Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Inflasi sebagai momok

Inflasi itu sendiri bukan momok. tapi inflasi dengan kemacetan produksi (stagnas), atau dikenal sebagai stagflasi, jelas membahayakan. dalam keadaan stagflasi sukar dicapai tujuan pembangunan.

22 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA banyak alasan mengapa di Indonesia inflasi merupakan momok. Laju inflasi pernah tidak terkendalikan shingga mencapai lebih dari 600% setahun atau di atas 50% per bulan. Per definisi telah terjadi hiperinflasi, suatu keadaan yang pernah dialami oleh hanya sejumlah kecil negara di dunia dalam abad ke-20 ini. Negara yang berada dalam hiperinflasi kehilangan kepercayaan dalam dan luar negeri, dan biasanya hanya bisa ke luar dari jurang kesulitannya bila terjadi penggantian pemerintahan. Selanjutnya perang melawan inflasi dijadikan program utama. Laju inflasi yang tinggi mendorong orang berpikir dan bertindak dalam kurun waktu yang sangat singkat. Uang sebagai alat tukar berputar dengan cepat. Yang diterima hari ini seketika juga dibelanjakan sebab esok hari uang yang sama cuma dapat ditukar dengan jumlah barang yang lebih sedikit. Dalam angka pendek saja persediaan barang di pasar susut dengan pesat. Uang sebagai alat menyimpan dalam keadaan seperti itu sudah kehilangan daya tariknya sehingga dana investasi dan modal kerja menjadi langka--justru pada saat dibutuhkan dalam jumlah yang lebih besar. Uang sebagai darah dari ekonomi tidak lagi dapat mengalir secara normal. Produksi macet, barang jarang, harga semakin melonjak naik dan pada saat tertentu laju inflasi tidak lagi terkendalikan. Inflasi dilihat sebagai momok karena menimbulkan krisis kepercayaan dengan segala akibat ekonomis dan politisnya. Dewasa ini topik pembicaraan nomor satu berkisar pada munculnya kembali momok inflasi. Bila inflasi secara a priori sudah dianggap momok, dari pengalaman masing-masing orang tentu disadari bahwa berpikir dan berbicara tentang momok melibatkan perasaan-perasaan, praduga dan interpretasi yang tidak pernah akan jelas. Dua pertanyaan perlu dijawab: apakah saat ini inflasi di Indonesia merupakan momok, dan bila memang demikian apa jenisnya? Sebab bila yang dihadapi bukan momok, kepanikan mungkin malahan akan mengundangnya datang. Selain itu bila jenisnya tidak diketahui bagaimana dapat ditetapkan cara yang tepat untuk menghalaunya? Berdasarkan perkembangan tingkat harga rata-rata selama 5 bulan pertama tahun anggaran 1979/1980 (April-Agustus) inflasi per tahun melampaui 30%. Sebesar 37% setahun dengan ukuran inflasi baru (indeks harga konsumen gabungan 17 kota) atau sebesar 42% setahun dengan ukuran lama (indeks biaya hidup di DKI Jakarta). Perkembangan ini mengkhawatirkan bila ditinjau dalam perbandingan dengan laju inflasi % (ukuran lama) dalam tahun 1978 dan rencana Pemerintah untuk mempertahankan laju inflasi di bawah 10% selama tahun anggaran 1979/1980. BAHAYA STAGFLASI Terlepas dari kriteria pembandingan ini, bila dikehendaki Pemerintah saat ini masih dapat mengelldalikan inflasi. Nota bene, Pemerintah ini punya rekor baik dalam menekan inflasi. Masalahnya cuma dua. Pertama, Pemerintah sendiri tidak perlu panik. Kesan panik diberikan bila ucapan pejabat yang satu bertentangan dengan ucapan pejabat yang lain. Kedua, Pemerintah harus menentukan jenis inflasi yang dihadapi agar tepat cara mengatasinya. Pemerintah sudah melihat inflasi saat ini untuk sebagian terbesar bersumber pada kenaikan ongkos produksi, atau costpush inflation. Seperti dinyatakan Menteri Subroto, sehtar separoh dari laju inflasi ini merupakan andil Kenop 15. Tindakan moneter ini (devaluasi) langsung meningkatkan ongkos produksi, termasuk ongkos produksi BBM yang pada gilirannya juga menaikkan ongkos produksi. Tindakan moneter itu sendiri juga membawa akibat serentak dan menyeluruh. Atas dasar perkembangan 5 bulan terakhir ini, dengan ukuran baru, harga bahan pangan meningkat 41% setahun, perumahan 32% setahun, sandang 40% setahun dan keperluan rumah tangga lainnya 33% setahun. Cara yang lazim dipakai untuk menangani inflasi yang bersumber pada peningkatan permintaan (demand Full inflation) tidak bisa secara berkelanjutan digunakan untuk mengatasi inflasi saat ini. Inflasi punya banyak jalur. Bila ia terjadi melalui jalur yang satu, tidak banyak gunanya ditutup jalur yang lain. Malahan kebijaksanaan moneter dan fiskal yang ketat selama ini dirasakan telah memperbesar kemacetan produksi. Pada gilirannya persediaan barang berkurang, harga semakin naik, dan inflasi semakin ganas. Inflasi per sebukan momok. Tapi inflasi dengan kemacetan produksi (stagnasi), atau dikenal sebagai stagflasi, jelas membahayakan. Dalam keadaan stagflasi semakin sukar dicapai tujuan-tujuan pembangunan. Pertumbuhan dengan pemerataan dalam dirinya menimbulkan inflasi. Inflasi 30% setahun tidak perlu mengkhawatirkan apabila memang terencana dan untuk merangsang pertumbuhan. Untuk melaksanakan pertumbuhan dengan pemerataan, suatu target inflasi di bawah 10% setahun sudah tidak lagi realistis. Dan pada dasarnya, menekan inflasi bukan tujuan pembangunan tapi sekedar sarana. Sarana yang penting dan perlu dikendalikan namun tak selalu mutlak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus