Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Taman angan di waduk petani

Sebuah waduk di desa selayang, kab. langkat, dijual kepada PT Samudra Jaya Line, oleh oknum-oknum tertentu. para petani mengadu ke pangkopkamtibda sumatra utara. (hk)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIBUAN petani Selayang di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, dicekam keresahan menghadapi musim tanam bulan ini. Sebab satu-satunya sumber air sawah mereka selama ini, berupa sebuah waduk, kini tidak bisa diharapkan lagi. Sebuah perusahaan swasta, PT Samudera Jaya Line, sejak bulan lalu sibuk mengerahkan buruh-buruhnya untuk mengeringkan waduk itu. Di sana akan dibangun sebuah obyek wisata. "Kini waduk itu sudah kering," keluh M. Yunus, pensiunan kopral, yang menggarap setengah hektar sawah di desa itu. Menurut Yunus, waduk buatan itu sepenuhnya milik sekitar 1.500 petani di desa itu, yang 150 di antaranya adalah purnawirawan ABRI. "Itu hasil kerja gotong royong ABRI dan rakyat," tambah Yunus. Pada 1959, katanya, waduk seluas 2,7 hektar dan tali air sepanjang 2,5 km itu dibuat dalam rangka proyek Sapta Marga. Setahun kemudian proyek itu diresmikan Jenderal A.H. Nasution dan setelah itu dinikmati para petani, baik ABRI maupun sipil. "Sekarang pemerintah kok bilang waduk itu milik Amiruddin," tambah Ngadi, sersan pensiunan yang juga bertani di desa itu. Rupanya tanpa setahu para petani, Direktur PT Samudera Jaya Line, Amiruddin, telah mengambil alih tanah itu. Bahkan pengusaha itu mendapatkan sertifikat hak milik atas tanah itu dari Agraria bertanggal 9 Juli 1981. Ketua DPRD Kabupaten Langkat, Hasan Saidi, menuduh bahwa waduk itu "dijual oknum-oknum tertentu seharga Rp 19 juta kepada Amiruddin," seperti dikutip harian Sinar Indonesia Bar, Medan. Kuasa Usaha Samudera Jaya di Selayang, Rusmin, membenarkan bahwa perusahaannya merencanakan pembangunan proyek wisata yang megah di bekas waduk itu kelak. Di tempat itu, sekitar 50 km dari Medan, katanya, akan dibangun kolam renang, kolam sepeda air, dan 40 rumah penginapan, lengkap dengan landasan helikopter. "Tempat itu akan diberi nama Taman Mini Selayang Indah," ujar Rusmin. Tapi siapa yang menjual tanah itu kepada mereka? Kepala Desa Selayang, Abdur Rahman Rawi, membantah telah menjual waduk itu, seperti yang dituduhkan banyak orang. Tapi diakuinya bahwa ia bersama Camat Matsyah, menyerahkan waduh itu kepada Amiruddin. "Sejak dibangun sampai l966, waduk tidak berfungsi karena sawah penduduk tadah hujan," kata Rawi. Pada 1972, menurut Rawi, waduk itu diserahkan kepala desa sebelumnya, Sanusi Sitorus, kepada 19 orang petani untuk digarap. Praktis, katanya, waduk itu juga tidak berfungsi bagi sawah petani yang lain. Tiga tahun lalu muncul Amiruddin menawarkan gagasan yang memikat. Rawi lalu menyerahkan waduk itu. "Selain akan menjadikan Selayang sebagai obyek wisata, ia juga akan membuat pipa air dari Sungai Wampu ke lokasi waduk, sepanjang 1,8 km," ujar Rawi. Gagasan Amiruddin, menurut Rawi, juga disepakati Camat Matsyah. Sebanyak 19 orang petani yang sudah telanjur menggarap sawah itu dibereskan dengan sejumlah ganti rugi. "Toh tanah itu mereka pinjam," ujar Rawi lagi. Masing-masing petani penggarap itu mendapat ganti rugi Rp 15 ribu sampai Rp 30 ribu. Setelah itu, ke-19 petani itu membuat surat pernyataan kepada camat yang isinya, antara lain, meminta camat menyerahkan tanah itu kepada Amiruddin. Surat yang dibuat Desember 1980 itu kemudian disusul dengan surat penyerahan waduk dari camat kepada Amiruddin, pada 7 maret 1981. Rapi. Ternyata proses itu membuat petani lain yang ada di desa itu bingung. "Apa hak mereka -- baik ke-19 petani itu atau camat menyerahkan waduk itu pada orang lain?" tanya Yunus, yang merasa waduk itu milik bersama warga desa. Tapi salah seorang dari petani yang mendapat ganti rugi membantah surat pernyataan itu. "Kami cuma meneken tanda terima ganti rugi," ujar petani yang tak bersedia disebut namanya. Ia malah yakin bahwa surat pernyataan itu palsu. Kasus pemalsuan itulah yang kini diadukan para petani ke Pangkopkamtibda Sumatera Utara. Laksus/Kopkamtibda pun turun tangan. "Sudah banyak orang laksus yang turun ke mari," kata Yunus gembira. Selain itu ada surat perintah kepada Kodim Langkat untuk segera menanggulangi kasus pemalsuan tanda tangan itu. Namun dari "kepalsuan" yang dituduhkan itu, Amiruddin mendapatkan sertifikat hak milik. Kepala Agraria Kabupaten Langkat, Tungku Abdullah, yang baru empat bulan bertugas di Langkat, membenarkan bahwa sertifikat yang diberikan kepada Amiruddin oleh pejabat lama, Harun Rasyid, sesuai dengan prosedur. "Tapi kami tidak tahu kaliu tanah yang disertifikatkan itu waduk. Surat kepala desa dan camat hanya menyebut tanah itu bukan tanah sengketa dan akan digunakan Amiruddin untuk pertanian," ujar Tungku Abdullah. Bawahan Abdullah, Kepala Subdit Landreform, M. Pasaribu, menambahkan kebingungannya: "Dalam permohonan disebutkan tanah itu untuk bertani, kok untuk lokasi wisata?" Kekesalan penduduk memuncak, ketika apa yang disebut pembangunan proyek wisata ternyata juga baru angan-angan -- terbukti telah 2« tahun Amiruddin menelantarkan waduk itu. "Dia cuma bisa membuka pintu air, sehingga waduk kering," ujar Ngadi, 55 tahun, pensiunan sersan. Setengahnya ia menuduh Amiruddin sebagai pengusaha yang tidak bonafide. "Saya juga curiga," kata Badrun, wakil camat. Hal itu, katanya, juga terlihat dari caranya membayar ganti rugi 19 petani. Pembayaran yang cuma antara Rp 15 ribu sampai Rp 30 ribu kepada setiap petani itu, menurut Badrun, dilakukan Amiruddin sampai empat tahap. "Mungkin aku lebih kaya dari dia," ujar Badrun sambil terbahak-bahak. Tersendatnya rencana Amiruddin, menurut kuasa usahanya di Selayang, Rusmin, bukan apa-apa: "Hanya karena Amiruddin harus operasi mata di Jepang selama 6 bulan, sehingga banyak menelan biaya." Tapi menurut Nyonya Amiruddin, soalnya bukan itu. Bisnis pelayaran Samudra Jaya Line, katanya, lagi surut. "Ada beberapa kapal kami yang dicarter orang luar negeri," katanya, "hingga perkiraan dana meleset." Amiruddin tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan masalah itu kepada TEMPO. "Saya sibuk," ujar Amiruddin sambil memacu mobil Land Rover dari kantornya di Medan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus