Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan yang kontroversial, demikian sejumlah pihak menilai putusan yang diambil majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang menganulir kemenangan Nurmahmudi dalam Pilkada Depok. Inilah ”wajah” para hakim yang boleh jadi dalam pekan-pekan ini bakal dipanggil Komisi Yudisial.
Nana Juwana SH
Nana Juwana, Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat, kini melakukan aksi tutup mulut. Nana yang pekan lalu menjanjikan wawancara dengan Tempo, tiba-tiba membatalkan janji. ”Saya tak boleh bicara lagi, termasuk sekadar memberikan profil,” katanya. Nana menyatakan bahwa sikap diamnya karena diinstruksikan Mahkamah Agung. Apalagi, menurut dia, belakangan banyak pihak yang mengaku-aku dari MA dan Komisi Yudisial yang menghubunginya.
Sebelumnya, Nana Juwana, yang juga ketua majelis hakim untuk kasus Badrul Kamal, sempat memberi keterangan kepada wartawan. ”Kami bersikap netral. Putusan tersebut sesuai dengan proses hukum dan bukti di pengadilan,” ujar Nana.
Sikap diam juga dilakukan Hakim Tinggi Fadhly Ilhamy. Hakim yang menggantikan posisi Hadi Lelana ini ruangan kerjanya terkunci rapat. Seorang pegawai Pengadilan Tinggi Jawa Barat mengatakan, Fadhly tak bisa diwawancarai. Sedangkan Rata Kambaren SH, anggota majelis hakim kasus Badrul Kamal, kepada Tempo mengatakan tak mau memberikan komentar apa pun. Soal profil, katanya, ”Jangan diekspos. Keluarga saya tidak ingin ada berita di media massa.”Hakim Tinggi Ginalita Silitonga SH, anggota majelis hakim, cuma berujar singkat. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini mengatakan bahwa dia sebetulnya tak ingin ada pihak yang merasa dirugikan akibat amar putusannya. ”Dalam peradilan selalu ada pihak yang dikalahkan dan dimenangkan,” ujarnya. ”Yang kalah harus berlapang dada menerima putusan.”
Hadi Lelana, 62 Tahun
Hakim tinggi kelahiran Indramayu, Jawa Barat, ini punya pengalaman hukum segudang. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini memulai kariernya di Pengadilan Negeri Karawang, Jawa Barat, 1971. Hadi Lelana bertugas di Karawang selama 10 tahun. Kemudian, ayah dari empat anak ini sempat bertugas di pelbagai daerah, antara lain Pengadilan Negeri (PN) Merauke (1986–1989), Ketua PN Sukoharjo (1990–1996), PN Jakarta Barat (1996–2000), Hakim Tinggi Sulawesi Tenggara (2000–2003) dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Nanggroe Aceh Darussalam (2004). Pada 2005, Hadi dipindahkan ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat.
Hadi Lelana mengaku sangat bangga dengan profesi hakim. Tak mengherankan, keempat anaknya, Arief Hakim Nugraha (31 tahun), Ananda Hakim Budi Priatna (29), Dian Hakim Theatarto (27), dan Yanuar Rahman Hakim (22), menyandang kata ”hakim” pada namanya.
Sebagai hakim senior, Hadi Lelana kenyang dalam memutus perkara. Beberapa kasus yang menyita perhatian publik, seperti kasus korupsi Wali Kota Banda Aceh, Zulkarnain (alm.) (2004), kasus perdata antara Bank Artha Graha dan Gunung Agung (1996), dan kasus narkoba yang melibatkan Agus Isrok, putra Jenderal Subagyo H.S. (2000).
Memang, posisi Hadi Lelana sebagai anggota majelis hakim kasus Badrul Kamal tak tuntas. Musibah kecelakaan yang menimpa salah seorang anaknya di Jakarta membuat Ketua PT Jawa Barat menggeser posisi Hadi dengan Hakim Tinggi Fadhly Ilhamy. Tapi Hadi menyatakan mendukung keputusan majelis hakim yang memenangkan Badrul Kamal. ”Keputusan itu benar,” ujar Hadi. ”Tak ada cacat hukum atau kelainan apa pun.”
Sofyan Royan, 61 Tahun
Sofyan Royan mengatakan tak ada persoalan dengan keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang menganulir kemenangan Nurmahmudi Ismail sebagai Wali Kota Depok. Sofyan menyatakan tak ada perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam keputusan itu. Soal tudingan politik uang, ”Silakan buktikan,” ujar Sofyan kepada Tempo. Dia juga mengaku siap diperiksa oleh Komisi Yudisial. Sofyan menyatakan dirinya dan anggota tim majelis hakim lainnya tak perlu takut dengan pemeriksaan tersebut. Soalnya, menurut dia, keputusan yang memenangkan Badrul Kamal sebagai Wali Kota Depok diambil berdasarkan bukti dan kesaksian di ruang sidang.
Sikap tegas Sofyan sebenarnya sudah dapat diduga. Lelaki kelahiran Padangpanjang, Sumatera Barat, ini merupakan salah satu hakim yang sangat berpengalaman. Alumnus Universitas Gadjah Mada 1968 ini telah menjadi hakim selama 31 tahun. Ia pernah menjadi Ketua PN Tanjung Balai (1993–1996), PN Jakarta Selatan (1999–2001), dan Hakim Tinggi di Nanggroe Aceh Darussalam (2001). Yang pernah ditanganinya, antara lain, kasus pembunuhan yang dilakukan anak terhadap kedua orang tuanya di Medan (1998) dan kasus pengeboman Kedutaan Malaysia (2001).
Setiyardi, Endang Purwanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo