IA isteri seorang pelaut. Ia tak tahu apa artinya inflasi. Tapi
Ny. Dewi Soekmono dari Bandung ini, yang berpendidikan sampai
SMA kelas II, contoh seorang manajer rumahtangga yang tertib.
Ia punya buku daftar pengeluaran tiap bulan. Ia dan lima anaknya
masing-masing punya buku tabungan di Tabanas.
Tabungannya melebihi Rp 150 ribu -- cukup besar untuk ukuran
daerah, meskipun kecil untuk ukuran kelas menengah baru di
Jakarta. Di hari-hari tertentu ia mengurus Tabanas keluarganya
di Bank Negara Indonesia 46 Bandung. Tapi seperti dinyatakannya
kepada wartawan TEMPO di Bandung, bunga dari Tabanas itu tak
pernah diperhatikannya.
"Yang penting saya menabung," katanya. Ia juga belum peduli
bahwa-nilai uang rupiah sedang turun. Ia tahu, dari daftar
belanjaannya tiap bulan, bahwa selama triwulan terakhir ini
harga-harga naik. Suaminya sendiri pernah menganjurkannya untuk
menarik uang tabungannya dari Tabanas, karena kata suaminya
nilai Rupiah turun.
Tapi Ny. Dewi beranggapan lain. Menabung di Tabanas lebih aman,
dan prosedurnya tak terlalu sulit. Sedangkan untuk menyimpannya
dalam bentuk emas, ia enggan. "Belum tentu aman," katanya. Untuk
disimpan takut hilang, untuk dipakai bisa "membuat melirik mata
orang-orang yang melihatnya."
Sikap seperti Ny. Dewi terdapat juga pada Ny. Wati - (bukan nama
sebenarnya) di Jakarta. Suaminya seorang arsitek, dan tiap bulan
Ny. Wati menabungkan 10% dari gaji suaminya dalam bentuk
Tabanas, lewat Bank Eksim Cabang Cikini, Jakarta. Ia memang
peserta Tabanas sejak 1973. Untuk biaya pcrkawinannya di tahun
1975 ia bisa mengambil hasil tabungan sebesar Rp 1 juta. Bersama
dengan simpanan sang suami, keluarga itu pada tahun 1976 juga
berhasil mendepositokan uang sebesar Rp 2 juta.
Kini ia tahu ada inflasi. "Nilai uang turun, 'kan?" katanya.
Tapi ia tetap merasa beruntung menabung lewat Tabanas. "Tidak
aman kalau dalam bentuk emas," begitu pendapatnya Menyimpan
harta dengan emas baru dianggap aman kalau jumlahnya banyak dan
disimpan di Safe deposit box. Tapi ia tetap menganggap Tabanas
lebih praktis.
Ketika terjadi Kenop-15, ia juga kalem. Tabanasnya waktu itu
berisi sekitar Rp 1 juta, "tapi bagi kami tak ada pengaruh
langsung yang perlu saya pikirkan," katanya kepada TEMPO itu
sudah walak-walikin jaman."
Zaman memang bisa bikin banyak hal terbalik-balik, termasuk
bunga uang dalam bank, tapi Ny. Wati juga tak peduli benar
perkara ini. Pokoknya ia menabung, agar uang tiap bulan
terkumpul. Uang itu mungkin kelak akan dibelikan rumah. Rumah di
Menteng Atas, Jakarta, yang kini mereka tempati dengan dua anak
yang masih balita itu, adalah rumah kontrakan. Setahun Rp 3000
ribu.
MUNGKIN sikap seperti itu tercermin dalam angka-angka Tabanas
secara nasional. Inflasi memang terjadi, tapi jumlah peserta
Tabanas bertambah, meskipun jumlah uangnya turun. Setidaknya
ulah yang nampak pada angka-angka minggu ke-2 sampai minggu
ke-3 Juli yang lalu. Di minggu ke-2 jumlah Tabanas seluruh
Indonesia menunjukkan posisi Rp 201 milyar dengan penabung
sebanyak lebih dari 7.700.000 orang. Pada akhir minggu ke-3
bulan itu jumlah uang tabungan memang turun jadi Rp 199
milyar--mungkin menghadapi Ramadhan dan ari Raya. Tapi toh
peserta tabungan naik 3000 lebih.
Itu tak berarti orang Indonesia ogah emas. Meskipun, nampak
jelas orang ogah beli tanah--apalagi di saat rakya ramai
tentang kurangnya tanah bagi si miskin. Santosa Sumali, Direktur
PT Overseas Express Bank, menunjuk gejala orang berduit membeli
emas untuk spekulasi. "Dulu, Oktober 1977 uang Rp 1 juta dapat
membeli emas sebanyak 400 gram," kata Santosa Sumali, "sekarang
cuma dapat sekitar 150 gram " Permintaan menderas, harga pun
naik.
Optimisme? belum tentu. Sumber Bank Indonesia Medan mengatakan
misalnya, bahwa dalam masa 3 bulan terakhir ini jumlah penabung
di Sumatera Utara agak merosot, terutama dari kalangan pelajar
dan pegawai negeri. Tetapi di kalangan Pramuka meriunjukkan
trend meningkat, walau jumlahnya relatip kecil. Berapa angkanya
tidak mau disebutkannya.
Tapi sejak Januari lalu di Medan sudah dikembangkan proyek
Tapelram (Tabungan Pelajar dan Pramuka). Di Kotamadya Medan
sejak itu sudah dibuka 20 pilot proyeknya, dengan jumlah
penabung sekitar 15 ribu orang. Proyek Tapelram ini dilaksanakan
di sekolah masing-masing melalui Kepala Sekolah dan bank
mempersiapkan sesuatu yang menyangkut tehnisnya saja.
Gubernur Tambunan juga sudah menginstruksikan ke daerah tingkat
II di Sumatera Utara agar proyek ini dikembangkan. Tetapi kini
rata-rata kalangan penabung mengambil simpanannya. Setelah Kenop
15, mereka tidak begitu bersemangat untuk menabung. "Kalau pun
ada uang, lebih baik beli emas," ucapnya.
Tapi pilihan kepada emas bukan sekedar karena gejala
inflasi--yang nampaknya cuma dirisaukan orang Jakarta yang
pintar. Di daerah, emas punya tradisinya sendiri yang kokoh.
Seorang pengusaha besar asal Madura di Surabaya, misalnya,
menyebut tentang "fanatik"-nya orang Madura kepada emas, secara
turun menurun. Mungkin ini diakibatkan sukarnya rakyat
berhubungan dengan bank di waktu lampau dan sekarang. Mungkin
pula karena dalam penyimpanan uang di bank, terdapat masalah
bunga--yang tak dikenal dalam aturan agama Islam.
Apa pun alasannya, Ny. Marfu'ah yang asli Madura telah
membuktikan bahasa emas memang jago. Ia berjualan rujak siang
hari dan kue di malam hari. Suaminya berjualan soto ayam.
Rumahnya yang tak lebih 6 X 6 meter persegi reyot di tepi kali
daerah Nyamplungan, Surabaya. Tapi suami isteri ini sejak 3
tahun yang lalu sudah dipanggil "haji". Mereka bisa naik haji
karena sedikit demi sedikit tiap keuntungannya ditabung dalam
bentuk emas.
Ia makin percaya kepada emas sekarang meskipun wanita lulusan
Madrasah yang berumur 55 tahun ini tak tahu apa itu inflasi.
Soalnya tiap pergi ke toko langganannya di Blauran, Marfu'ah tak
jarang mendengar harga emas galian naik terus. Katanya kalau
dollar merosot harga emas terus naik", katanya dalam bahasa
Madura.
Simpanan emasnya sendiri kini tinggal 400 gram, antara lain
karena yang dulu ia pakai untuk beaya pernikahan anaknya. Tapi,
seperti banyak wanita Madura lain, ia tetap bangga dengan
miliknya yang agak aneh di dalam rumah reyot itu. Orang Madura
biasanya membeli emas dalam bentuk gelang, yang bngkos
pembuatannya murah. Gelang itu bisa bertambah besar sesuai
dengan uang yang dikumpulkan. Dan seperti bisa terlihat di pasar
dan perkampungan Madura, biar menyolok gemerlapan sampai seberat
400 gram mereka tak canggung. "Emas itu tak bisa rusak dan bisa
terus naik harganya", kata Marfu'ah, sang penjual rujak,
mencetuskan pendiriannya.
Di Padang, Sumatera Barat, Ny. Nurma penduduk Surau Balai Padang
Luar Kota yang berusia 52 tahun juga berpendirian: "Meski hanya
punya yang sekedar untuk 1 atau 2 gram emas, ibu lebih senang
menyimpan perhiasan daripada memegang uang". Ia mengalami zaman
Belanda jatuh sehingga mata uang jatuh, zaman Jepang datang dan
nilai uang hilang, zaman Republik yang tak kalah riuh:
pemerintah menggunting duit di tahun 1950-an, inflasi berkecamuk
di zaman Sukarno dan Kenop-15 pun terjadi di masa Orde Baru.
Dan sikap Ny. Nurma merupakan gejala umum nampaknya, hingga
suatu ketika Gubernur Sumatera Barat waktuitu, Harun Zain,
khusus menyerukan kampanye penyimpanan uang di bank. Menyimpan
uang dalam bentuk perhiasan tak produktif, seru Gubernur Harun
Zain.
Tak cuma itu. Sekitar 1974 Bank Nasional, sebuah bank swasta
yang berdiri sejak 1930 di Bukittinggi dan punya cabang di
hampir seluruh Sum-Bar, mengumumkan kampanyenya sendiri
masyarakat diberi kesempatan menyimpan uangnya di bank itu
dengan standar cmas Selain bisa menerima kembali kapan
dibutuhkan sesuai dengan harga emas saat pengambilan, mereka
juga diberi bunga jasa simpanan.
Hasilnya "lumayan", kata Nalis, wakil pimpinan Bank Nasional
cabang Padang kepada TMO pekan lalu. Tapi kegiatan ini tak
bisa dilanjutkan. Menurut Nalis, karena dilarang Bank Indonesia,
dengan alasan cara itu akan merepotkan di kemudian hari. Dan
tamatlah eksperimen unik itu--yang memang akan merepotkan bank
di dalam masa inflasi dan naiknya harga emas seperti sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini