun tidak bisa menyembuhkan, mungkin dapat meringankan penderitaan korban. Soal ini sempat menjadi pembicaraan yang menarik dalam simposium sehari "Masalah Kanker Dalam Keluarga" yang diselenggarakan Lembaga Kanker Indonesia, 30 Juli di Hotel Borobudur, Jakarta. Prof. Mulyono Gandadiputra, ahli psikologi yang sering tampil di layar televisi itu, ambil bagian dalam seminar yang dihadiri sekitar 300 orang itu. Peserta tertarik karena Mulyono sendiri sedang menderita sejenis kanker yang menyerang bagian dalam tubuhnya. Ia muncul sebagai pembicara, Dersis pada waktu gilirannya tiba, karena Muiyono kabarnya tak bisa duduk berlama-lama. Dia menguraikan perubahan-perubahan sikap yang bisa terjadi pada seorang penderita dan keluarganya. "Keluarga penderita terserang gangguan perasaan kecemasan dalam menghadapi masa yang akan datang. Apa yang akan terjadi, keluarga penderita tak tahu persis. Dalam keadaan perasaan tertekan, si penderita harus diajak untuk tidak berkecil hati," katanya. Kanker yang menyerang diri Mulyono sendiri, katanya, membawa perubahan dalam polanya berpikir. "Dulu saya mencari uang. Sudah mendapat gelar profesor, doktor. Sudah melihat Amerika. Sekarang yang penting, bagaimana lebih dekat kepada Tuhan," katanya. Sedikitnya penderita kanker yang bisa lepas dari maut, membuat guncangan hebat dalam keluarganya. Tetapi menurut Nyonya Mardjaman, sejak awal perkawinan, orang sudah harus bersiap-siap untuk menghadapinya. "Jangan kalang kabut kalau suami kena kanker," cerita istri Mayor Jenderal (Purn) Mardjaman itu dalam seminar tadi. Ia, katanya, tidak putus asa. Sekalipun dia mengaku menangis juga ketika mengetahui suaminya terserang kanker pankreas. Keluarga perwira tinggi polisi itu hanyut juga dalam kesedihan. Menurut Nyonya Mardjaman, di saat-saat terakhir, suaminya menjadi lebih pendiam. Kitab suci Al Quran selalu di sisinya. Sembahyang rajin. Minat membaca bertambah, terutama mengenai buku yang menyangkut kanker. Setelah mendengar keterangan dokter mengenai penyakit suaminya, Nyonya Mardjaman berusaha untuk tidak mengguncangkan perasaan sang suami. Menurut sang nyonya, untuk menjaga perasaan suami, mula-mula dia hanya menyampaikan bahwa sang suami perlu operasi untuk membuat jalan bagi empedu yang tersumbat. Supaya Mardjaman tidak merasa gatal-gatal dan tidak menderita penyakit dengan seluruh tubuh berwarna kuning. "Tutur kata saya yang terkendali tidak membangkitkan kecemasannya yang berlebihan," cerita Nyonya Mardjaman. Mardjaman tidak hanya beruntung punya istri yang pandai mengendalikan perasaan. Dia juga selamat dari maut. Berkat operasi di Negeri Belanda awal 1982, kanker pankreas itu sudah dilepaskan dari dalam tubuhnya. Rasanya, seminar sehari itu kurang lengkap tanpa seorang pembicara yang bernama Waskito Tjiptosasmito. Ia belum sampai kematian istri gara-gara kanker. Hanya sebelah payudara istrinya yang hilang. Sesudah keluar dari kamar operasi dia menemukan kenyataan, istri yang sudah tak lengkap. Selain hilangnya sebuah payudara, bagian tungkai istrinya juga dikuliti untuk memoles bagian dada yang terbang payudaranya. "Tetapi keadaan itu tidak mengubah sikap saya," katanya. Sebab menurut dia, jodoh mestilah sampai mati, sekalipun istrinya kemudian ternyata menderita cacat. Herannya, seperti yang diutarakan waskito, istrinyalah yang memulai pembicaraan tentang bagaimana membuat penampilan fisik yang lebih menarik. Rupanya si istri mendengar dokter yang bercerita tentang adanya payudara tiruan yang dibuat dari silikon. Suami yang punya posisi sosial cukup tinggi itu akhirnya berhasil membeli barang tiruan itu di Amerika Serikat. Persediaan anggota tubuh tiruan itu, menurut Waskito, cukup banyak di rumahnya. "Tapi maaf untuk menjadi agen, saya belum berminat. Kecuali mencarikan untuk istri saya," ujarnya mencoba melucu. Seminar sehari itu terasa kurang berdarah. Karena tidak menyinggung lingkungan dan gaya hidup yang harus ditempuh orang untuk mencegah kanker. Zat pengawet makanan maupun rokok sebagai salah satu sumber kanker tidak dibicarakan. Sedangkan para dokter mengulangi petuah lama mereka tentang pentingnya menemukan kanker sedini mungkin supaya dapat dioperasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus