SEMENTARA kanker belum bisa disembuhkan, perasaan keluarga yang,
salah seorang anggotanya sedang bergelut dengan penyakit ini,
tak kalah runyamnya. Maklum, mereka harus bisa menahan diri
menghadapi perangai penderita yang meminta banyak perhatian.
Gampang marah. Atau, terkadang juga, menyumpah-nyumpah menyesali
dirinya yang diserang penyakit tak berobat itu.
Menyumpal gejolak perasaan si penderita, mungkin akan menambah
parah penderitaannya. "Berilah kesempatan. Biarkan dia
melampiaskan semua perasaannya," begitulah anjuran Diana, wanita
berparas cantik, berusia 27 tahun, yang menjanda ditinggalkan
suaminya yang kena kanker.
Adek Mulyadi, suami Diana, adalah seorang dokter yang bekerja di
PLN, Jakarta. Ia menderita kanker limfoma. Penyakit itu sendiri
ditemukan agak terlambat. Sekitar 3 tahun yang lalu pemeriksaan
rontgen menunjukkan jantungnya membesar. Dokter yang memeriksa
menyebutkan tanda itu sebagai kelainan bawaan belaka. Tapi
belakangan baru diketahui jantung membengkak itu sebagai awal
dari penderitaan sang suami.
Ia mulai batuk-batuk. Tambah lama tambah parah. Dan dalam
pemeriksaan 2 tahun kemudian baru tersingkap, dokter lulusan
Universitas Indonesia tahun 1979 itu, terserang kanker. "Kata
dokter yang memeriksa, sudah stadium tiga. Sudah berat sekali,"
kenang Diana kepada wartawan TEMPO, Indrayati.
Suami Diana tahu betul apa arti penyakit yang dideritanya itu.
Namun sebagaimana orang awam, dia juga tak bisa menghindar dari
gejolak perasaan penderita kanker berubah-ubah secara bertahap.
Pada tahap pertama, dia menunjukkan sikap penolakan. Merasa
tidak kankeran. Dan penyakitnya biasa-biasa saja. Tetapi sikap
ini kemudian berubah pada tahap berikutnya, menjadi gampang
marah. Menempatkan gelas saja kalau salah, dia bisa naik pitam.
Pada tahap ketiga, menurut Diana, suaminya menunjukkan sikap
tawar-menawar. Misalnya dengan berkata: "Mengapa saya yang sakit
kanker, tapi bukan mereka yang tidak dibutuhkan orang banyak."
Pada tahap keempat dia berada dalam depresi. Merasa amat sedih,
karena tahu kalau penyakitnya tak bakal bisa disembuhkan. Ia
mulai berpikir siapa yang akan mengurus istri dan seorang anak
yang akan dia tinggalkan. Kemudian sikap itu berubah menjadi
sikap menyerah total.
Pada tahap terakhir ini, menurut cerita Diana, dia sendiri
mengerahkan semua kemampuannya untuk hanyut bersama perasaan
sang suaml. Ia tetap menunjukkan sikap sebagai seorang istri
terhadap suami. Meskipun sang suami kini tinggal tulang dan
hanya bisa terbaring di tempat tidur. Sikap seorang istri sejati
itulah yang mengantarkan Adek Mulyadi dengan tenang, sampai dia
menemukan ajalnya awal Mei yang lalu.
Sikap yang baik terhadap penderita kanker, sekalipun tidak bisa
menyembuhkan, mungkin dapat meringankan penderitaan korban. Soal
ini sempat menjadi pembicaraan yang menarik dalam simposium
sehari "Masalah Kanker Dalam Keluarga" yang diselenggarakan
Lembaga Kanker Indonesia, 30 Juli di Hotel Borobudur, Jakarta.
Prof. Mulyono Gandadiputra, ahli psikologi yang sering tampil di
layar televisi itu, ambil bagian dalam seminar yang dihadiri
sekitar 300 orang itu. Peserta tertarik karena Mulyono sendiri
sedang menderita sejenis kanker yang menyerang bagian dalam
tubuhnya. Ia muncul sebagai pembicara, Dersis pada waktu
gilirannya tiba, karena Muiyono kabarnya tak bisa duduk
berlama-lama.
Dia menguraikan perubahan-perubahan sikap yang bisa terjadi pada
seorang penderita dan keluarganya. "Keluarga penderita terserang
gangguan perasaan kecemasan dalam menghadapi masa yang akan
datang. Apa yang akan terjadi, keluarga penderita tak tahu
persis. Dalam keadaan perasaan tertekan, si penderita harus
diajak untuk tidak berkecil hati," katanya.
Kanker yang menyerang diri Mulyono sendiri, katanya, membawa
perubahan dalam polanya berpikir. "Dulu saya mencari uang. Sudah
mendapat gelar profesor, doktor. Sudah melihat Amerika. Sekarang
yang penting, bagaimana lebih dekat kepada Tuhan," katanya.
Sedikitnya penderita kanker yang bisa lepas dari maut, membuat
guncangan hebat dalam keluarganya. Tetapi menurut Nyonya
Mardjaman, sejak awal perkawinan, orang sudah harus bersiap-siap
untuk menghadapinya. "Jangan kalang kabut kalau suami kena
kanker," cerita istri Mayor Jenderal (Purn) Mardjaman itu dalam
seminar tadi. Ia, katanya, tidak putus asa. Sekalipun dia
mengaku menangis juga ketika mengetahui suaminya terserang
kanker pankreas.
Keluarga perwira tinggi polisi itu hanyut juga dalam kesedihan.
Menurut Nyonya Mardjaman, di saat-saat terakhir, suaminya
menjadi lebih pendiam. Kitab suci Al Quran selalu di sisinya.
Sembahyang rajin. Minat membaca bertambah, terutama mengenai
buku yang menyangkut kanker.
Setelah mendengar keterangan dokter mengenai penyakit suaminya,
Nyonya Mardjaman berusaha untuk tidak mengguncangkan perasaan
sang suami. Menurut sang nyonya, untuk menjaga perasaan suami,
mula-mula dia hanya menyampaikan bahwa sang suami perlu operasi
untuk membuat jalan bagi empedu yang tersumbat. Supaya Mardjaman
tidak merasa gatal-gatal dan tidak menderita penyakit dengan
seluruh tubuh berwarna kuning. "Tutur kata saya yang terkendali
tidak membangkitkan kecemasannya yang berlebihan," cerita Nyonya
Mardjaman.
Mardjaman tidak hanya beruntung punya istri yang pandai
mengendalikan perasaan. Dia juga selamat dari maut. Berkat
operasi di Negeri Belanda awal 1982, kanker pankreas itu sudah
dilepaskan dari dalam tubuhnya.
Rasanya, seminar sehari itu kurang lengkap tanpa seorang
pembicara yang bernama Waskito Tjiptosasmito. Ia belum sampai
kematian istri gara-gara kanker. Hanya sebelah payudara istrinya
yang hilang. Sesudah keluar dari kamar operasi dia menemukan
kenyataan, istri yang sudah tak lengkap. Selain hilangnya sebuah
payudara, bagian tungkai istrinya juga dikuliti untuk memoles
bagian dada yang terbang payudaranya. "Tetapi keadaan itu tidak
mengubah sikap saya," katanya. Sebab menurut dia, jodoh mestilah
sampai mati, sekalipun istrinya kemudian ternyata menderita
cacat.
Herannya, seperti yang diutarakan waskito, istrinyalah yang
memulai pembicaraan tentang bagaimana membuat penampilan fisik
yang lebih menarik. Rupanya si istri mendengar dokter yang
bercerita tentang adanya payudara tiruan yang dibuat dari
silikon. Suami yang punya posisi sosial cukup tinggi itu
akhirnya berhasil membeli barang tiruan itu di Amerika Serikat.
Persediaan anggota tubuh tiruan itu, menurut Waskito, cukup
banyak di rumahnya. "Tapi maaf untuk menjadi agen, saya belum
berminat. Kecuali mencarikan untuk istri saya," ujarnya mencoba
melucu.
Seminar sehari itu terasa kurang berdarah. Karena tidak
menyinggung lingkungan dan gaya hidup yang harus ditempuh orang
untuk mencegah kanker. Zat pengawet makanan maupun rokok sebagai
salah satu sumber kanker tidak dibicarakan. Sedangkan para
dokter mengulangi petuah lama mereka tentang pentingnya
menemukan kanker sedini mungkin supaya dapat dioperasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini