SUDAH 10 hari mondar-mandir di Jakarta. Pengacara Umardani
Kumboyono dan Santoso belum berani pulang ke rumahnya di Blitar,
Jawa Timur. Ia merasa jiwanya terancam, setelah Juli lalu ia
hampir diculik kawanan orang bersenjata api yang tak jelas
identitasnya. "Dari pada mati konyol, untuk sementara saya
mengamankan diri dulu," katanya kepada TEMPO pekan lalu.
Ia menduga, percobaan penculikan itu ada hubungannya dengan
kasus tanah bekas perkebunan Belanda di wilayah Lumajan dan
Blitar, Jawa Timur yang ditanganinya. Sejah beberapa tahun lalu,
ia memang gigih membela petani penggarap yang menuntut hak
diberi sebidang tanah.
Dan terakhir, Juni lalu ada pencurian kopi oleh ratusan penduduk
di wilayah Karanganyar dalam kebur yang dikelola koperasi.
Umardani, 50 tahun, sempat dimintai keterangan oleh polisi,
karena diduga menghasut rakyat untuk mencuri kopi tersebut. Tapi
rakyat yang mencuri, umumnya mengaku tak ada yang menyuruh.
"Orang lain mencuri tidak diapa-apakan, terpaksa saya ikut
mencuri," kata penduduk yang sempat diperiksa polisi.
Ceritanya, begitu menurut Umardani dan Santoso, dari Biro
Konsultasi Hukum Genteng, bulan puasa lalu sekitar 200 orang
penduduk dukuh di luar Karanganyar memetiki buah kopi yang sudah
matang. Petugas keamanan, yang segera datang, anehnya tak
melakukan penangkapan. Mereka, menurut Umardani, hanya
melihat-lihat saja. Akibatnya, penduduk di seputar kebun kopi
tersebut, malam harinya ramai-ramai ikut mencuri. Dan paginya
mereka ditangkapi. Sedang Umardani kontan dituduh menghasut oleh
Kodim setempat.
Tuduhan tak terbukti. Dan 20 Juli, tuturnya, ia diundang Kepala
Polisi Blitar, Letnan Kolonel Polisi Eddy Sucipto, untuk
bersilaturahmi. Maklum, masih suasana Lebaran. Tapi malam
harinya ada dua orang tamu berbadan kekar yang berlagak hendak
minta bantuan soal sengketa tanah. Tamu yang seorang pergi lagi
untuk, katanya, mengambil berkas. Namun rupanya ia memanggil
kawanannya. Sebab tak lama kemudian di depan rumah Umardani
berhenti sebuah mobil berpenumpang enam orang.
Tetangga Umardani yang coba mendekati mobil tersebut diusir oleh
para penumpang yang umumnya membawa pistol. Tapi, menurut
Umardani, seorang tetangganya sempat melihat bahwa dalam mobil
tersebut ada sebuah cangkul. "Jadi," kata Umardani, "rupanya
saya mau di. . . "
Mendapat firasat buruk itu, Umardani berlagak mau ganti pakaian,
sesudah menyatakan kesediaannya diajak naik mobil. Namun begitu
masuk dapur, ia membuka pintu belakang dan melompat masuk ke
sungai, kemudian lari menyelamatkan diri. Dengan berjalan kaki,
tiga hari kemudian ia tiba di Malang, dan menemui kenalannya
di sana.
Beberapa hari sebelumnya, Santoso juga kedatangan tamu, yang
memberi tahu bahwa ia dipanggil camat. Meski curiga, karena
pangggilan itu datangnya tengah malam, ia berangkat juga menuju
kecamatan. Dan, ternyata, camat tak ada di sana. Naik sepeda
motor, ia segera ngebut -- bukan pulang ke rumah, melainkan
menemui familinya di kota lain. "Rupanya saya mau dihabisi
seperti Dahayu dulu," komentarnya.
Dahayu, rekan mereka yang pada 1981 turut ke DPR dan Opstibpus
mengadukan soal sengketa tanah, September lalu hilang.
Mula-mula, seperti halnya Umardani dan Santoso, ia diberitahu
seolah-olah ada yang memanggilnya untuk menghadap. Tapi, setelah
ia diketahui berangkat bersama tamunya, sampai kini tak pernah
kembali.
Ada bekas bromocorah yang mengaku telah membunuh Dahayu, atas
suruhan seseorang, dan menguburkan mayatnya di suatu tempat. Di
tempat yang ditunjukkan, kabarnya, memang dijumpai ada kerangka.
Namun kasus tersebut sampai kini masih gelap.
Akan halnya Umardani dan Santoso, yang kemudian bertemu di
Malang, lalu berangkat ke Jakarta. Sepuluh orang petani ikut
serta. Mereka mendatangi DPR dan LBH, minta bantuan. Tak lupa
kedua pengacara itu minta perlindungan ke Markas Besar Polri.
Deputi Kapolri, Mayjen Pol Pamoedji, segera memerintahkan Kodak
X agar mengusut kasus yang dihadapi kedua pengacara tadi.
Bekas perkebunan Belanda seluas 800 hektar lebih yang masuk
wilayah Lumajang, Blitar, Kediri, dan Banyuwangi itu, yang
sekitar 400 hektar sejak meletusnya G30S/ PKI, memang jadi
rebutan. Selain petani penggarap yang berjumlah ratusan, banyak
pihak merasa berhak mendapat bagian. Yang seluas 110 hektar,
misalnya, berdasarkan daftar yang dibuat Kepala Staf Korem 081
1974, dikuasai perwira di situ beserta keluarganya yang
berjumlah sekitar 100 orang.
Oknum-oknum kantor bupati pun banyak yang mendapat jatah.
Lainnya dikelola PT Harta Mulya, dan koperasi. Sebanyak 250
petani merasa bersyukur, karena bisa mendapat bagian
masing-masing sekitar 4.000 meter, berkat perjuangan Umardani.
Dan kini Umardani masih memperjuangkan hak sekitar 150 petani
lainnya, sekaligus mengusahakan agar 200 buruh yang bekerja di
PT Harta Mulya diberi saham, sesuai dengan peraturan.
Namun, perjuangan itu tampaknya cukup berat. Meski begitu, baik
Umardani maupun Santoso, menyatakan tak akan menyerah. Selain
yang meminta tolong belum mencabut mandatnya, kata Umardani,
kesulitan yang dialami sekarang itu, "sudah menjadi risiko
pengacara."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini