DALAM usia 51 tahun Mamat berkata dengan gagah: "Aku ingin tetap
bekerja sebagai tukang pos. Aku tidak ingin pindah ke pekerjaan
lain. Kenapa? Ya karena aku sudah kagok!"
Mamat berdinas sejak 1953. Ia menjalankan tugasnya hanya pakai
sepeda. Baru setahun ini kendaraannya ditingkatkan jadi sepeda
motor. Itu berarti ia bisa berangkat ke kantor satu atau
setengah jam lebih kasep dari dulu-dulu. Biasanya pukul 6 pagi
ia sudah harus mcninggalkan rumahnya di Pondok Cina (Depok)
menuju Kantor Pos Besar I Kebayoran, Mampang Prapatan, Jakarta.
Gaji orang tua ini sekarang Rp. 60 ribu dengan tanggungan 6
orang anak. Ia bertugas mengelilingi Kelurahan Rajawali dan
Kalibata. Pengalamannya sudah menumpuk. Terutama sekali pusing
kepala karena sulit menemukan alamat yang tertera di sampul
surat. Nama gang dan jalan-jalan di Jakarta kadangkala sampai
kembar 4 atau 5. Gang A atau Jalan Asem misalnya banyak sekali
di Jakarta Selatan. Belum lagi kalau alamat kurang lengkap.
Diplototin
Pada hari-hari biasa, Mamat menghadapi 200 surat setiap hari.
Begitu sampai di kantor ia mulai menyaring surat disesuaikan
dengan rute yang dilaluinya. Tiga jam lamanya. Baru pukul 11.00
kemudian ia mulai keliling. Kerjaan itu tidak pernah rampung
sebelum pukul 16.00 bahkan sering sampai pukul 17.00. Harus
dihabiskan, daripada kembali ke kantor, karena ada larangan
membawa surat ke rumah. Di sekitar Hari Raya Idhul Fitri atau
Tahun Baru surat meningkat 5 kali lipat ke alamat-alamat yang
sama.
Masyarakat sering mengeluh, bahwa antaran surat terlambat. Mamat
mencoba memberi 'penjelasan', mungkin sekali karena surat itu
dioper dari satu rute ke rute yang lain. Banyak surat yang tidak
lengkap alamatnya sehingga tukang pos hanya meraba-raba. Sebuah
alamat di Jalan Anggrek misalnya? kadangkala harus dioper-oper
ke setiap rute yang memiliki jalan anggrek, sebelum ketemu Jalan
Anggrek yang dimaksudkan.
Mamat sudah 5 kali digigit anjing selama bertugas. Semuanya
terjadi karena ia merasa harus menyampaikan surat langsung
kepada orang di rumah itu.
Seringkali ada rumah yang tidak pasang peringatan "Awas Anjing"
padahal punya "simpanan". Tahu-tahu saja ada herder langsung
naik ke punggung, ada yang menggigit sepatu. Mamat pernah luka,
pemilik anjing ada yang suka menolong, mengeluarkan uang ganti
rugi. "Tempo-tempo saya dipelototin. Adakalanya hanya
diketawain", kata Mamat. Namun sejauh ini ia tidak pernah
mengadukan pemilik anjing itu kepada yang berwajib. Takut
kehilangan waktu kalau nanti dijadikan saksi.
Genap 20 tahun mengabdi, pada tahun 1973 Mamat mendapat piagam
penghargaan dengan pinggir perak serta uang tunai Rp. 7.500.
Lima tahun kemudian ia kembali mendapat penhargaan yang sama
plus uang tunai Rp. 25 ribu. Mamat terkejut juga ketika
diberitahu pertama kalinya. Akan tetapi kemudian ia merasa hal
tersebut cukup wajar. mengingat pengabdiannya.
Rasyid kawan Mamat adalah petugas Pos Desa Keliling di Jakarta.
Ia tidak sesibuk Mamat, namun macam kerjaannya lebih banyak.
Karena ia melayani masyarakat pinggiran kota untuk segala urusan
yang berhubungan dengan Kantor Pos. Kecuali Tabanas, Rasyid yang
beroperasi untuk kawasan Pondok Labu, Bintaro, Petukangan,
Pesanggrahan melayani pembelian benda benda pos dan penitipan
surat--termasuk kilat khusus. Pada hari-hari kedatangan Rasyid,
di warung-warung yang sudah ditetapkan sudah menunggu
surat-surat yang harus diposkan di Jakarta.
Masa kerja Rasyid baru 2 tahun. Jadi pengalamannya masih miskin.
amun sudah sempat menerima sanjungan karena menyampaikan surat
dengan cepat. Tapi keluhan lebih banyak lagi. Terutama di daerah
Pesanggrahan. Di situ bermukim banyak keluarga yang ditinggalkan
suaminya bertugas di Timor Timur. Masyarakat di sana banyak
bertanya kenapa surat mereka belum terbalas, padahal surat dari
Jakarta hanya memerlukan 2 hari mencapai tujuannya. Kaiau sudah
begitu Rasyid terpaksa mengulang-ulang menjelaskan bahwa mungkin
sekali penerima surat sedang bertugas di dalam hutan. Sedangkan
surat harus melalui kesatuannya dulu sebelum sampai ke tangan
yang bersangkutan.
Pos Desa Keliling adalah eselon terbawah dari Kantor Pos. Setiap
hari Rasyid rata-rata menempuh jarak 100 Km dengan sepeda motor.
Ia bebas dari kewajiban melembur. Tapi setiap kali harus kembali
ke kantor untuk mempertanggungjawabkan kerjaannya. Untuk semua
itu ia menerima gaji Rp 43 ribu. Jumlah itu untuk menanggung 4
anak dirasanya cukup. Maklum sudah punya rumah sendiri.
Hampir dikeroyok
Sarmin Pranoto (38 tahun) tukang pos di Kantor Pos Besar I Pasar
Baru Jakarta mengatakan hidup tukang pos memang tidak hanya
duka. Gajinya Rp. 37 ribu (dinas sejak tahun 1961). Sejak tahun
1970 ia menukar sepeda dengan motor untuk memasuki tugas baru
mengantarkan Pos Kilat Khusus. Gajinya juga sudah tambah Rp.
14.000. Belum lagi honor Rp. 8.000 setiap bulan sesuai dengan
jumlah surat yang diantarkan. Bahkan dalam operasinya di daerah
Kebayoran ia masih dapat sangu Rp. 5000 dari seorang langganan
--meskipun hanya setahun sekali. Juga ada yang suka memberi
bahan celana, baju, plus ongkos menjahit. "Tapi sebaliknya ada
suratnya yang nggak berhenti-henti, tapi tidak beri apa-apa",
kata Sarmin.
Bicara tentang langganan yang pelit, Sarmin mengungkapkan jenis
orang itu tidak hanya segan memberi, tapi juga keki kalau ada
langganan lain yang memberikan sekedar pembeli es. Sekali waktu,
tatkala seorang langganan mengulurkan persen untuk beli es,
tetangganya langsung ikut nimbrung. "Lho kan dia sudah dapat
gaji". Sarmin hanya bisa tersipu waktu itu. Ia yang hanya dapat
uang makan Rp. 250 dan menjadi langganan "Warung Tegal " memang
bisa memanfaatkan benar tip-tip kecil, paling tidak untuk bisa
ngebul-ngebulkan asap rokok selama bertugas.
Sering juga ada tawaran minum, tapi saya bilang terima kasih
saja", kata Sarmin lebih lanjut. Padahal terus terang ia akui di
dalam hati ada pertanyaan--daripada menawari makan minum
seharga katakanlah Rp. 200, diberikan mentah Rp. 100 saja sudah
menggembirakan. Di sebuah bank ia sudah demikian terbiasanya --
dianggap keluarga--sehingga begitu surat ke sana ia bisa
langsung menubruk lemari es, untuk menawarkan haus. Sedang tak
jauh dari bank itu ada rumah makan, juga langganan surat, sering
menawarkan makan dan minum pada Sarmin. "Karena masih kenyang
saya olak dengan halus, tapi dalam hati kembali berkata, kan
lebih baik diberi Rp. 100, misalnya".
Sarmin dapat jatah. stelan kerja 3 kali setahun dan jaket 2
tahun sekali. Setiap hari ia juga menempuh jarak sekitar 100 Km.
Pukul 9 ia sudah tampak ke luar Kantor Pos untuk kembali lagi
tengah hari. Sekitar pukul 13.30 ia sudah keluar lagi, dinas
sampai senja. Untuk menyingkat jalan kadangkala ia melawan arus
lalu lintas. Syukur sampai sekarang belum pernah tertangkap
polisi.
Pernah memang sekali ia hampir saja dikeroyok, di halaman Markas
Besar Kepolisian. Waktu itu ia memang salah jalan, lalu tabrakan
dengan sebuah mobil VW yang dikendarai oleh seorang Kapten
Polisi yang juga salah jalan. "Anak buah Polisi itu sudah mau
memukuli saya, tapi perwira itu terus melarang, sehingga saya
selamat", kata Sarmln mengenangkan.
Sarmin juga pernah diserempet anak-anak muda di Jalan
Sisingamangaraja, Kebayoran, sampai jatuh, lalu ditinggal kabur.
Tapi sebaliknya ia juga mendapat perlakuan manis dari pengemudi
yang memberinya jalan, tatkala lalu-lintas macet. Ini sangat
membantu karena ia harus menyampaikan surat secepat mungkin.
Kadangkala Sarmin tidak bisa percaya seratus prosen kepada
alamat yang tertera di sampul surat. Misalnya tertulis
"Siliwangi Raya 17", ia langsung tahu yang dituju sebenarnya
nomor 7. Keahlian menebak ini tentu saja muncul dari pengalaman.
Tapi memang tidak selamanya harus menebak. "Harus banyak tanya
suaya tugas berjalan lancar", kata Sarmin. Apalagi di Kantor
Pos Pasar Baru katanya terkumpul 60% dari seluruh kegiatan pos
di Indonesia.
Karena setiap hari makan angin, Sarmin selalu menaruh koran di
dadanya, untuk rnenghindari paru-paru basah. Tidak dilepaskan
meskipun masuk ruangan yang pakai ac. Kalau sudah mulai
pusing-pusing ia langsung minta injeksi. Barangkali itu sebabnya
selama bertugas ia belum pernah sakit serius. Bisa berantakan
nanti, sebab uang ganti pemeriksaan dokter hanya Rp 500. Sedang
hidupnya juga sudah banyak bergantung pada usaha isterinya yang
punya konveksi pakaian anak-anak.
"Saya hanya tamatan SD", kata Sarmin mengaku. Ia juga tak
menyembunyikan bahwa ia jadi tukang pos pada awalnya karena
terpaksa. Kelahiran Purbolinggo -- Jawa Tengah--ini mula-mula
menumpang hidup pada keluarga di Rawamangun setelah ibunya jadi
janda. Karena tak enak terus-rerusan menumpang, akhirnya ia
memburu kerja. Dapatnya hanya tukang pos. Tapi setelah menjadi
tukang pos, ia mengenal disiplin baru bahwa kadangkala uang
seringkali bukan yang paling berharga. Misalnya seorang pegawai
yang menggelapkan uang Rp. 100 ribu akan mendapat hukuman lebih
ringan dari pada yang menyobek perangko yang ditempel di surat.
Pimpinan Pos & Giro mengatakan bahwa korupsi Rp. 100 ribu hanya
menyangkut intern dan bisa dikembalikan. Tapi menyobek perangko,
sudah menyangkut masyarakat luas. Seorang karyawan pos di
Bandung pernah mengadu pada pimpinan karena ia dipecat gara-gara
menyobek prangko dari surat. Tapi ternyata kemudian pimpinan
menyetujui pemecatan itu.
Pesan Sarmin kepada para langganan adalah supaya agak bersabar.
Banyak langganan yang mengeluh kenapa tukang pos yang biasa
muncul pukul 10 kemudian mundur jadi pukul 11. Sarmin menyebut
banyak alasan, antara lain lalu lintas macet, ban kempes atau
mungkin sekali hujan. Alasan kuno memang, tapi seringkali tak
bisa ditembus. Seorang penerima surat di Jakarta ditelepon
pengirim surat di Medan bahwa surat sudah dikirim tanggal 10.
Esoknya, penerima surat langsung melabrak kantor pos karena
suratnya belum sampai (kilat khusus). Usut punya usut, ternyata
surat baru dikirim tanggal 11. "Ini satu alasan lagi
keterlambatan itu", kata Sarmin tenang.
Ada orang bisik-bisik bahwa karyawan Pos dan Giro sulit mendapat
kenaikan golongan dan pangkat. Sanusi (31 tahun) asal Ponorogo
(Ja-Tim) tukang antar pos di Lampung bekerja sejak 1976, masih
memakai sepeda sampai sekarang tetap saja golongan 1. Gajinya
Rp. 22.500. Wakil Kepala Kantor Pos dan Giro Tanjungkarang, Imam
Margani, membenarkan kenaikan golongan atau penyesuaian ijazah
memang sulit, tapi kenaikan gaji berkala tidak.
"Bagi saya gaji itu cukup untuk menghidupkan kami sekeluarga
dengan satu anak", kata Sanusi. Ia juga mengatakan senang
melakukan tugasnya, karena banyak mendapat teman dan saudara.
Apalagi menjelang hari Raya ia selah mendapat bingkisan kue atau
amplop. "Tapi hadiah itu bukan saya yang meminta", kata Sanusi
cepat-cepat. Ia tidak pernah menyerah pada hujan atau panas.
Tapi ia kewalahan kalau ketanggor rumah langganan sedang kosong.
Yang ada hanya anjing galak yang tidak terikat. Ini mengesalkan.
Untunglah setiap karyawan Perum Pos dan Giro yang telah
diangkat, langsung diasuransikan dan dibayar oleh kantor. Jadi
kalau ada apaapa sudah dijamin. Kalau ada keluarga dekat
meninggal dari kantor dapat uang kematian Rp 100 ribu--hasil
menabung Rp 50 setiap bulan, dengan cara dipotong gaji.
Surat Buntu
Suradi Purwoatmodjo (48 tahun) antara tahun 1955 sampai 1969
adalah tukang sortir di kantor pos Pasar Baru Jakarta. Pekerjaan
itu membuat matanya mulai kurang baik, sementara tubuhnya masih
sehat. Kemudian ia minta dinas luar untuk mencari pengalaman.
Tatkala dibuka Pos Kilat Khusus di tahun 1970 yang mengantar
surat pakai motor dan dapat honor tambahan sesuai dengan
banyaknya antaran--Suradi ingin pindah lagi. Tapi rupanya ia
tetap dibutuhkan sebagai pengantar surat biasa dengan sepeda.
Namun belakangan ini ia beralih tugas juga ke bagian Surat
Tercatat dengan kenaikan gaji sedikit.
Suradi adalah salah satu contoh pengabdi pos yang baik.
Setidak-tidaknya karena ia tidak pernah melawan arus lalu
lintas. Tapi tahun 1955 -- 1970 ia memperoleh predikat "Pegawai
Teladan", karena kejujurannya. Dalam periode 1970-1976 ia
mendapat medali perak. Ia sendiri mengaku tidak punya prestasi
yang menonjol, hanya bertahan pada tingkat menjalankan tugas
dengan baik. Penghargaan piagam itu tentu saja ia terima dengan
senang, tapi sebenarnya yang ia inginkan dari pimpinan Perum Pos
dan Giro adalah usaha menaikkan gairah kerja karyawan,
meningkatkan kerja. Singkatnya gaji naik.
Suradi yang sudah tidak mondar-mandir lagi pakai sepeda ini juga
berpesan kepada masyarakat agar menulis nama dan alamat pengirim
dan tujuan surat dengan jelas. Sebab sampai sekarang kesalahan
macam itu masih banyak sekali. Di Kantor Pos Pasar Baru Jakarta
setjap hari terdapat sekitar 2500 "surat buntu" Ada surat yang
berbunyi "Kepada Ayahanda tercinta". Titik. Tidak ada nama tidak
ada alamat. Pengirimnya juga hanya menyebut nama, tiada alamat.
"Bayangkan bagaimana mengantar surat seperti itu, walaupun
perangkonya cukup. Akibatnya surat buntu itu hanya dikumpul di
Kantor Pos Pusat di Bandung", kata Suradi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini