Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NURMAHMUDI Ismail terdiam. Matanya sejurus menatap tajam sejumlah wartawan di depannya. Lalu, senyumnya mengembang. ”Kami memang akan terus melakukan perlawanan, tapi perlawanan kami tanpa makar dan subversif,” ujarnya, tegas. Kamis pekan lalu itu, mantan Menteri Kehutanan ini muncul di Hotel Hilton.
Bekas Presiden Partai Keadilan dan Menteri Kehutanan di era Presiden Abdurrahman Wahid itu menghadiri acara yang digelar pengusaha Setiawan Djody. Di acara itulah, di hadapan wartawan yang menghadangnya, ia menegaskan sikapnya. ”Saya akan terus mencari keadilan. Kami akan melawan secara konstitusional.”
Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat pada 4 Agustus lalu memang membuat Nurmahmudi dan Partai Keadilan Sejahtera terhenyak. Majelis hakim yang diketuai Nana Juwana menyatakan kemenangan Nurmahmudi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Depok, 26 Juli lalu, tidak sah. Hakim menyebutkan, kubu Nurmahmudi telah melakukan penggelembungan sebanyak 27.782 suara.
Selain itu, pasangan yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera ini dituding melakukan penggembosan 62.770 suara yang diperoleh Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad, pasangan yang didukung Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa. Majelis hakim lantas memindahkan puluhan ribu suara itu ke kubu Badrul, dan… hup! suara Badrul pun melambung. Badrul dinyatakan Pengadilan Tinggi sebagai pemenang pilkada.
Putusan inilah yang tak dapat diterima Nurmahmudi, PKS, dan juga KPUD Depok. Mereka menilai pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi, khususnya yang menyangkut kecurangan suara, dianggap tak masuk akal. ”Bagaimana mungkin puluhan suara itu bisa langsung dipindahkan dan diklaim sebagai milik Badrul Kamal,” kata Muhamad Razikun, Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP PKS
Partai berlambang bulan sabit mengapit padi dan kapas itu menuding putusan yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi sebagai cacat hukum. Menurut Razikun, sesuai dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, putusan Pengadilan Tinggi atas sengketa pilkada tak boleh lebih dari 14 hari. Faktanya, putusan itu keluar setelah 20 hari gugatan Badrul diproses di pengadilan.
Tak hanya itu, PKS juga menyebutkan pengadilan telah melampaui wewenangnya dalam hal memutuskan kasus ini. Misalnya, dalam putusan yang dikeluarkan pengadilan ternyata digunakan asumsi-asumsi yang terjadi menjelang pemungutan suara yang kemudian, ujung-ujungnya, menyatakan suara itu adalah milik Badrul. ”Putusan ini tidak hanya melanggar Pasal 106, yang menyatakan pengadilan hanya bisa memutuskan tentang hasil penghitungan suara, tapi juga tak didukung bukti otentik,” kata Razikun.
Di luar itu, menurut Razikun, pihaknya juga menilai ada sejumlah keganjilan pada proses persidangan itu. ”Ada seorang hakim yang tiba-tiba diganti di tengah jalan. Ini menimbulkan tanda tanya, karena hakim itu sangat kritis dalam melihat gugatan tersebut,” katanya.
PKS sendiri rupanya tak mau emosional menanggapi putusan Pengadilan Tinggi. Selain hanya melakukan aksi protes damai—dengan membagikan kembang hitam kepada sejumlah pengendara di Depok dan Bogor, partai ini memilih jalur hukum.
Rabu pekan lalu, misalnya, mereka membawa kasus ini ke Komisi Yudisial. Kendati tak berwenang meneliti substansi putusan, tapi berdasarkan UU No 22/2004, Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, komisi ini berwenang memanggil hakim yang mereka nilai bertindak tak patut dalam menjalankan tugas. ”Pekan-pekan ini kami akan memanggil semua hakim yang memutus perkara Pilkada Depok itu,” kata Soekotjo Soeparto, satu dari tujuh hakim yudisial kepada Tempo.
Semua hakim yudisial, kata Soekotjo, sedang mempelajari putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat itu. ”Tugas kami kan menjaga martabat hakim. Jadi, kami akan meneliti apakah dalam memutus perkara itu ada perilaku yang tidak semestinya,” kata Soekotjo. Jika terbukti ada hakim yang bertindak demikian, Komisi bisa meminta MA memecatnya.
Seperti tak hendak didahului, Senin pekan lalu, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan memanggil Nana Juwana, ketua majelis hakim yang sehari-harinya juga menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat.
MA memang terbilang cepat menanggapi reaksi sejumlah masyarakat terhadap putusan Pengadilan Tinggi. Lembaga ini, misalnya, sudah membentuk tim panel untuk mencari penyelesaian masalah akibat putusan Pengadilan Tinggi itu. Tim ini terdiri dari lima hakim agung, yaitu Paulus E. Lotulung (ketua), Parman Soeparman, Arifin Tumpa, Joko Sarwoko, dan Iman Sukti.
Menurut sumber Tempo, Bagir Manan saat itu sempat marah dan menyatakan kekecewaannya atas putusan yang dikeluarkan Nana Juwana. Saat diminta konfirmasinya perihal pertemuannya dengan Bagir Manan dan Paulus Lotulung, Nana memilih tutup mulut. ”Saya diminta Ketua MA tidak berkomentar apa pun,” katanya.
KPUD Kota Depok sendiri, Selasa pekan lalu, mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Tinggi itu. Menurut Ketua KPUD Depok, Zulfadli, ada dua substansi memori PK yang diajukan oleh pihaknya, yakni putusan pengadilan yang lebih dari 14 hari serta perihal sekitar 60 ribu orang yang disebut-sebut dihalangi hak pilihnya dan oleh hakim jumlah itu dengan serta-merta ditambahkan ke suara Badrul. ”Ini cacat hukum. Kami minta MA memperhatikan hal ini,” ujar Zulfadli.
Di mata anggota DPRD Kota Depok dari Fraksi Golkar, Babay Suhami, PK itu tak akan berguna. Menurut dia, seharusnya saat di Pengadilan Tinggi dulu, KPUD mengajukan saksi sebanyak-banyaknya. ”Misalnya, ada kesalahan dari hakim, hakimnya yang diperiksa, bukan putusannya,” ujar Babay.
Tim panel MA sendiri sudah bergerak cepat. Bahkan, menurut sumber Tempo, tim ini sudah membuat tiga rekomendasi atas putusan Pengadilan Tinggi. Isinya, membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat, menjatuhkan sanksi terhadap para hakim itu, dan meminta Ketua Muda Bidang Pengawasan MA memeriksa secara intensif majelis hakim itu. ”Hakim-hakim itu dinilai melakukan unprofessional conduct, tindakan tidak profesional,” kata sumber itu.
Saat Tempo menanyakan kebenaran adanya rekomendasi ini kepada Arifin Tumpa, anggota tim panel ini menggelengkan kepala. ”Tanya Pak Ketua,” katanya. Di Mahkamah Agung, harapan keadilan Partai Keadilan Sejahtera kini disandarkan.
L.R. Baskoro, Mawar Kusuma, dan Abdul Manan
Cacat Hukum Pengadilan Tinggi
PKS menilai Pengadilan Tinggi cacat hukum memutuskan gugatan Badrul atas kemenangan Nurmahmudi. Alasannya:
- Diputus lebih dari 14 hari (melanggar Pasal 106 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah)
- Pengadilan menggunakan asumsi-asumsi dalam memutuskan bahwa ada ribuan suara seharusnya menjadi milik Badrul dan bukan perhitungan suara otentik yang dikeluarkan KPUD. Majelis hakim dinilai melampaui wewenangnya karena tidak hanya mengadili perhitungan suara seperti ditetapkan UU, tapi juga proses pilkada itu.
- Pasangan Nurmahmudi dan Yuyun Wirasaputra, yang berkepentingan terhadap gugatan itu, tidak diberi hak menjelaskan bukti-bukti yang mereka miliki.
Kalah di Meja Hijau
Hanya sekejap kegembiraan yang diraup warga PKS atas kemenangan calon mereka, Nurmahmudi, dalam pemilihan Wali Kota Depok.
6 Juli 2005: KPUD Depok menetapkan pasangan Nurmahmudi dan Yuyun Wirasaputra sebagai pemenang pemilihan Wali Kota Depok. Pasangan ini mengalahkan Badrul Kamal-Syihabuddin yang dijagokan Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa.
4 Agustus 2005: Pengadilan Tinggi Jawa Barat menyatakan ada sekitar 62.770 suara yang seharusnya milik Badrul, tapi dihalang-halangi hak pilihnya. Suara itu ditambahkan ke suara untuk Badrul. Pengadilan memutuskan Badrul sebagai pemenang Pilkada Depok.
9 Agustus 2005: Komisi Yudisial menerima pengaduan dari Nurmahmudi Ismail menyangkut putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang dinilai tak adil.
15 Agustus 2005: Mahkamah Agung memeriksa hakim Nana Juwana, Hadi Lelana, Sofyan Royan, Ginalita Silitonga, dan Ratna, lima hakim Pengadilan Tinggi yang memeriksa kasus ini.
16 Agustus 2005: KPUD Depok mengajukan memori peninjauan kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo