Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Ke rumah anda ia menuju

Beberapa tukang pos memberikan pengalamannya selama bertugas. ada yang mengatakan karyawan pos dan giro sulit naik golongan lebih baik kenaikan gaji daripada piagam penghargaan. (sd)

22 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM usia 51 tahun Mamat berkata dengan gagah: "Aku ingin tetap bekerja sebagai tukang pos. Aku tidak ingin pindah ke pekerjaan lain. Kenapa? Ya karena aku sudah kagok!" Mamat berdinas sejak 1953. Ia menjalankan tugasnya hanya pakai sepeda. Baru setahun ini kendaraannya ditingkatkan jadi sepeda motor. Itu berarti ia bisa berangkat ke kantor satu atau setengah jam lebih kasep dari dulu-dulu. Biasanya pukul 6 pagi ia sudah harus mcninggalkan rumahnya di Pondok Cina (Depok) menuju Kantor Pos Besar I Kebayoran, Mampang Prapatan, Jakarta. Gaji orang tua ini sekarang Rp. 60 ribu dengan tanggungan 6 orang anak. Ia bertugas mengelilingi Kelurahan Rajawali dan Kalibata. Pengalamannya sudah menumpuk. Terutama sekali pusing kepala karena sulit menemukan alamat yang tertera di sampul surat. Nama gang dan jalan-jalan di Jakarta kadangkala sampai kembar 4 atau 5. Gang A atau Jalan Asem misalnya banyak sekali di Jakarta Selatan. Belum lagi kalau alamat kurang lengkap. Diplototin Pada hari-hari biasa, Mamat menghadapi 200 surat setiap hari. Begitu sampai di kantor ia mulai menyaring surat disesuaikan dengan rute yang dilaluinya. Tiga jam lamanya. Baru pukul 11.00 kemudian ia mulai keliling. Kerjaan itu tidak pernah rampung sebelum pukul 16.00 bahkan sering sampai pukul 17.00. Harus dihabiskan, daripada kembali ke kantor, karena ada larangan membawa surat ke rumah. Di sekitar Hari Raya Idhul Fitri atau Tahun Baru surat meningkat 5 kali lipat ke alamat-alamat yang sama. Masyarakat sering mengeluh, bahwa antaran surat terlambat. Mamat mencoba memberi 'penjelasan', mungkin sekali karena surat itu dioper dari satu rute ke rute yang lain. Banyak surat yang tidak lengkap alamatnya sehingga tukang pos hanya meraba-raba. Sebuah alamat di Jalan Anggrek misalnya? kadangkala harus dioper-oper ke setiap rute yang memiliki jalan anggrek, sebelum ketemu Jalan Anggrek yang dimaksudkan. Mamat sudah 5 kali digigit anjing selama bertugas. Semuanya terjadi karena ia merasa harus menyampaikan surat langsung kepada orang di rumah itu. Seringkali ada rumah yang tidak pasang peringatan "Awas Anjing" padahal punya "simpanan". Tahu-tahu saja ada herder langsung naik ke punggung, ada yang menggigit sepatu. Mamat pernah luka, pemilik anjing ada yang suka menolong, mengeluarkan uang ganti rugi. "Tempo-tempo saya dipelototin. Adakalanya hanya diketawain", kata Mamat. Namun sejauh ini ia tidak pernah mengadukan pemilik anjing itu kepada yang berwajib. Takut kehilangan waktu kalau nanti dijadikan saksi. Genap 20 tahun mengabdi, pada tahun 1973 Mamat mendapat piagam penghargaan dengan pinggir perak serta uang tunai Rp. 7.500. Lima tahun kemudian ia kembali mendapat penhargaan yang sama plus uang tunai Rp. 25 ribu. Mamat terkejut juga ketika diberitahu pertama kalinya. Akan tetapi kemudian ia merasa hal tersebut cukup wajar. mengingat pengabdiannya. Rasyid kawan Mamat adalah petugas Pos Desa Keliling di Jakarta. Ia tidak sesibuk Mamat, namun macam kerjaannya lebih banyak. Karena ia melayani masyarakat pinggiran kota untuk segala urusan yang berhubungan dengan Kantor Pos. Kecuali Tabanas, Rasyid yang beroperasi untuk kawasan Pondok Labu, Bintaro, Petukangan, Pesanggrahan melayani pembelian benda benda pos dan penitipan surat--termasuk kilat khusus. Pada hari-hari kedatangan Rasyid, di warung-warung yang sudah ditetapkan sudah menunggu surat-surat yang harus diposkan di Jakarta. Masa kerja Rasyid baru 2 tahun. Jadi pengalamannya masih miskin. amun sudah sempat menerima sanjungan karena menyampaikan surat dengan cepat. Tapi keluhan lebih banyak lagi. Terutama di daerah Pesanggrahan. Di situ bermukim banyak keluarga yang ditinggalkan suaminya bertugas di Timor Timur. Masyarakat di sana banyak bertanya kenapa surat mereka belum terbalas, padahal surat dari Jakarta hanya memerlukan 2 hari mencapai tujuannya. Kaiau sudah begitu Rasyid terpaksa mengulang-ulang menjelaskan bahwa mungkin sekali penerima surat sedang bertugas di dalam hutan. Sedangkan surat harus melalui kesatuannya dulu sebelum sampai ke tangan yang bersangkutan. Pos Desa Keliling adalah eselon terbawah dari Kantor Pos. Setiap hari Rasyid rata-rata menempuh jarak 100 Km dengan sepeda motor. Ia bebas dari kewajiban melembur. Tapi setiap kali harus kembali ke kantor untuk mempertanggungjawabkan kerjaannya. Untuk semua itu ia menerima gaji Rp 43 ribu. Jumlah itu untuk menanggung 4 anak dirasanya cukup. Maklum sudah punya rumah sendiri. Hampir dikeroyok Sarmin Pranoto (38 tahun) tukang pos di Kantor Pos Besar I Pasar Baru Jakarta mengatakan hidup tukang pos memang tidak hanya duka. Gajinya Rp. 37 ribu (dinas sejak tahun 1961). Sejak tahun 1970 ia menukar sepeda dengan motor untuk memasuki tugas baru mengantarkan Pos Kilat Khusus. Gajinya juga sudah tambah Rp. 14.000. Belum lagi honor Rp. 8.000 setiap bulan sesuai dengan jumlah surat yang diantarkan. Bahkan dalam operasinya di daerah Kebayoran ia masih dapat sangu Rp. 5000 dari seorang langganan --meskipun hanya setahun sekali. Juga ada yang suka memberi bahan celana, baju, plus ongkos menjahit. "Tapi sebaliknya ada suratnya yang nggak berhenti-henti, tapi tidak beri apa-apa", kata Sarmin. Bicara tentang langganan yang pelit, Sarmin mengungkapkan jenis orang itu tidak hanya segan memberi, tapi juga keki kalau ada langganan lain yang memberikan sekedar pembeli es. Sekali waktu, tatkala seorang langganan mengulurkan persen untuk beli es, tetangganya langsung ikut nimbrung. "Lho kan dia sudah dapat gaji". Sarmin hanya bisa tersipu waktu itu. Ia yang hanya dapat uang makan Rp. 250 dan menjadi langganan "Warung Tegal " memang bisa memanfaatkan benar tip-tip kecil, paling tidak untuk bisa ngebul-ngebulkan asap rokok selama bertugas. Sering juga ada tawaran minum, tapi saya bilang terima kasih saja", kata Sarmin lebih lanjut. Padahal terus terang ia akui di dalam hati ada pertanyaan--daripada menawari makan minum seharga katakanlah Rp. 200, diberikan mentah Rp. 100 saja sudah menggembirakan. Di sebuah bank ia sudah demikian terbiasanya -- dianggap keluarga--sehingga begitu surat ke sana ia bisa langsung menubruk lemari es, untuk menawarkan haus. Sedang tak jauh dari bank itu ada rumah makan, juga langganan surat, sering menawarkan makan dan minum pada Sarmin. "Karena masih kenyang saya olak dengan halus, tapi dalam hati kembali berkata, kan lebih baik diberi Rp. 100, misalnya". Sarmin dapat jatah. stelan kerja 3 kali setahun dan jaket 2 tahun sekali. Setiap hari ia juga menempuh jarak sekitar 100 Km. Pukul 9 ia sudah tampak ke luar Kantor Pos untuk kembali lagi tengah hari. Sekitar pukul 13.30 ia sudah keluar lagi, dinas sampai senja. Untuk menyingkat jalan kadangkala ia melawan arus lalu lintas. Syukur sampai sekarang belum pernah tertangkap polisi. Pernah memang sekali ia hampir saja dikeroyok, di halaman Markas Besar Kepolisian. Waktu itu ia memang salah jalan, lalu tabrakan dengan sebuah mobil VW yang dikendarai oleh seorang Kapten Polisi yang juga salah jalan. "Anak buah Polisi itu sudah mau memukuli saya, tapi perwira itu terus melarang, sehingga saya selamat", kata Sarmln mengenangkan. Sarmin juga pernah diserempet anak-anak muda di Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran, sampai jatuh, lalu ditinggal kabur. Tapi sebaliknya ia juga mendapat perlakuan manis dari pengemudi yang memberinya jalan, tatkala lalu-lintas macet. Ini sangat membantu karena ia harus menyampaikan surat secepat mungkin. Kadangkala Sarmin tidak bisa percaya seratus prosen kepada alamat yang tertera di sampul surat. Misalnya tertulis "Siliwangi Raya 17", ia langsung tahu yang dituju sebenarnya nomor 7. Keahlian menebak ini tentu saja muncul dari pengalaman. Tapi memang tidak selamanya harus menebak. "Harus banyak tanya suaya tugas berjalan lancar", kata Sarmin. Apalagi di Kantor Pos Pasar Baru katanya terkumpul 60% dari seluruh kegiatan pos di Indonesia. Karena setiap hari makan angin, Sarmin selalu menaruh koran di dadanya, untuk rnenghindari paru-paru basah. Tidak dilepaskan meskipun masuk ruangan yang pakai ac. Kalau sudah mulai pusing-pusing ia langsung minta injeksi. Barangkali itu sebabnya selama bertugas ia belum pernah sakit serius. Bisa berantakan nanti, sebab uang ganti pemeriksaan dokter hanya Rp 500. Sedang hidupnya juga sudah banyak bergantung pada usaha isterinya yang punya konveksi pakaian anak-anak. "Saya hanya tamatan SD", kata Sarmin mengaku. Ia juga tak menyembunyikan bahwa ia jadi tukang pos pada awalnya karena terpaksa. Kelahiran Purbolinggo -- Jawa Tengah--ini mula-mula menumpang hidup pada keluarga di Rawamangun setelah ibunya jadi janda. Karena tak enak terus-rerusan menumpang, akhirnya ia memburu kerja. Dapatnya hanya tukang pos. Tapi setelah menjadi tukang pos, ia mengenal disiplin baru bahwa kadangkala uang seringkali bukan yang paling berharga. Misalnya seorang pegawai yang menggelapkan uang Rp. 100 ribu akan mendapat hukuman lebih ringan dari pada yang menyobek perangko yang ditempel di surat. Pimpinan Pos & Giro mengatakan bahwa korupsi Rp. 100 ribu hanya menyangkut intern dan bisa dikembalikan. Tapi menyobek perangko, sudah menyangkut masyarakat luas. Seorang karyawan pos di Bandung pernah mengadu pada pimpinan karena ia dipecat gara-gara menyobek prangko dari surat. Tapi ternyata kemudian pimpinan menyetujui pemecatan itu. Pesan Sarmin kepada para langganan adalah supaya agak bersabar. Banyak langganan yang mengeluh kenapa tukang pos yang biasa muncul pukul 10 kemudian mundur jadi pukul 11. Sarmin menyebut banyak alasan, antara lain lalu lintas macet, ban kempes atau mungkin sekali hujan. Alasan kuno memang, tapi seringkali tak bisa ditembus. Seorang penerima surat di Jakarta ditelepon pengirim surat di Medan bahwa surat sudah dikirim tanggal 10. Esoknya, penerima surat langsung melabrak kantor pos karena suratnya belum sampai (kilat khusus). Usut punya usut, ternyata surat baru dikirim tanggal 11. "Ini satu alasan lagi keterlambatan itu", kata Sarmin tenang. Ada orang bisik-bisik bahwa karyawan Pos dan Giro sulit mendapat kenaikan golongan dan pangkat. Sanusi (31 tahun) asal Ponorogo (Ja-Tim) tukang antar pos di Lampung bekerja sejak 1976, masih memakai sepeda sampai sekarang tetap saja golongan 1. Gajinya Rp. 22.500. Wakil Kepala Kantor Pos dan Giro Tanjungkarang, Imam Margani, membenarkan kenaikan golongan atau penyesuaian ijazah memang sulit, tapi kenaikan gaji berkala tidak. "Bagi saya gaji itu cukup untuk menghidupkan kami sekeluarga dengan satu anak", kata Sanusi. Ia juga mengatakan senang melakukan tugasnya, karena banyak mendapat teman dan saudara. Apalagi menjelang hari Raya ia selah mendapat bingkisan kue atau amplop. "Tapi hadiah itu bukan saya yang meminta", kata Sanusi cepat-cepat. Ia tidak pernah menyerah pada hujan atau panas. Tapi ia kewalahan kalau ketanggor rumah langganan sedang kosong. Yang ada hanya anjing galak yang tidak terikat. Ini mengesalkan. Untunglah setiap karyawan Perum Pos dan Giro yang telah diangkat, langsung diasuransikan dan dibayar oleh kantor. Jadi kalau ada apaapa sudah dijamin. Kalau ada keluarga dekat meninggal dari kantor dapat uang kematian Rp 100 ribu--hasil menabung Rp 50 setiap bulan, dengan cara dipotong gaji. Surat Buntu Suradi Purwoatmodjo (48 tahun) antara tahun 1955 sampai 1969 adalah tukang sortir di kantor pos Pasar Baru Jakarta. Pekerjaan itu membuat matanya mulai kurang baik, sementara tubuhnya masih sehat. Kemudian ia minta dinas luar untuk mencari pengalaman. Tatkala dibuka Pos Kilat Khusus di tahun 1970 yang mengantar surat pakai motor dan dapat honor tambahan sesuai dengan banyaknya antaran--Suradi ingin pindah lagi. Tapi rupanya ia tetap dibutuhkan sebagai pengantar surat biasa dengan sepeda. Namun belakangan ini ia beralih tugas juga ke bagian Surat Tercatat dengan kenaikan gaji sedikit. Suradi adalah salah satu contoh pengabdi pos yang baik. Setidak-tidaknya karena ia tidak pernah melawan arus lalu lintas. Tapi tahun 1955 -- 1970 ia memperoleh predikat "Pegawai Teladan", karena kejujurannya. Dalam periode 1970-1976 ia mendapat medali perak. Ia sendiri mengaku tidak punya prestasi yang menonjol, hanya bertahan pada tingkat menjalankan tugas dengan baik. Penghargaan piagam itu tentu saja ia terima dengan senang, tapi sebenarnya yang ia inginkan dari pimpinan Perum Pos dan Giro adalah usaha menaikkan gairah kerja karyawan, meningkatkan kerja. Singkatnya gaji naik. Suradi yang sudah tidak mondar-mandir lagi pakai sepeda ini juga berpesan kepada masyarakat agar menulis nama dan alamat pengirim dan tujuan surat dengan jelas. Sebab sampai sekarang kesalahan macam itu masih banyak sekali. Di Kantor Pos Pasar Baru Jakarta setjap hari terdapat sekitar 2500 "surat buntu" Ada surat yang berbunyi "Kepada Ayahanda tercinta". Titik. Tidak ada nama tidak ada alamat. Pengirimnya juga hanya menyebut nama, tiada alamat. "Bayangkan bagaimana mengantar surat seperti itu, walaupun perangkonya cukup. Akibatnya surat buntu itu hanya dikumpul di Kantor Pos Pusat di Bandung", kata Suradi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus