KASET tanpa stiker, ternyata masih banyak beredar. Pekan lalu,
seorang gadis membelinya di sebuah toko di Blok M, Jakarta
Selatan, tanpa tahu bahwa itu sebenarnya barang haram. Di
Semarang, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya pun, menurut pihak
Asiri (Asosiasi Industri Rekaman), kaset-kaset semacam itu
banyak dijumpai.
Padahal, berdasar SK Menteri Keuangan, sejak Juni lalu kaset
yang tanpa stiker tak boleh lagi diperdagangkan. Sebab,
pengedarnya berarti belum melunasi Pajak Penjualan (PPn) sebesar
Rp 90 per kaset untuk lagu Indonesia dan daerah, atau Rp 130
untuk lagu asing. Dengan kata lain, kaset-kaset itu
disebarluaskan oleh para pembajak, yang sebenarnya hendak
dibabat lewat program penstikeran.
"Mestinya kaset-kaset model begitu kan dirazia. Tapi, nyatanya,
para pedagang dan toko kaset bisa menjualnya dengan aman," kata
seorang produsen rekaman. Para penyanyi pun, khususnya yang
teken kontrak berdasar royalties, menjadi gusar. Sebab, upaya
mereka untuk mengetahui berapa banyak sebenarnya kaset mereka
yang beredar, menjadi sia-sia. Acil Bimbo, misalnya, tetap
merasa kecurian.
Siapa pencurinya? "Itu yang kami tidak tahu," kata Sam Bimbo.
Sugeng Hidayat, ketua umum Asiri, menyatakan hal yang sama
dengan nada penasaran. Yang senang adalah kantor pajak. Menurut
sebuah sumber, selama Februari sampai Juli, Direktorat Jenderal
Pajak berhasil mengumpulkan Rp 3 milyar dari PPn kaset. Padahal
tahun lalu, sebelum ada stiker cukai, pajak yang masuk kabarnya
hanya sekitar Rp 60 juta-Rp 70 juta.
Kesimpulannya, menurut Sugeng, SK Menteri Keuangan yang
dikeluarkan Desember 1982 lalu baru mencapai satu sasaran:
mengamankan pendapatan pemerintah dari sektor PPn kaset. Akan
halnya kepentingan perusahaan rekaman dan artis, masih jauh
panggang dari api. Apalagi karena kaset yang memakai stiker,
bisa juga berarti asli tapi palsu.
Soalnya stiker tersebut, pembagiannya belum mulus. Pengusaha
rekaman yang hendak melempar kaset ke pasaran, membayar PPn
lebih dahulu lewat pabrik kaset kosong, sesuai dengan jumlah
kaset kosong yang dibelinya. Baru, setelah itu menghubungi
kantor pajak, untuk memperoleh stiker dimaksud. Celakanya, tak
hanya pengusaha rekaman yang bisa membeli kaset kosong dan
stiker itu. Toko kaset atau mereka yang tidak memproduksi kaset
pun, menurut sepengetahuan Sugeng, dibolehkan membeli.
Itu bisa diketahui dari daftar pembeli dipabrik kaset kosong.
Jumlah anggota Asiri yang melakukan rekaman ada 46. Ternyata,
menurut sebuah sumber, pelanggan kaset kosong ada 100. Siapa
pelanggan yang lain itu, sulit diketahui. Dan "pembeli gelap"
itulah tampaknya yang kemudian mengedarkan kaset asli tapi
palsu. Artinya, mereka hanya mengedarkan kaset saja tanpa
memproduksi atau mereproduksi, apalagi membayar honor penyanyi
atau pemusik.
Buat pabrik kaset kosong sendiri tentu saja senang bisa menjual
banyak. Menurut yang didengar Arifin Razik, ketua I Asiri,
sebuah pabrik kaset kosong ada yang mempunyai omet 4,5 juta
buah sebulan. Padahal kini ada empat pabrik kaset kosong.
Sedangkan yang diserap pengusaha rekaman anggota Asiri hanya
sekitar 5 juta sebulan.
Pengusaha rekaman sendiri ternyata ada juga yang nakal. Mereka
sengaja main borong stiker. Lalu, kepada produser lain yang
membutuhkan -- karena persediaan di kantor pajak agak seret --
dijual dengan harga sampai Rp 140 per buah. Di Semarang, bahkan,
dijumpai banyak stiker palsu beredar dan dijual dengan harga Rp
40 sebuah.
"Dari sini kelihatan, betapa banyak parasit yang ikut mencari
makan dalam dunia perkasetan," kata seorang produser. Dan itu
terjadi, karena parasit tadi, tahu betul cara memanfaatkan celah
yang ada. Untuk memdapatkan stiker, misalnya, memang hanya yang
punya izin produksi dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
yang berhak. Tapi, selain pada prakteknya pemilik toko kaset
juga bisa membeli, pengusaha yang memiliki kedua syarat itu
sebenarnya juga ada yang tak layak mendapat stiker. Soalnya,
kata Sugeng, ada pengusaha yang mempunyai izin produksi dan NPWP
ternyata tak pernah rekaman. "Kerjanya membajak," katanya. Kasus
serupa itu pernah terbongkar di Semarang tahun lalu. Pelakunya A
Kong alias Joe Fen Kwang alias Bambang Lelono. Perusahaannya
Permana Records, memiliki izin usaha sebagai industri rekaman.
Ternyata rumahnya di bilangan Semarang Selatan, dipakai untuk
membajak lagu-lagu yang sedang beredar dan laku di pasaran.
Maka, agar supaya artis dan produser tak selalu gigit jari,
Asiri dan artis yang dimotori Bimbo punya pikiran agar
penstikeran dilakukan lewat komputer, dan ditangani pihak ketiga
-- untuk memungkinkan adanya kontrol dan keterbukaan. Lewat jasa
komputer, menurut Acil, maupun Sugeng, pada kaset yang ditempeli
stiker bisa diberi kode yang menunjuk pada nama artis,
produsernya dan nomor urut. Dengan begitu artis dan produser
tahu betul, berapa sebenarnya jumlah kaset yang telah terjual.
Juga, bila ada kaset bajakan akan mudah dilacak. Akan halnya
produser yang suka nakal dengan memanipulasikan jumlah kaset
yang terjual, tak bisa lagi main mata.
Tapi, usul itu boleh jadi musykil. Sebab Direktur Jenderal Pajak
sendiri, Salamun A.T., misalnya, meragukan hal itu bisa segera
diterapkan. Sebab pengusaha rekaman, katanya, mungkin banyak
yang keberatan karena merasa dirugikan. Namanya soal uang --
buat pengusaha maupun kantor pajak, sama saja cara menilainya.
Dan uang, di Indonesia sejak beberapa tahun ini, kian sulit
dipisahkan dari dunia musik yang dulu cuma diisi oleh komponis
miskin dan pemusik kelaparan. Agaknya itulah sebabnya perkara
musik dengan cepat menyangkut urusan mesin hitung -- lantas
kepolisian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini