TAK kelihatan suasana yang luar biasa di Pintu Kecil, Pasar Pagi
dan Gang Burung di Kota. Pusat perdagangan tekstil di bilangan
Jakarta Barat itu tampaknya tak terpengaruh oleh yang disebut
dalam keterangan pemerintah sendiri sebagai "inflasi yang cukup
memprihatinkan." Malah kata Toni Lie, 30 tahun, dari toko Pulau
Seribu di Gang Burung "Pasaran kini kembali normal. Tidak
seperti menjelang Lebaran sebulan yang lalu."
Toni, pedagang grosir tekstil lokal, tak habis mengerti mengapa
dalam keadaan inflasi malah uang kontan susah dicari. Untuk bisa
mengatasi keadaan begini, diapun lebih mementingkan mzet. "Rugi
di satu merek tak apa. asal cepat tertutup di merek lain,"
katanya. Cara demikian, yang memang lazim terjadi di Kota, biasa
dikenal sebagai "sistim kawin".
Bagaimana dengan situasi harga Pedagang yang meneruskan usaha
ayahnya itu berkesimpulan dewasa ini, "kita-kita ini cuma kuda
pabrik." Dengan kata lain, pabriklah yang menentukan gerak
harga. "Dalam suasana seperti sekarang kita lebih percaya pada
usaha keras dan 70ki. Soal kekurangan uang kontan biasanya kita
atasi dengan saling membantu," tukasnya.
Suasana sepi juga tampak pada sedretan toko-toko elektronik di
pusat pertokoan Jembatan Glodok. Tapi seorang pegawai toko Sinar
Jaya cepat reaksinya melayani setiap tamu yang melongok
barangnya. "Lain bulan video tape ini bisa mencapai Rp
1.150.000.," katanya. Sekarang dipasang harga Rp 1.050.000.
Harga barang-barang lain seperti radio transistor, teve,
amplifier dan sebagainya tak mengalami perubahan yang berarti.
Tak terlihat kecenderungan para pembeli menubruk barang. Jadi
tak nampak salah satu pertanda adanya suasana inflasi yang
tinggi. Seorang pemilik toko elektronika di Glodok Plaza
mengakui suasana "tubruk barang" pernah terjadi menjelang
lebaran. "Sampai kita kewalahan melayani pembeli-pembeli
video-tape dan teve berwarna," katanya.
Tapi sekarang biasa saja, malahan tali begitu berbeda dengan
waktu sebelum Kenop tahun lalu."
Suasana susahnya uang di tengah arus inflasi sekarang diakui
Sutopo Yananto dari Berkat Grup. Tapi dari kantornya di Jalan
Telepon, Kota, Sutopo lebih suka bilang "no comment" Tokoh Pintu
Kecil itu tampak santai saja. Dia lebih suka repot mengurusi
peresmian gelanggang olahraga Bowling baru di Hotel Kartika
Chandra tanggal 19 September ini, oleh Ny. Tien Soeharto.
Tapi ketika bicara soal pabrik kertas Indah Kiat punya Berkat
Grup di Serpong, Tangerang, Sutopo tampak tak menutup diri. Ia
memang sedang mencari jalan keluar dari masalah biaya. Ketika
pabrik kertas HVS itu menjalankan produksi percobaan, dia mampu
menutup ongkos. Sejak Juni lalu Indah Kiat resmi memasuki tahap
produksi komersial. Tapi malang bagi Sutopo, terjadi surplus.
Tak bisa lain, pabriknya terpaksa mengurangi produksi sekitar
30% dari plafon yang mustinya menguntungkan.
Adakah situasi yang begitu akibat inflasi? Sutopo mengepalkan
tinju "Pemerintah terlampau ketat dengan uang." Apa yang
dialami Berkat Grup adalah pengalaman umum banyak pabrik lain,
baik asing maupun PMDN: kesulitan likuiditas akibat Kenop 15,
sedang plafon kredit bank, untuk menjaga agar tingkat inflasi
tak makin menjadi-jadi, tetap saja ketat.
Keadaan tingkat inflasi yang "serius" seperti dinyatakan
Pemerintah diterima Utomo Josodirdjo 50 tahun, dengan
pengamatan yang kritis. Ekonom lulusan Rotterdam yang mengepalai
Kantor Akuntan SGV Utomo Mulia itu belum merasakan tingkat
inflasi yang sekarang ini sudah sampai mengganggu kebiasaan lari
paginya. "Itu tergantung dari paket mana kita melihat," katanya
pada Lukman Setiawan dari TEMPO di kantornya, tingkat 4 gedung
SGV Utomo Mulia, Slipi, pekan lalu. "Kalau misalnya kita melihat
dari paket Mercedez, inflasi bisa mencapai 60%," katanya. "Tapi
kalau diteropong dari paket tahutempe, mungkln cuma 20%."
Nyatanya, dari sekian banyak perusahaan yang menjadi kliennya
tak satupun menurut Utomo- menunjukkan gejala mau menutup pintu
sebagai akibat perekonomian belakangan ini. "Mereka
paling-paling mengurangi produksinya atau mempertahankan diri
pada tingkat yang ada," Utomo menjelaskan.
Namun ia juga mengatakan bukan tidak ada perusahaan yang
berkembang usahanya. "Perusahaan kayu gelondongan (longging),
pengolahan kayu dan industri farmasi menunjukkan kemajuan,"
katanya.
Memang, bidang usaha yang barusan disebut itulah yang kabarnya
tetap bisa menikmati suatu likwiditas yang lumayan tingginya
Demikian pula perusahaan timah. Kritik beberapa pengamat
terhadap bidang-bidang usaha tadi adalah, mereka tak membagi
likwiditasnya untuk ditanamkan ke bidang usaha industri lain
setidaknya yang sejenis atau menunjang industri utamanya. Uang
mereka lebih banyak disiplin di lembaga-lembaga keuangan non
bank.
Kalau benar demikian, maka fimbul kesulitan bagi pemerintah
untuk mengontrol kelebihan likwiditas itu. Dan itu juga salah
satu penyebab yang ikut mendorong tingkat inflasi ke atas.
Dari 9 LK non bank di Jakarta cuma satu yang nasional yakni PT
Indonesian Financing and Investment (IFI). Lainnya berbentuk
patungan dengan LK asing atau bank asing di luar negeri. Sampai
sekarang belum lagi diketahui berapa banyak uang yang berputar
di lembaga-lembaga keuangan non bank itu. Bank Indonesia juga
belum punya datanya. Buktinya laporan mingguan BI belum pernah
mengungkapkannya.
KENOP 15 banyak dituding orang sebagai biang keladi inflasi.
Juga naiknya harga minyak internasional dan dalam negeri. Namun
ada hal penting lain yang oleh bankir Mochtar Riyadi 50 tahun,
dinilai punya andil penting dalam inflasi sekarang "Kurang
terarahnya penggunaan dana-dana oleh perusahaan-perusahaan
negara."
Kepala Direktur Eksekutif PT Bank Central Asia itu beranggapan,
75% dari kegiatan ekonomi di Indonesia ini dikuasai oleh
perusahaan negara listrik air minum, PTT, perhotelan,
perkebunan, niaga, pertambangan dan banyak lagi. Bukan lagi
rahasia banyak dari perusahaan itu tidak efisien, antara lain
juga dikenal sebagai penampungan tenaga kerja yang cukup besar.
Ambillah Pertambangan yang sampai sekarang masih memberi makan
kepada sekitar 40.000-an mulut.
Meskipun begitu, bankir Mochtar Riyadi sependapat inflasi
sekarang itu cukup tinggi, tapi belum sampai mencapai tingkat
liar atau yang lazim disebut run away inflation.
Namun suatu bunyi alarem datang dari bank asing. Para juru-ramal
di Bank of Tokyo, Jakarta beranggapan Pemerintah memang harus
berhati-hati. Selama 7 bulan ini, mulai Januari sampai dengan
Juli lalu, inflasi sudah merayap hingga mencapai 18%. "Bukan
mustahil selama Agustus sampai akhir tahun ini tingkat nya akan
bertambah sebanyak 10% lagi," kata Toshiaki Sasaki, Deputi
Manajer Umum Bank of Tokyo di Jakarta. Tapi kepada Bachrun
Suwatdi dari TEMPO bankir Jepang itu cepat menambahkan: "Saya
mengharapkan pemerintah bisa mengambil tindakan-tindakan untuk
mengeremnya."
Namun apapun cara yang akan diambil pemerintah, bankir Bank of
Tokyo itu belum melihat suasana sekarang itu akan membuat para
pengusaha asing angkat kaki. Diakuinya ada kecenderungan
menurunnya arus masuk para investor asing umumnya, termasuk
Jepang. Tapi, "Itu antara lain disebabkan adanya bidang-bidang
tertentu yang kini sudah tertutup bagi modal asing," kata
Toshiaka-san.
BAGAIMANA kalau inflasi nanti benar-benar mencapai 30%? Sembari
memijit dahinya, Gen taroh Baba, Kepala Perwakilan The
Industrial Bank of Japan di Jakarta, beranggapan itulah batas
yang gawat. "Lewat dari itu, misalnya sampai 40%, pasti akan
berpengaruh sekali. Daya beli masyarakat akan sedemikian turun
sehingga keuntungan investor semakin kecil," katanya. Dia
khawatir pada tingkat itu bukan mustahil ada yang angkat kaki,
"sayonara," katanya. "Tapi untung sekarang belum ada pengusaha
Jepang yang punya niat begitu."
Tapi sebelum bicara sampai sekian jauh, Mochtar Riyadi
menyodorkan satu jalan keluar lain yang "darurat". Direktur BCA
itu berpendapat, suku-bunga deposito yang sekarang perlu
ditingkatkan lagi, agar orang lebih bergairah menyimpan uangnya
dalam bank. Memang diakuinya itu akan menyaingi orang membeli
sertifikat di Pasar Modal. Tapi menurut Mochtar, perlu dilakukan
suatu pilihan. "Ibarat orang yang menderita sakit lever dan
sakit gula, yang perlu diobati tentu adalah levernya dulu,"
katanya.
Bisa dimengerti kalau para bankir akan serta merta menyambut
usul Mochtar. Sebab makin banyak orang menyimpan di bank, makin
baik bagi mereka. Tapi tak demikian rupanya buat industri. Nahar
Zahiruddin, 50 tahun, Wakil Dir-Ut PT Indomilk kurang setuju
kalau bunga deposito berjangka dinaikkan. "Harus diingat bahwa
sukubunga itu adalah harga dari uang. Naiknya suku-bunga dengan
sendirinya berarti naiknya biaya buat perusahaan, " katanya.
Nahar, beranggapan masih perlu masa konsolidasi buat industri
sebagai akibat Kenop 15. Bagi Indomilk sendiri, ekonom lulusan
UI itu sudah memutuskan untuk menunda dulu investasi baru atau
pun perluasan pabriknya.
Juga Nahar masih merasakan tingginya bahan baku impor. Khusus
tentang produknya, dia menunjuk pada harga tepung susu yang
sejak Juli lalu naik dengan 15% dan ongkos pengapalan yang
bertambah 3%.
Masih banyak lagi biaya di pelabuhan yang bertambah tinggi, di
samping bunker surcharg seperti dikemukakan Nahar. Untuk ini ir
Aburizal Bakrie, Direktur PT Bakrie Brothers bisa bercerita
banyak. Dikenal antara lain sebagai eksportir kopi dan lada dan
karet bongkah serta industri pipa plastik dan baja, Aburizal
mencatat: "Untuk mengeluarkan 1 ton barang dari pelabuhan sampai
ke pabrik diperlukan biaya US$ 16 per ton." Jika di kurs jatuh
sekitar Rp 10 ribu. Di samping itu biaya pengapalan dari
pelabuhan di Jepang ke Tanjung Priok, menurut Rizal, tak kurang
dari US$ 26 atau Rp 16.250 per ton.
Adapun tinggmya suku-bunga bank pemerintah yang sekitar 13%
untuk mengimpor bahan baku, dia menilainya tidak mahal. Meskipun
di negeri tetangga, Malaysia, bisa diperoleh dengan 8% setahun.
Tapi di AS, sudah mencapai 11,8% setahun, dengan tingkat inflasi
yang kini 12% setahun. Seiring dengan Rizal, adalah I Nyoman
Moena, Dir-Ut PT Overseas Express Bank, 49 tahun. "Kalau bunga
bank itu dinaikkan lagi, akibatnya akan memacetkan produksi,"
katanya.
Kini orang menunggu, apa yang akan dilakukan pemerintah--mumpung
suara panik tidak, atau belum, terdengar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini