Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Suasana masih adem

Inflasi yang serius tidak tampak pada para pembeli barang. kelebihan likuiditas dan kenop 15 dianggap cukup mempengaruhi naiknya inflasi. jumlah peserta tabanas bertambah, meskipun jumlah uang turun. (eb)

22 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK kelihatan suasana yang luar biasa di Pintu Kecil, Pasar Pagi dan Gang Burung di Kota. Pusat perdagangan tekstil di bilangan Jakarta Barat itu tampaknya tak terpengaruh oleh yang disebut dalam keterangan pemerintah sendiri sebagai "inflasi yang cukup memprihatinkan." Malah kata Toni Lie, 30 tahun, dari toko Pulau Seribu di Gang Burung "Pasaran kini kembali normal. Tidak seperti menjelang Lebaran sebulan yang lalu." Toni, pedagang grosir tekstil lokal, tak habis mengerti mengapa dalam keadaan inflasi malah uang kontan susah dicari. Untuk bisa mengatasi keadaan begini, diapun lebih mementingkan mzet. "Rugi di satu merek tak apa. asal cepat tertutup di merek lain," katanya. Cara demikian, yang memang lazim terjadi di Kota, biasa dikenal sebagai "sistim kawin". Bagaimana dengan situasi harga Pedagang yang meneruskan usaha ayahnya itu berkesimpulan dewasa ini, "kita-kita ini cuma kuda pabrik." Dengan kata lain, pabriklah yang menentukan gerak harga. "Dalam suasana seperti sekarang kita lebih percaya pada usaha keras dan 70ki. Soal kekurangan uang kontan biasanya kita atasi dengan saling membantu," tukasnya. Suasana sepi juga tampak pada sedretan toko-toko elektronik di pusat pertokoan Jembatan Glodok. Tapi seorang pegawai toko Sinar Jaya cepat reaksinya melayani setiap tamu yang melongok barangnya. "Lain bulan video tape ini bisa mencapai Rp 1.150.000.," katanya. Sekarang dipasang harga Rp 1.050.000. Harga barang-barang lain seperti radio transistor, teve, amplifier dan sebagainya tak mengalami perubahan yang berarti. Tak terlihat kecenderungan para pembeli menubruk barang. Jadi tak nampak salah satu pertanda adanya suasana inflasi yang tinggi. Seorang pemilik toko elektronika di Glodok Plaza mengakui suasana "tubruk barang" pernah terjadi menjelang lebaran. "Sampai kita kewalahan melayani pembeli-pembeli video-tape dan teve berwarna," katanya. Tapi sekarang biasa saja, malahan tali begitu berbeda dengan waktu sebelum Kenop tahun lalu." Suasana susahnya uang di tengah arus inflasi sekarang diakui Sutopo Yananto dari Berkat Grup. Tapi dari kantornya di Jalan Telepon, Kota, Sutopo lebih suka bilang "no comment" Tokoh Pintu Kecil itu tampak santai saja. Dia lebih suka repot mengurusi peresmian gelanggang olahraga Bowling baru di Hotel Kartika Chandra tanggal 19 September ini, oleh Ny. Tien Soeharto. Tapi ketika bicara soal pabrik kertas Indah Kiat punya Berkat Grup di Serpong, Tangerang, Sutopo tampak tak menutup diri. Ia memang sedang mencari jalan keluar dari masalah biaya. Ketika pabrik kertas HVS itu menjalankan produksi percobaan, dia mampu menutup ongkos. Sejak Juni lalu Indah Kiat resmi memasuki tahap produksi komersial. Tapi malang bagi Sutopo, terjadi surplus. Tak bisa lain, pabriknya terpaksa mengurangi produksi sekitar 30% dari plafon yang mustinya menguntungkan. Adakah situasi yang begitu akibat inflasi? Sutopo mengepalkan tinju "Pemerintah terlampau ketat dengan uang." Apa yang dialami Berkat Grup adalah pengalaman umum banyak pabrik lain, baik asing maupun PMDN: kesulitan likuiditas akibat Kenop 15, sedang plafon kredit bank, untuk menjaga agar tingkat inflasi tak makin menjadi-jadi, tetap saja ketat. Keadaan tingkat inflasi yang "serius" seperti dinyatakan Pemerintah diterima Utomo Josodirdjo 50 tahun, dengan pengamatan yang kritis. Ekonom lulusan Rotterdam yang mengepalai Kantor Akuntan SGV Utomo Mulia itu belum merasakan tingkat inflasi yang sekarang ini sudah sampai mengganggu kebiasaan lari paginya. "Itu tergantung dari paket mana kita melihat," katanya pada Lukman Setiawan dari TEMPO di kantornya, tingkat 4 gedung SGV Utomo Mulia, Slipi, pekan lalu. "Kalau misalnya kita melihat dari paket Mercedez, inflasi bisa mencapai 60%," katanya. "Tapi kalau diteropong dari paket tahutempe, mungkln cuma 20%." Nyatanya, dari sekian banyak perusahaan yang menjadi kliennya tak satupun menurut Utomo- menunjukkan gejala mau menutup pintu sebagai akibat perekonomian belakangan ini. "Mereka paling-paling mengurangi produksinya atau mempertahankan diri pada tingkat yang ada," Utomo menjelaskan. Namun ia juga mengatakan bukan tidak ada perusahaan yang berkembang usahanya. "Perusahaan kayu gelondongan (longging), pengolahan kayu dan industri farmasi menunjukkan kemajuan," katanya. Memang, bidang usaha yang barusan disebut itulah yang kabarnya tetap bisa menikmati suatu likwiditas yang lumayan tingginya Demikian pula perusahaan timah. Kritik beberapa pengamat terhadap bidang-bidang usaha tadi adalah, mereka tak membagi likwiditasnya untuk ditanamkan ke bidang usaha industri lain setidaknya yang sejenis atau menunjang industri utamanya. Uang mereka lebih banyak disiplin di lembaga-lembaga keuangan non bank. Kalau benar demikian, maka fimbul kesulitan bagi pemerintah untuk mengontrol kelebihan likwiditas itu. Dan itu juga salah satu penyebab yang ikut mendorong tingkat inflasi ke atas. Dari 9 LK non bank di Jakarta cuma satu yang nasional yakni PT Indonesian Financing and Investment (IFI). Lainnya berbentuk patungan dengan LK asing atau bank asing di luar negeri. Sampai sekarang belum lagi diketahui berapa banyak uang yang berputar di lembaga-lembaga keuangan non bank itu. Bank Indonesia juga belum punya datanya. Buktinya laporan mingguan BI belum pernah mengungkapkannya. KENOP 15 banyak dituding orang sebagai biang keladi inflasi. Juga naiknya harga minyak internasional dan dalam negeri. Namun ada hal penting lain yang oleh bankir Mochtar Riyadi 50 tahun, dinilai punya andil penting dalam inflasi sekarang "Kurang terarahnya penggunaan dana-dana oleh perusahaan-perusahaan negara." Kepala Direktur Eksekutif PT Bank Central Asia itu beranggapan, 75% dari kegiatan ekonomi di Indonesia ini dikuasai oleh perusahaan negara listrik air minum, PTT, perhotelan, perkebunan, niaga, pertambangan dan banyak lagi. Bukan lagi rahasia banyak dari perusahaan itu tidak efisien, antara lain juga dikenal sebagai penampungan tenaga kerja yang cukup besar. Ambillah Pertambangan yang sampai sekarang masih memberi makan kepada sekitar 40.000-an mulut. Meskipun begitu, bankir Mochtar Riyadi sependapat inflasi sekarang itu cukup tinggi, tapi belum sampai mencapai tingkat liar atau yang lazim disebut run away inflation. Namun suatu bunyi alarem datang dari bank asing. Para juru-ramal di Bank of Tokyo, Jakarta beranggapan Pemerintah memang harus berhati-hati. Selama 7 bulan ini, mulai Januari sampai dengan Juli lalu, inflasi sudah merayap hingga mencapai 18%. "Bukan mustahil selama Agustus sampai akhir tahun ini tingkat nya akan bertambah sebanyak 10% lagi," kata Toshiaki Sasaki, Deputi Manajer Umum Bank of Tokyo di Jakarta. Tapi kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO bankir Jepang itu cepat menambahkan: "Saya mengharapkan pemerintah bisa mengambil tindakan-tindakan untuk mengeremnya." Namun apapun cara yang akan diambil pemerintah, bankir Bank of Tokyo itu belum melihat suasana sekarang itu akan membuat para pengusaha asing angkat kaki. Diakuinya ada kecenderungan menurunnya arus masuk para investor asing umumnya, termasuk Jepang. Tapi, "Itu antara lain disebabkan adanya bidang-bidang tertentu yang kini sudah tertutup bagi modal asing," kata Toshiaka-san. BAGAIMANA kalau inflasi nanti benar-benar mencapai 30%? Sembari memijit dahinya, Gen taroh Baba, Kepala Perwakilan The Industrial Bank of Japan di Jakarta, beranggapan itulah batas yang gawat. "Lewat dari itu, misalnya sampai 40%, pasti akan berpengaruh sekali. Daya beli masyarakat akan sedemikian turun sehingga keuntungan investor semakin kecil," katanya. Dia khawatir pada tingkat itu bukan mustahil ada yang angkat kaki, "sayonara," katanya. "Tapi untung sekarang belum ada pengusaha Jepang yang punya niat begitu." Tapi sebelum bicara sampai sekian jauh, Mochtar Riyadi menyodorkan satu jalan keluar lain yang "darurat". Direktur BCA itu berpendapat, suku-bunga deposito yang sekarang perlu ditingkatkan lagi, agar orang lebih bergairah menyimpan uangnya dalam bank. Memang diakuinya itu akan menyaingi orang membeli sertifikat di Pasar Modal. Tapi menurut Mochtar, perlu dilakukan suatu pilihan. "Ibarat orang yang menderita sakit lever dan sakit gula, yang perlu diobati tentu adalah levernya dulu," katanya. Bisa dimengerti kalau para bankir akan serta merta menyambut usul Mochtar. Sebab makin banyak orang menyimpan di bank, makin baik bagi mereka. Tapi tak demikian rupanya buat industri. Nahar Zahiruddin, 50 tahun, Wakil Dir-Ut PT Indomilk kurang setuju kalau bunga deposito berjangka dinaikkan. "Harus diingat bahwa sukubunga itu adalah harga dari uang. Naiknya suku-bunga dengan sendirinya berarti naiknya biaya buat perusahaan, " katanya. Nahar, beranggapan masih perlu masa konsolidasi buat industri sebagai akibat Kenop 15. Bagi Indomilk sendiri, ekonom lulusan UI itu sudah memutuskan untuk menunda dulu investasi baru atau pun perluasan pabriknya. Juga Nahar masih merasakan tingginya bahan baku impor. Khusus tentang produknya, dia menunjuk pada harga tepung susu yang sejak Juli lalu naik dengan 15% dan ongkos pengapalan yang bertambah 3%. Masih banyak lagi biaya di pelabuhan yang bertambah tinggi, di samping bunker surcharg seperti dikemukakan Nahar. Untuk ini ir Aburizal Bakrie, Direktur PT Bakrie Brothers bisa bercerita banyak. Dikenal antara lain sebagai eksportir kopi dan lada dan karet bongkah serta industri pipa plastik dan baja, Aburizal mencatat: "Untuk mengeluarkan 1 ton barang dari pelabuhan sampai ke pabrik diperlukan biaya US$ 16 per ton." Jika di kurs jatuh sekitar Rp 10 ribu. Di samping itu biaya pengapalan dari pelabuhan di Jepang ke Tanjung Priok, menurut Rizal, tak kurang dari US$ 26 atau Rp 16.250 per ton. Adapun tinggmya suku-bunga bank pemerintah yang sekitar 13% untuk mengimpor bahan baku, dia menilainya tidak mahal. Meskipun di negeri tetangga, Malaysia, bisa diperoleh dengan 8% setahun. Tapi di AS, sudah mencapai 11,8% setahun, dengan tingkat inflasi yang kini 12% setahun. Seiring dengan Rizal, adalah I Nyoman Moena, Dir-Ut PT Overseas Express Bank, 49 tahun. "Kalau bunga bank itu dinaikkan lagi, akibatnya akan memacetkan produksi," katanya. Kini orang menunggu, apa yang akan dilakukan pemerintah--mumpung suara panik tidak, atau belum, terdengar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus