Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Antara Tabanas dan emas

Masyarakat belum melihat inflasi sebagai sesuatu yang menggegerkan. belum ada perubahan menyolok dalam kegiatan ekonomi mereka, terutama bagi para penabung. (eb)

22 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA isteri seorang pelaut. Ia tak tahu apa artinya inflasi. Tapi Ny. Dewi Soekmono dari Bandung ini, yang berpendidikan sampai SMA kelas II, contoh seorang manajer rumahtangga yang tertib. Ia punya buku daftar pengeluaran tiap bulan. Ia dan lima anaknya masing-masing punya buku tabungan di Tabanas. Tabungannya melebihi Rp 150 ribu -- cukup besar untuk ukuran daerah, meskipun kecil untuk ukuran kelas menengah baru di Jakarta. Di hari-hari tertentu ia mengurus Tabanas keluarganya di Bank Negara Indonesia 46 Bandung. Tapi seperti dinyatakannya kepada wartawan TEMPO di Bandung, bunga dari Tabanas itu tak pernah diperhatikannya. "Yang penting saya menabung," katanya. Ia juga belum peduli bahwa-nilai uang rupiah sedang turun. Ia tahu, dari daftar belanjaannya tiap bulan, bahwa selama triwulan terakhir ini harga-harga naik. Suaminya sendiri pernah menganjurkannya untuk menarik uang tabungannya dari Tabanas, karena kata suaminya nilai Rupiah turun. Tapi Ny. Dewi beranggapan lain. Menabung di Tabanas lebih aman, dan prosedurnya tak terlalu sulit. Sedangkan untuk menyimpannya dalam bentuk emas, ia enggan. "Belum tentu aman," katanya. Untuk disimpan takut hilang, untuk dipakai bisa "membuat melirik mata orang-orang yang melihatnya." Sikap seperti Ny. Dewi terdapat juga pada Ny. Wati - (bukan nama sebenarnya) di Jakarta. Suaminya seorang arsitek, dan tiap bulan Ny. Wati menabungkan 10% dari gaji suaminya dalam bentuk Tabanas, lewat Bank Eksim Cabang Cikini, Jakarta. Ia memang peserta Tabanas sejak 1973. Untuk biaya pcrkawinannya di tahun 1975 ia bisa mengambil hasil tabungan sebesar Rp 1 juta. Bersama dengan simpanan sang suami, keluarga itu pada tahun 1976 juga berhasil mendepositokan uang sebesar Rp 2 juta. Kini ia tahu ada inflasi. "Nilai uang turun, 'kan?" katanya. Tapi ia tetap merasa beruntung menabung lewat Tabanas. "Tidak aman kalau dalam bentuk emas," begitu pendapatnya Menyimpan harta dengan emas baru dianggap aman kalau jumlahnya banyak dan disimpan di Safe deposit box. Tapi ia tetap menganggap Tabanas lebih praktis. Ketika terjadi Kenop-15, ia juga kalem. Tabanasnya waktu itu berisi sekitar Rp 1 juta, "tapi bagi kami tak ada pengaruh langsung yang perlu saya pikirkan," katanya kepada TEMPO itu sudah walak-walikin jaman." Zaman memang bisa bikin banyak hal terbalik-balik, termasuk bunga uang dalam bank, tapi Ny. Wati juga tak peduli benar perkara ini. Pokoknya ia menabung, agar uang tiap bulan terkumpul. Uang itu mungkin kelak akan dibelikan rumah. Rumah di Menteng Atas, Jakarta, yang kini mereka tempati dengan dua anak yang masih balita itu, adalah rumah kontrakan. Setahun Rp 3000 ribu. MUNGKIN sikap seperti itu tercermin dalam angka-angka Tabanas secara nasional. Inflasi memang terjadi, tapi jumlah peserta Tabanas bertambah, meskipun jumlah uangnya turun. Setidaknya ulah yang nampak pada angka-angka minggu ke-2 sampai minggu ke-3 Juli yang lalu. Di minggu ke-2 jumlah Tabanas seluruh Indonesia menunjukkan posisi Rp 201 milyar dengan penabung sebanyak lebih dari 7.700.000 orang. Pada akhir minggu ke-3 bulan itu jumlah uang tabungan memang turun jadi Rp 199 milyar--mungkin menghadapi Ramadhan dan ari Raya. Tapi toh peserta tabungan naik 3000 lebih. Itu tak berarti orang Indonesia ogah emas. Meskipun, nampak jelas orang ogah beli tanah--apalagi di saat rakya ramai tentang kurangnya tanah bagi si miskin. Santosa Sumali, Direktur PT Overseas Express Bank, menunjuk gejala orang berduit membeli emas untuk spekulasi. "Dulu, Oktober 1977 uang Rp 1 juta dapat membeli emas sebanyak 400 gram," kata Santosa Sumali, "sekarang cuma dapat sekitar 150 gram " Permintaan menderas, harga pun naik. Optimisme? belum tentu. Sumber Bank Indonesia Medan mengatakan misalnya, bahwa dalam masa 3 bulan terakhir ini jumlah penabung di Sumatera Utara agak merosot, terutama dari kalangan pelajar dan pegawai negeri. Tetapi di kalangan Pramuka meriunjukkan trend meningkat, walau jumlahnya relatip kecil. Berapa angkanya tidak mau disebutkannya. Tapi sejak Januari lalu di Medan sudah dikembangkan proyek Tapelram (Tabungan Pelajar dan Pramuka). Di Kotamadya Medan sejak itu sudah dibuka 20 pilot proyeknya, dengan jumlah penabung sekitar 15 ribu orang. Proyek Tapelram ini dilaksanakan di sekolah masing-masing melalui Kepala Sekolah dan bank mempersiapkan sesuatu yang menyangkut tehnisnya saja. Gubernur Tambunan juga sudah menginstruksikan ke daerah tingkat II di Sumatera Utara agar proyek ini dikembangkan. Tetapi kini rata-rata kalangan penabung mengambil simpanannya. Setelah Kenop 15, mereka tidak begitu bersemangat untuk menabung. "Kalau pun ada uang, lebih baik beli emas," ucapnya. Tapi pilihan kepada emas bukan sekedar karena gejala inflasi--yang nampaknya cuma dirisaukan orang Jakarta yang pintar. Di daerah, emas punya tradisinya sendiri yang kokoh. Seorang pengusaha besar asal Madura di Surabaya, misalnya, menyebut tentang "fanatik"-nya orang Madura kepada emas, secara turun menurun. Mungkin ini diakibatkan sukarnya rakyat berhubungan dengan bank di waktu lampau dan sekarang. Mungkin pula karena dalam penyimpanan uang di bank, terdapat masalah bunga--yang tak dikenal dalam aturan agama Islam. Apa pun alasannya, Ny. Marfu'ah yang asli Madura telah membuktikan bahasa emas memang jago. Ia berjualan rujak siang hari dan kue di malam hari. Suaminya berjualan soto ayam. Rumahnya yang tak lebih 6 X 6 meter persegi reyot di tepi kali daerah Nyamplungan, Surabaya. Tapi suami isteri ini sejak 3 tahun yang lalu sudah dipanggil "haji". Mereka bisa naik haji karena sedikit demi sedikit tiap keuntungannya ditabung dalam bentuk emas. Ia makin percaya kepada emas sekarang meskipun wanita lulusan Madrasah yang berumur 55 tahun ini tak tahu apa itu inflasi. Soalnya tiap pergi ke toko langganannya di Blauran, Marfu'ah tak jarang mendengar harga emas galian naik terus. Katanya kalau dollar merosot harga emas terus naik", katanya dalam bahasa Madura. Simpanan emasnya sendiri kini tinggal 400 gram, antara lain karena yang dulu ia pakai untuk beaya pernikahan anaknya. Tapi, seperti banyak wanita Madura lain, ia tetap bangga dengan miliknya yang agak aneh di dalam rumah reyot itu. Orang Madura biasanya membeli emas dalam bentuk gelang, yang bngkos pembuatannya murah. Gelang itu bisa bertambah besar sesuai dengan uang yang dikumpulkan. Dan seperti bisa terlihat di pasar dan perkampungan Madura, biar menyolok gemerlapan sampai seberat 400 gram mereka tak canggung. "Emas itu tak bisa rusak dan bisa terus naik harganya", kata Marfu'ah, sang penjual rujak, mencetuskan pendiriannya. Di Padang, Sumatera Barat, Ny. Nurma penduduk Surau Balai Padang Luar Kota yang berusia 52 tahun juga berpendirian: "Meski hanya punya yang sekedar untuk 1 atau 2 gram emas, ibu lebih senang menyimpan perhiasan daripada memegang uang". Ia mengalami zaman Belanda jatuh sehingga mata uang jatuh, zaman Jepang datang dan nilai uang hilang, zaman Republik yang tak kalah riuh: pemerintah menggunting duit di tahun 1950-an, inflasi berkecamuk di zaman Sukarno dan Kenop-15 pun terjadi di masa Orde Baru. Dan sikap Ny. Nurma merupakan gejala umum nampaknya, hingga suatu ketika Gubernur Sumatera Barat waktuitu, Harun Zain, khusus menyerukan kampanye penyimpanan uang di bank. Menyimpan uang dalam bentuk perhiasan tak produktif, seru Gubernur Harun Zain. Tak cuma itu. Sekitar 1974 Bank Nasional, sebuah bank swasta yang berdiri sejak 1930 di Bukittinggi dan punya cabang di hampir seluruh Sum-Bar, mengumumkan kampanyenya sendiri masyarakat diberi kesempatan menyimpan uangnya di bank itu dengan standar cmas Selain bisa menerima kembali kapan dibutuhkan sesuai dengan harga emas saat pengambilan, mereka juga diberi bunga jasa simpanan. Hasilnya "lumayan", kata Nalis, wakil pimpinan Bank Nasional cabang Padang kepada TMO pekan lalu. Tapi kegiatan ini tak bisa dilanjutkan. Menurut Nalis, karena dilarang Bank Indonesia, dengan alasan cara itu akan merepotkan di kemudian hari. Dan tamatlah eksperimen unik itu--yang memang akan merepotkan bank di dalam masa inflasi dan naiknya harga emas seperti sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus