Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sebelum mandat dicabut

Percobaan penculikan terhadap umardani dan santosa pengacara yang membela petani dalam kasus sengketa tanah bekas perkebunan belanda di lumajang & blitar. minta perlindungan ke markas besar polri. (krim)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH 10 hari mondar-mandir di Jakarta. Pengacara Umardani Kumboyono dan Santoso belum berani pulang ke rumahnya di Blitar, Jawa Timur. Ia merasa jiwanya terancam, setelah Juli lalu ia hampir diculik kawanan orang bersenjata api yang tak jelas identitasnya. "Dari pada mati konyol, untuk sementara saya mengamankan diri dulu," katanya kepada TEMPO pekan lalu. Ia menduga, percobaan penculikan itu ada hubungannya dengan kasus tanah bekas perkebunan Belanda di wilayah Lumajan dan Blitar, Jawa Timur yang ditanganinya. Sejah beberapa tahun lalu, ia memang gigih membela petani penggarap yang menuntut hak diberi sebidang tanah. Dan terakhir, Juni lalu ada pencurian kopi oleh ratusan penduduk di wilayah Karanganyar dalam kebur yang dikelola koperasi. Umardani, 50 tahun, sempat dimintai keterangan oleh polisi, karena diduga menghasut rakyat untuk mencuri kopi tersebut. Tapi rakyat yang mencuri, umumnya mengaku tak ada yang menyuruh. "Orang lain mencuri tidak diapa-apakan, terpaksa saya ikut mencuri," kata penduduk yang sempat diperiksa polisi. Ceritanya, begitu menurut Umardani dan Santoso, dari Biro Konsultasi Hukum Genteng, bulan puasa lalu sekitar 200 orang penduduk dukuh di luar Karanganyar memetiki buah kopi yang sudah matang. Petugas keamanan, yang segera datang, anehnya tak melakukan penangkapan. Mereka, menurut Umardani, hanya melihat-lihat saja. Akibatnya, penduduk di seputar kebun kopi tersebut, malam harinya ramai-ramai ikut mencuri. Dan paginya mereka ditangkapi. Sedang Umardani kontan dituduh menghasut oleh Kodim setempat. Tuduhan tak terbukti. Dan 20 Juli, tuturnya, ia diundang Kepala Polisi Blitar, Letnan Kolonel Polisi Eddy Sucipto, untuk bersilaturahmi. Maklum, masih suasana Lebaran. Tapi malam harinya ada dua orang tamu berbadan kekar yang berlagak hendak minta bantuan soal sengketa tanah. Tamu yang seorang pergi lagi untuk, katanya, mengambil berkas. Namun rupanya ia memanggil kawanannya. Sebab tak lama kemudian di depan rumah Umardani berhenti sebuah mobil berpenumpang enam orang. Tetangga Umardani yang coba mendekati mobil tersebut diusir oleh para penumpang yang umumnya membawa pistol. Tapi, menurut Umardani, seorang tetangganya sempat melihat bahwa dalam mobil tersebut ada sebuah cangkul. "Jadi," kata Umardani, "rupanya saya mau di. . . " Mendapat firasat buruk itu, Umardani berlagak mau ganti pakaian, sesudah menyatakan kesediaannya diajak naik mobil. Namun begitu masuk dapur, ia membuka pintu belakang dan melompat masuk ke sungai, kemudian lari menyelamatkan diri. Dengan berjalan kaki, tiga hari kemudian ia tiba di Malang, dan menemui kenalannya di sana. Beberapa hari sebelumnya, Santoso juga kedatangan tamu, yang memberi tahu bahwa ia dipanggil camat. Meski curiga, karena pangggilan itu datangnya tengah malam, ia berangkat juga menuju kecamatan. Dan, ternyata, camat tak ada di sana. Naik sepeda motor, ia segera ngebut -- bukan pulang ke rumah, melainkan menemui familinya di kota lain. "Rupanya saya mau dihabisi seperti Dahayu dulu," komentarnya. Dahayu, rekan mereka yang pada 1981 turut ke DPR dan Opstibpus mengadukan soal sengketa tanah, September lalu hilang. Mula-mula, seperti halnya Umardani dan Santoso, ia diberitahu seolah-olah ada yang memanggilnya untuk menghadap. Tapi, setelah ia diketahui berangkat bersama tamunya, sampai kini tak pernah kembali. Ada bekas bromocorah yang mengaku telah membunuh Dahayu, atas suruhan seseorang, dan menguburkan mayatnya di suatu tempat. Di tempat yang ditunjukkan, kabarnya, memang dijumpai ada kerangka. Namun kasus tersebut sampai kini masih gelap. Akan halnya Umardani dan Santoso, yang kemudian bertemu di Malang, lalu berangkat ke Jakarta. Sepuluh orang petani ikut serta. Mereka mendatangi DPR dan LBH, minta bantuan. Tak lupa kedua pengacara itu minta perlindungan ke Markas Besar Polri. Deputi Kapolri, Mayjen Pol Pamoedji, segera memerintahkan Kodak X agar mengusut kasus yang dihadapi kedua pengacara tadi. Bekas perkebunan Belanda seluas 800 hektar lebih yang masuk wilayah Lumajang, Blitar, Kediri, dan Banyuwangi itu, yang sekitar 400 hektar sejak meletusnya G30S/ PKI, memang jadi rebutan. Selain petani penggarap yang berjumlah ratusan, banyak pihak merasa berhak mendapat bagian. Yang seluas 110 hektar, misalnya, berdasarkan daftar yang dibuat Kepala Staf Korem 081 1974, dikuasai perwira di situ beserta keluarganya yang berjumlah sekitar 100 orang. Oknum-oknum kantor bupati pun banyak yang mendapat jatah. Lainnya dikelola PT Harta Mulya, dan koperasi. Sebanyak 250 petani merasa bersyukur, karena bisa mendapat bagian masing-masing sekitar 4.000 meter, berkat perjuangan Umardani. Dan kini Umardani masih memperjuangkan hak sekitar 150 petani lainnya, sekaligus mengusahakan agar 200 buruh yang bekerja di PT Harta Mulya diberi saham, sesuai dengan peraturan. Namun, perjuangan itu tampaknya cukup berat. Meski begitu, baik Umardani maupun Santoso, menyatakan tak akan menyerah. Selain yang meminta tolong belum mencabut mandatnya, kata Umardani, kesulitan yang dialami sekarang itu, "sudah menjadi risiko pengacara."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus