Matahari seperti lupa lengser untuk penyanyi senior berumur 65 tahun ini. Biarpun cucu sudah 13, jadwal Titiek Puspa, penyanyi itu, tetap padat—mulai dari syuting iklan, menyanyi dari panggung ke panggung, sampai jadi pembicara seminar. Penampilan Titiek juga masih berkilau dengan kulit yang tampak halus kencang. Aksi panggungnya yang segar dan ceplas-ceplos senantiasa mengundang decak kagum.
Padahal, paling sedikit sudah sepuluh tahun istri mendiang Mus Mualim ini menjalani masa menopause. Titiek mengaku tak punya resep rahasia. Tak ada jamu, suplemen, atau suntik silikon. Tak ada pula melakukan terapi sulih hormon (hormone replacement therapy). "Aku ndak kenal, opo kuwi terapi hormon?" katanya. Titiek menyebutkan, hanya serba sedikit tahu ihwal ini dari gencarnya pemberitaan media massa sebulan terakhir.
Adalah Women's Health Initiative (WHI) yang menjadi sumber berita. Pertengahan Juli lalu, lembaga kesehatan perempuan yang bermarkas di Seattle, Amerika Serikat, ini merilis sebuah penelitian yang menghebohkan. Laporan riset ini dimuat dalam Journal of the American Medical Association edisi sebulan lalu.
Riset tersebut digelar pada 1997. Sekitar 16 ribu sukarelawan, perempuan menopause berusia 50-79 tahun, terlibat. Para responden dibagi dua grup secara acak. Kelompok pertama diberi pil berisi hormon estrogen dan progesteron. Grup lainnya diberi pil bohongan atau plasebo, yang hanya berisi tepung gula. Secara teratur semua responden men-jalani pemeriksaan kesehatan.
Lantas, setelah 5,2 tahun pengamatan, para periset mendapati beragam kasus serius terutama pada grup peminum pil hormon. Rinciannya, di antara 10 ribu responden yang minum pil hormon, muncul 7 kasus serangan jantung, 8 kasus stroke, 8 kasus kanker payudara, dan 8 kasus pembekuan darah.
Nah, berbekal data tadi, para peneliti WHI memutuskan menghentikan riset yang mestinya berakhir tahun 2005 nanti. Jika diteruskan sesuai dengan jadwal, mereka khawatir akan lebih banyak responden yang mengalami dampak buruk. WHI juga mengirim surat dan minta semua responden bergegas menghentikan terapi hormon. "Bendera merah telah berkibar," kata Marcia Stefanick. Kendati begitu, peneliti WHI ini mengakui masih ada banyak ketidakjelasan. Stefanick berjanji, WHI akan merilis rekomendasi yang lebih tegas begitu riset yang lebih mendalam rampung.
Biarpun belum gamblang betul, hasil riset WHI bergema luas. Maklumlah, sejak diperkenalkan oleh Robert Wilson, ginekolog Amerika, 40 tahun silam, terapi hormon telah memikat dunia. Melalui buku Feminine Forever, 1966, Wilson menjamin terapi hormon bakal menyulap seorang perempuan menopause tampil lebih cantik plus awet muda.
Bagaimana bisa?
Seperti kita ketahui, menopause ditandai dengan mandeknya siklus haid akibat indung telur alias ovarium berhenti bekerja. Organ ini tak lagi menghasilkan sel telur (ovum) dan tak lagi memproduksi hormon estrogen. Padahal, hormon inilah kunci ajaib penjaga beragam fungsi tubuh, mulai dari menjaga kelembapan kulit, menguatkan tulang, meningkatkan gairah seksual, sampai melancarkan aliran darah. Bersama progesteron, hormon estrogen juga melumasi kinerja mesin organ dalam seperti jantung, hati, dan ginjal.
Nah, anjloknya produksi hormon di masa menopause tentu punya dampak. Emosi jadi tidak stabil, cemas ber-lebihan, sering berdebar kencang, wajah panas (hot flush) mendadak, gairah seksual turun, vagina kering, tulang merapuh, dan air seni keluar tanpa kendali. Jika berlarut-larut, segala hal ini akan menyulut kanker payudara, kanker rahim, stroke, sampai serangan jantung. Belum lagi bila dihitung gairah hidup yang melayang, kekacauan pikiran, pula rumah tangga dan bisnis berantakan gara-gara kerap muncul keputusan tak masuk akal.
Memang, dampak negatif tak terjadi pada semua perempuan. Mereka yang terbiasa hidup sehat, seperti Titiek Puspa, punya mekanisme untuk menekan dampak berhentinya siklus haid.
Persoalannya, tak semua orang biasa dan bisa hidup sehat. Polusi, pola makan berlimpah lemak, kebiasaan merokok (juga perokok pasif), tekanan ekonomi, dan segan olah raga, membuat tubuh jadi kurang kukuh. Akibatnya, efek menopause jadi amat terasa dan mengganggu kualitas hidup.
Apa akal? Di sinilah terapi hormon menawarkan jawaban.
Tubuh perempuan yang kaku bak mesin kurang oli dipasok dengan hormon estrogen, kadang digabung dengan progesteron, yang diolah dari berbagai sumber. Pil hormon Premarin, misalnya, diolah dari air kencing kuda yang sedang bunting. Bentuk pasokan hormon juga beragam, ada cairan yang disuntikkan, pil, koyok yang ditempel di punggung, krem kulit, atau obat yang diisap.
Didukung teknik promosi obat yang agresif, terapi hormon sukses menggaet para pemuja. Di Amerika saja, sedikitnya 45 juta perempuan menopause menjadi pelanggan berbagai produk hormon. Adapun di Indonesia, terapi hormon belum meluas dan hanya terbatas pada perempuan kelas menengah ke atas. "Ongkosnya mahal," kata Dr. Ali Baziad, ginekolog dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Setiap bulan, pasien mesti merogoh Rp 150-250 ribu untuk menebus pil hormon, belum termasuk ongkos dokter.
Namun, sejak awal, manfaat terapi hormon selalu dibayangi kekhawatiran memicu kanker payudara. Kini puncaknya, seperti geledek, muncul bendera merah dari hasil riset WHI. Kepanikan pun merebak. Tak sedikit perempuan yang kebingungan. Kios-kios kesehatan terkemuka di internet dibanjiri pertanyaan tentang keamanan terapi hormon.
Christine Northrup, konsultan kesehatan situs Web MD, menyerukan para konsumen agar tetap tenang. Kemunculan delapan kasus kanker payudara dari 10 ribu responden, menurut Northrup, adalah sebuah probabilitas risiko yang kecil.
Lagi pula, belum tentu kasus kanker, stroke, dan pembekuan darah yang ditemukan WHI tersebut murni bersumber dari terapi hormon. Boleh jadi, sebagian responden memang punya gaya hidup berantakan, perokok, atau menyandang faktor genetik pemicu kanker. Jadi, riset WHI mesti ditanggapi dengan kepala dingin, sampai datang hasil riset lanjutan yang lebih komplet. "Jangan panik," katanya.
Gambaran serupa juga muncul di Jakarta. Menurut Ali Baziad, belakangan ini banyak pasien yang mendatangi ahli ginekologi dengan membawa guntingan koran yang memuat kontroversi terapi hormon. Mereka bertanya, "Dokter, saya mesti ngapain?"
Ali mengingatkan, sebetulnya se-belum menjalani terapi, setiap pasien terlebih dulu menjalani pemeriksaan kesehatan komplet. Mereka yang punya kecenderungan kanker payudara, penyakit hati, riwayat perdarahan yang tak jelas, misalnya, tidak boleh melakukan terapi hormon.
Begitu terapi direstui, pasien akan diberi dosis hormon serendah mungkin dengan ragam yang bervariasi. Kali ini pil, tahun depan koyok, berikutnya krem. Semua langkah ini bertujuan menekan dampak buruk yang tak diinginkan. "Setelah saya beri penjelasan," kata Ali yang juga Ketua Umum Pengurus Perkumpulan Menopause Indonesia (Permi), "sampai kini tak seorang pun pasien saya yang stop terapi."
Bagaimana dengan Anda? Ali menyerahkan seratus persen keputusan di tangan para pasien, tentu tetap berdasar pertimbangan dokter yang kompeten. Silakan pilih: stop atau jalan terus.
Apa pun pilihan Anda, menurut Ali, ada kiat yang patut dicatat selain olah raga dan gaya hidup sehat. Rajinlah menyantap makanan yang kaya fitoestrogen—senyawa serupa estrogen yang ada dalam tumbuhan. Kedelai, tahu, tempe, kacang tunggak, lidah buaya, dan bengkoang, termasuk dalam daftar rekomendasi.
Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini