Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam beranjak tua di Singapura, pertengahan Juni lalu. Toh, Herry Setiadi Wibowo masih gesit. Sehari suntuk mengelilingi pameran teknologi CommunicAsia 2005 di Singapore Expo tak membuat penulis lepas itu merasa lelah. ”Siapa mau ikut ke Starbuck,” kata lelaki ramah itu kepada kawan-kawannya. ”Ada kumpul-kumpul pencinta gadget dari Indonesia.”
Masuk kamar hotel sekadar mencuci muka dan menggaet notebooknya, Herry segera meluncur kembali dengan taksi. Tengah malam itu ia bersua dengan sepuluh warga Indonesia lain. Mereka belum pernah bertatap muka. Selama ini cuma berhubungan lewat mailing list sesama pencinta seperti indocell, gadtorade, dan idpalm. Di kedai kopi itulah mereka bertukar nama. ”Kami juga saling memperkenalkan gadget masing-masing,” katanya.
Dari tahun ke tahun, ajang CommunicAsia terbukti mampu menghimpun para pencinta gadget alias peranti elektronik asal Indonesia. Tahun ini, sekitar 20 orang sepakat untuk jalan bersama. Mereka memanfaatkan acara-acara pelatihan gratis yang digelar perusahaan teknologi informasi terkemuka dunia seperti Nokia dan Sony Ericsson.
Tentu tak ketinggalan, mereka mengumpulkan informasi dan brosur dari setiap stan sebanyak-banyaknya. Tengok saja oleh-oleh Deddy Avianto dari Negeri Singa. Managing Director ADAMobile—perusahaan mobile content provider berbasis di Jakarta—itu membawa sepuluh kilogram brosur. ”Satu koper penuh,” ujarnya seraya tersengih.
Herry bahkan mencetak rekor baru dalam kegiatan mengumpulkan brosur. Tiga tahun lalu ia membawa pulang brosur 20 kilogram. Tahun lalu oleh-olehnya sedikit menyusut menjadi 17 kilogram. Namun tahun ini brosur yang ia kumpulkan kembali membengkak. ”Saya membawa pulang 21 kilogram brosur,” katanya. Pada 2003 pameran urung digelar karena merebak isu penyakit radang saluran pernapasan akut, SARS.
Sepatunya nyaris jebol sepulang dari CommunicAsia. Selama tiga hari penuh, mulai dari jam buka waktu pagi sampai tutup di sore hari, Herry asyik menguliti isi pameran. Padahal luas arena pameran melebihi lapangan sepak bola. Deddy pun tak kalah bersemangatnya. ”Sudah biasa waktu pulang kaki terasa pegal-pegal,” ujarnya.
Pameran di Singapura, menurut mereka, sangat berbeda dengan ajang serupa di Indonesia. Contohnya Indonesia Cellular Show alias ICS, yang lebih bersifat jualan ketimbang pameran. Peserta pameran lebih banyak memasang gadis cantik sebagai sales promotion girl. Tapi mereka tak mengerti produk yang dipamerkan. ”Kita enggak dapat ilmunya,” kata Deddy. Herry mengiyakan. ”Hanya gede-gedean sound.”
Minimnya kemampuan petugas menerangkan gadget yang dipamerkan juga pernah dirasakan Sacha van Diest. Sebelas tahun silam ia pertama kali mencari personal digital assistant alias PDA. ”Saya butuh peranti untuk menyimpan data agar pekerjaan lebih efisien,” kata pemilik perusahaan konsultan engineering itu.
Kebetulan Sacha menemukan sebuah Casio Newzoomer di salah satu toko di Plaza Indonesia, Jakarta. ”Sayang, barang itu tak dijual dan tak ada yang bisa mendemonstrasikan,” ujarnya. Sacha baru menemukan gadget yang ia idamkan saat melancong ke Singapura. Ia memperoleh sebuah PDA seharga Rp 600 ribu.
Bagi orang yang terbiasa rapi, teratur, dan ingin selalu mengisi waktu luangnya, memiliki gadget memang menjawab semua kebutuhan. Terlebih di Indonesia, tempat orang harus bekerja dalam ketidakpastian. ”Orang belum biasa menghargai waktu, banyak kemacetan, dan sebagainya,” kata Sacha, yang sejak Mei lalu menggunakan Treo650.
Itu pula yang dirasakan musisi kondang Addie M.S. Pemilik Twilite Orchestra itu merasa semua datanya lebih terorganisir sejak menggunakan PDA. ”Saat punya masalah, saya bisa tahu apa yang pernah saya lakukan menghadapi masalah yang sama 20 tahun lalu,” ujarnya. Bukan kebetulan bila ia telah memasukkan semua data dari buku hariannya ke PDA. Adapun Deddy menyukai PDA karena sifatnya sebagai organizer yang mobil. ”Tak setiap waktu kita bisa mengeluarkan notebook,” ujarnya.
Bagi mereka, memiliki gadget memang bukan sekadar gengsi, apalagi cuma untuk bermain game. Mereka gemar mengutak-atik gadget agar fungsinya bisa dimaksimalkan. Herry, contohnya, telah memperkaya gadgetnya dengan fitur-fitur tambahan. Tak mengherankan bila PDA Palm Tungsten P-nya kini juga berfungsi bak remote control. ”Bisa saya gunakan untuk menyalakan atau mematikan TV, AC, dan lainnya,” katanya.
Rumah Deddy di kawasan Pangkalan Jati, Pondok Labu, Jakarta Selatan bahkan telah disulap menjadi area hotspot dengan jaringan wifi, sehingga bebas berinternetria. Di sana ada tiga PC yang memiliki jaringan dan dua notebook. Sebuah camcorder profesional buatan Panasonic melengkapi komputer yang khusus ia gunakan. Masih ada lagi sebuah car PC di dalam mobil Suzuki APV-nya. ”Rumah saya sudah seperti warnet,” kata Deddy, mengutip omongan para tetangganya.
Lantaran kesamaan minat, para pencinta gadget akhirnya membentuk komunitas. Mereka rutin berkumpul untuk bertukar informasi, bahkan melanglang hingga ke Singapura demi memuaskan dahaga tentang dunia gadget. Untuk menghadiri ajang seperti CommunicAsia itu, misalnya, menjelang Juni mereka sudah berburu kamar kosong di hotel-hotel bintang tiga. Pilihan lain adalah menyewa apartemen. Syukur-syukur memperoleh apartemen milik kenalan sehingga diberi harga miring. Maklum, biasanya hotel di Singapura bakal penuh karena pameran akbar itu.
Bertambah banyaknya anggota komunitas pencinta gadget membuat sarana komunikasi di antara mereka makin luas. Sacha, misalnya, kini sesekali tampil membawakan acara teknologi informasi di sebuah radio swasta di Jakarta. Demikian pula Herry, yang kadang menjadi pemandu perbincangan dalam sebuah acara di sebuah radio di Surabaya.
Mencintai gadget rupanya cukup menguras isi dompet. Deddy mengaku menghabiskan Rp 6-7 juta tiap bulan untuk berburu gadget terbaru. Saat ini ia menggunakan telepon seluler PDA iPAQ 6515. ”Bulan depan dan Oktober akan ada produk terbaru iPAQ, saya siap berburu lagi,” katanya.
Toh, kendati punya pos dana besar untuk memuaskan hobinya, tak semua pencinta gadget suka belanja ke luar negeri. ”Kalaupun mesti beli di luar, biasanya saya lakukan via Internet. Lebih mudah dan cepat. Atau titip ke teman,” kata Sacha.
Di Jakarta Sacha sudah memiliki tempat belanja gadget favorit. ”Plaza Indonesia dan Mall Ambassador,” ujarnya. Ia berpendapat mencari PDA tak sama dengan mencari desk top. Jadi tak terlalu repot. Addie M.S. malah kapok membeli gadget di luar negeri. ”Habis, harganya lebih murah di sini,” kata musisi yang biasa berbelanja di Ratu Plaza itu.
Sikap mereka terhadap gadgetnya juga berbedabeda. Herry suka mencoba-coba telepon seluler dan PDA baru. ”Saya suka coba merek yang aneh-aneh,” ujarnya. Tapi akhirnya ia akan kembali pada Ericsson T-39. Gadget baru biasanya ia jual ke orang lain. Sekarang ini Herry kembali ke Ericsson T-39 untuk yang ke-27 kali. Alasan Herry sederhana. T-39 memuaskan kebutuhannya akan gadget yang punya dimensi kecil, dilengkapi GPRS, bluetooth, inframerah, koneksi yang cepat dengan laptop. Dan yang tak kalah penting: murah.
Sebaliknya Sacha cenderung setia pada satu gadget. Sampai akhirnya ia merasa kebutuhannya tak lagi terpenuhi oleh fitur yang ada di gadget tersebut. Sering berganti gadget, menurut dia, bukan pertanda orang yang efektif dalam bekerja. ”Repot. Apalagi kalau mesti ganti-ganti operating system, belajar lagi. Belum lagi mesti memindahkan data,” katanya.
Demikian juga dengan Addie, yang baru dua kali mengganti PDA-nya dengan merek yang sama. ”Saya lebih melihat fungsinya. Kebetulan juga bukan tipe orang yang suka coba-coba. Buat saya gadget itu alat pendukung kerja, jadi tidak butuh yang terlalu canggih,” katanya. Alasan lain, Addie enggan memindah-mindahkan datanya. ”Takutnya malah nggak compatible dengan yang ada sekarang,” ujar pengguna PDA Palm dan HP Nokia N-9000 itu.
Utami Widowati, Wuragil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo