ADA banyak alasan mengapa di Indonesia inflasi merupakan momok.
Laju inflasi pernah tidak terkendalikan shingga mencapai lebih
dari 600% setahun atau di atas 50% per bulan. Per definisi telah
terjadi hiperinflasi, suatu keadaan yang pernah dialami oleh
hanya sejumlah kecil negara di dunia dalam abad ke-20 ini.
Negara yang berada dalam hiperinflasi kehilangan kepercayaan
dalam dan luar negeri, dan biasanya hanya bisa ke luar dari
jurang kesulitannya bila terjadi penggantian pemerintahan.
Selanjutnya perang melawan inflasi dijadikan program utama.
Laju inflasi yang tinggi mendorong orang berpikir dan bertindak
dalam kurun waktu yang sangat singkat. Uang sebagai alat tukar
berputar dengan cepat. Yang diterima hari ini seketika juga
dibelanjakan sebab esok hari uang yang sama cuma dapat ditukar
dengan jumlah barang yang lebih sedikit. Dalam angka pendek
saja persediaan barang di pasar susut dengan pesat.
Uang sebagai alat menyimpan dalam keadaan seperti itu sudah
kehilangan daya tariknya sehingga dana investasi dan modal kerja
menjadi langka--justru pada saat dibutuhkan dalam jumlah yang
lebih besar. Uang sebagai darah dari ekonomi tidak lagi dapat
mengalir secara normal. Produksi macet, barang jarang, harga
semakin melonjak naik dan pada saat tertentu laju inflasi tidak
lagi terkendalikan. Inflasi dilihat sebagai momok karena
menimbulkan krisis kepercayaan dengan segala akibat ekonomis dan
politisnya.
Dewasa ini topik pembicaraan nomor satu berkisar pada munculnya
kembali momok inflasi. Bila inflasi secara a priori sudah
dianggap momok, dari pengalaman masing-masing orang tentu
disadari bahwa berpikir dan berbicara tentang momok melibatkan
perasaan-perasaan, praduga dan interpretasi yang tidak pernah
akan jelas.
Dua pertanyaan perlu dijawab: apakah saat ini inflasi di
Indonesia merupakan momok, dan bila memang demikian apa
jenisnya? Sebab bila yang dihadapi bukan momok, kepanikan
mungkin malahan akan mengundangnya datang. Selain itu bila
jenisnya tidak diketahui bagaimana dapat ditetapkan cara yang
tepat untuk menghalaunya?
Berdasarkan perkembangan tingkat harga rata-rata selama 5 bulan
pertama tahun anggaran 1979/1980 (April-Agustus) inflasi per
tahun melampaui 30%. Sebesar 37% setahun dengan ukuran inflasi
baru (indeks harga konsumen gabungan 17 kota) atau sebesar 42%
setahun dengan ukuran lama (indeks biaya hidup di DKI Jakarta).
Perkembangan ini mengkhawatirkan bila ditinjau dalam
perbandingan dengan laju inflasi % (ukuran lama) dalam tahun
1978 dan rencana Pemerintah untuk mempertahankan laju inflasi di
bawah 10% selama tahun anggaran 1979/1980.
BAHAYA STAGFLASI
Terlepas dari kriteria pembandingan ini, bila dikehendaki
Pemerintah saat ini masih dapat mengelldalikan inflasi. Nota
bene, Pemerintah ini punya rekor baik dalam menekan inflasi.
Masalahnya cuma dua. Pertama, Pemerintah sendiri tidak perlu
panik. Kesan panik diberikan bila ucapan pejabat yang satu
bertentangan dengan ucapan pejabat yang lain. Kedua, Pemerintah
harus menentukan jenis inflasi yang dihadapi agar tepat cara
mengatasinya.
Pemerintah sudah melihat inflasi saat ini untuk sebagian
terbesar bersumber pada kenaikan ongkos produksi, atau costpush
inflation. Seperti dinyatakan Menteri Subroto, sehtar separoh
dari laju inflasi ini merupakan andil Kenop 15. Tindakan moneter
ini (devaluasi) langsung meningkatkan ongkos produksi, termasuk
ongkos produksi BBM yang pada gilirannya juga menaikkan ongkos
produksi. Tindakan moneter itu sendiri juga membawa akibat
serentak dan menyeluruh. Atas dasar perkembangan 5 bulan
terakhir ini, dengan ukuran baru, harga bahan pangan meningkat
41% setahun, perumahan 32% setahun, sandang 40% setahun dan
keperluan rumah tangga lainnya 33% setahun.
Cara yang lazim dipakai untuk menangani inflasi yang bersumber
pada peningkatan permintaan (demand Full inflation) tidak bisa
secara berkelanjutan digunakan untuk mengatasi inflasi saat ini.
Inflasi punya banyak jalur. Bila ia terjadi melalui jalur yang
satu, tidak banyak gunanya ditutup jalur yang lain. Malahan
kebijaksanaan moneter dan fiskal yang ketat selama ini dirasakan
telah memperbesar kemacetan produksi. Pada gilirannya persediaan
barang berkurang, harga semakin naik, dan inflasi semakin ganas.
Inflasi per sebukan momok. Tapi inflasi dengan kemacetan
produksi (stagnasi), atau dikenal sebagai stagflasi, jelas
membahayakan. Dalam keadaan stagflasi semakin sukar dicapai
tujuan-tujuan pembangunan. Pertumbuhan dengan pemerataan dalam
dirinya menimbulkan inflasi.
Inflasi 30% setahun tidak perlu mengkhawatirkan apabila memang
terencana dan untuk merangsang pertumbuhan. Untuk melaksanakan
pertumbuhan dengan pemerataan, suatu target inflasi di bawah 10%
setahun sudah tidak lagi realistis. Dan pada dasarnya, menekan
inflasi bukan tujuan pembangunan tapi sekedar sarana. Sarana
yang penting dan perlu dikendalikan namun tak selalu mutlak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini