RIBUAN petani Selayang di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara,
dicekam keresahan menghadapi musim tanam bulan ini. Sebab
satu-satunya sumber air sawah mereka selama ini, berupa sebuah
waduk, kini tidak bisa diharapkan lagi. Sebuah perusahaan
swasta, PT Samudera Jaya Line, sejak bulan lalu sibuk
mengerahkan buruh-buruhnya untuk mengeringkan waduk itu. Di sana
akan dibangun sebuah obyek wisata.
"Kini waduk itu sudah kering," keluh M. Yunus, pensiunan kopral,
yang menggarap setengah hektar sawah di desa itu. Menurut Yunus,
waduk buatan itu sepenuhnya milik sekitar 1.500 petani di desa
itu, yang 150 di antaranya adalah purnawirawan ABRI. "Itu hasil
kerja gotong royong ABRI dan rakyat," tambah Yunus.
Pada 1959, katanya, waduk seluas 2,7 hektar dan tali air
sepanjang 2,5 km itu dibuat dalam rangka proyek Sapta Marga.
Setahun kemudian proyek itu diresmikan Jenderal A.H. Nasution
dan setelah itu dinikmati para petani, baik ABRI maupun sipil.
"Sekarang pemerintah kok bilang waduk itu milik Amiruddin,"
tambah Ngadi, sersan pensiunan yang juga bertani di desa itu.
Rupanya tanpa setahu para petani, Direktur PT Samudera Jaya
Line, Amiruddin, telah mengambil alih tanah itu. Bahkan
pengusaha itu mendapatkan sertifikat hak milik atas tanah itu
dari Agraria bertanggal 9 Juli 1981. Ketua DPRD Kabupaten
Langkat, Hasan Saidi, menuduh bahwa waduk itu "dijual
oknum-oknum tertentu seharga Rp 19 juta kepada Amiruddin,"
seperti dikutip harian Sinar Indonesia Bar, Medan.
Kuasa Usaha Samudera Jaya di Selayang, Rusmin, membenarkan bahwa
perusahaannya merencanakan pembangunan proyek wisata yang megah
di bekas waduk itu kelak. Di tempat itu, sekitar 50 km dari
Medan, katanya, akan dibangun kolam renang, kolam sepeda air,
dan 40 rumah penginapan, lengkap dengan landasan helikopter.
"Tempat itu akan diberi nama Taman Mini Selayang Indah," ujar
Rusmin.
Tapi siapa yang menjual tanah itu kepada mereka? Kepala Desa
Selayang, Abdur Rahman Rawi, membantah telah menjual waduk itu,
seperti yang dituduhkan banyak orang. Tapi diakuinya bahwa ia
bersama Camat Matsyah, menyerahkan waduh itu kepada Amiruddin.
"Sejak dibangun sampai l966, waduk tidak berfungsi karena sawah
penduduk tadah hujan," kata Rawi.
Pada 1972, menurut Rawi, waduk itu diserahkan kepala desa
sebelumnya, Sanusi Sitorus, kepada 19 orang petani untuk
digarap. Praktis, katanya, waduk itu juga tidak berfungsi bagi
sawah petani yang lain. Tiga tahun lalu muncul Amiruddin
menawarkan gagasan yang memikat. Rawi lalu menyerahkan waduk
itu. "Selain akan menjadikan Selayang sebagai obyek wisata, ia
juga akan membuat pipa air dari Sungai Wampu ke lokasi waduk,
sepanjang 1,8 km," ujar Rawi.
Gagasan Amiruddin, menurut Rawi, juga disepakati Camat Matsyah.
Sebanyak 19 orang petani yang sudah telanjur menggarap sawah itu
dibereskan dengan sejumlah ganti rugi. "Toh tanah itu mereka
pinjam," ujar Rawi lagi. Masing-masing petani penggarap itu
mendapat ganti rugi Rp 15 ribu sampai Rp 30 ribu. Setelah itu,
ke-19 petani itu membuat surat pernyataan kepada camat yang
isinya, antara lain, meminta camat menyerahkan tanah itu kepada
Amiruddin. Surat yang dibuat Desember 1980 itu kemudian disusul
dengan surat penyerahan waduk dari camat kepada Amiruddin, pada
7 maret 1981. Rapi.
Ternyata proses itu membuat petani lain yang ada di desa itu
bingung. "Apa hak mereka -- baik ke-19 petani itu atau camat
menyerahkan waduk itu pada orang lain?" tanya Yunus, yang merasa
waduk itu milik bersama warga desa.
Tapi salah seorang dari petani yang mendapat ganti rugi
membantah surat pernyataan itu. "Kami cuma meneken tanda terima
ganti rugi," ujar petani yang tak bersedia disebut namanya. Ia
malah yakin bahwa surat pernyataan itu palsu. Kasus pemalsuan
itulah yang kini diadukan para petani ke Pangkopkamtibda
Sumatera Utara.
Laksus/Kopkamtibda pun turun tangan. "Sudah banyak orang laksus
yang turun ke mari," kata Yunus gembira. Selain itu ada surat
perintah kepada Kodim Langkat untuk segera menanggulangi kasus
pemalsuan tanda tangan itu.
Namun dari "kepalsuan" yang dituduhkan itu, Amiruddin
mendapatkan sertifikat hak milik. Kepala Agraria Kabupaten
Langkat, Tungku Abdullah, yang baru empat bulan bertugas di
Langkat, membenarkan bahwa sertifikat yang diberikan kepada
Amiruddin oleh pejabat lama, Harun Rasyid, sesuai dengan
prosedur. "Tapi kami tidak tahu kaliu tanah yang disertifikatkan
itu waduk. Surat kepala desa dan camat hanya menyebut tanah itu
bukan tanah sengketa dan akan digunakan Amiruddin untuk
pertanian," ujar Tungku Abdullah. Bawahan Abdullah, Kepala
Subdit Landreform, M. Pasaribu, menambahkan kebingungannya:
"Dalam permohonan disebutkan tanah itu untuk bertani, kok untuk
lokasi wisata?"
Kekesalan penduduk memuncak, ketika apa yang disebut pembangunan
proyek wisata ternyata juga baru angan-angan -- terbukti telah 2«
tahun Amiruddin menelantarkan waduk itu. "Dia cuma bisa membuka
pintu air, sehingga waduk kering," ujar Ngadi, 55 tahun,
pensiunan sersan. Setengahnya ia menuduh Amiruddin sebagai
pengusaha yang tidak bonafide.
"Saya juga curiga," kata Badrun, wakil camat. Hal itu, katanya,
juga terlihat dari caranya membayar ganti rugi 19 petani.
Pembayaran yang cuma antara Rp 15 ribu sampai Rp 30 ribu kepada
setiap petani itu, menurut Badrun, dilakukan Amiruddin sampai
empat tahap. "Mungkin aku lebih kaya dari dia," ujar Badrun
sambil terbahak-bahak.
Tersendatnya rencana Amiruddin, menurut kuasa usahanya di
Selayang, Rusmin, bukan apa-apa: "Hanya karena Amiruddin harus
operasi mata di Jepang selama 6 bulan, sehingga banyak menelan
biaya." Tapi menurut Nyonya Amiruddin, soalnya bukan itu. Bisnis
pelayaran Samudra Jaya Line, katanya, lagi surut. "Ada beberapa
kapal kami yang dicarter orang luar negeri," katanya, "hingga
perkiraan dana meleset."
Amiruddin tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan masalah itu
kepada TEMPO. "Saya sibuk," ujar Amiruddin sambil memacu mobil
Land Rover dari kantornya di Medan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini