Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Tingginya Ketimpangan Gender di Korea Selatan

Meski sebagai negara maju, peringkat kesetaraan gender Korea Selatan lebih rendah dari Indonesia. Dampak budaya patriarki.

10 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Data World Economic Forum menyatakan tingkat kesenjangan gender di Korea Selatan memburuk.

  • Menempati urutan ke-99, jauh di bawah negara maju lain yang berada di urutan ke-30 ke atas.

  • Dampak dari kebijakan pemerintah dan budaya patriarki.

Berdasarkan Global Gender Gap Report 2022 yang diterbitkan World Economic Forum, negara-negara demokrasi telah menunjukkan indikasi kemajuan dalam hal kesetaraan gender.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang ternyata cukup mengejutkan adalah Korea Selatan menempati urutan ke-99 dari 146 negara dalam peringkat kesenjangan gender dengan skor 0,689, naik tipis dari urutan ke-102 pada 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peringkat Korea Selatan ini sangat jauh di bawah negara-negara maju lainnya, yang mayoritas berada di urutan ke-30 teratas, bahkan masih kalah oleh negara-negara berkembang, seperti Indonesia (92), Nepal (96), Kamerun (97), dan Kamboja (98).

Padahal Korea Selatan dikenal sebagai negara dengan perkembangan ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia yang sangat hebat, tapi ternyata kesetaraan gendernya masih berjalan lambat.

Selain itu, walaupun mencetak pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan di Korea Selatan masih sangat berjarak, yakni 31,1 persen pada 2021. Artinya, dengan beban kerja yang sama, besaran gaji perempuan hanyalah 68,9 persen dari gaji laki-laki.

Berdasarkan laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2022, Korea Selatan adalah salah satu dari 39 negara dengan kesenjangan upah gender terbesar selama 26 tahun berturut-turut sejak 1996.

Mengapa demikian?

Kondisi Kesenjangan Gender di Korea Selatan

Sejak bertransisi dari rezim otoritarian ke demokrasi pada akhir 1980-an, gagasan dan komitmen Korea Selatan akan kesetaraan gender terus menguat.

Pemerintah Korea Selatan banyak melakukan langkah perbaikan dan perubahan untuk memajukan keadilan gender, dari memberikan kuota 30 persen bagi perempuan untuk mencalonkan diri di parlemen sejak 2000, membentuk Kementerian Kesetaraan Gender pada 2001, hingga memberlakukan cuti melahirkan 90 hari, cuti keluarga, serta insentif pengasuhan anak.

Undang-Undang Standar Ketenagakerjaan juga memberikan hak kepada pekerja perempuan yang hamil untuk mengatur sendiri jam masuk dan pulang kerja sehari-hari, dengan syarat tetap mempertahankan jumlah jam kerja yang diwajibkan.

Sejak 2013, tingkat partisipasi perempuan di level pendidikan tinggi meningkat pesat, bahkan pada 2020 mencapai 71,3 persen atau 5 persen lebih tinggi dibanding laki-laki.

Namun, pada kenyataannya, masih banyak benang kusut yang membelenggu upaya pemajuan kesetaraan gender di negara tersebut.

Ilustrasi pekerja industri hiburan di Seoul, Korea Selatan, 24 Februari 2023. REUTERS/Soo-hyeon Kim

Faktor Penghambat Kesetaraan Gender di Korea Selatan

Pada studi kasus tentang gender dalam kebijakan luar negeri di Korea Selatan, kami menemukan setidaknya tiga faktor utama yang menjadi tantangan bagi negara tersebut dalam menegakkan kesetaraan gender.

1. Rezim Pemerintahan Bisa Menjadi Faktor Independen

Di Korea Selatan, tiap rezim pemerintahan yang berkuasa bisa menjadi faktor yang berpengaruh terhadap pemajuan kesetaraan gender.

Sejak era demokrasi dimulai, Presiden Kim Young-sam (1993-1997) meletakkan dasar kebijakan gender melalui Undang-Undang Pembangunan Perempuan dan membentuk Komisi Kepresidenan Urusan Perempuan.

Komitmen penguatan kesetaraan gender ini berlanjut pada pemerintahan selanjutnya, tapi tidak dilaksanakan secara konsisten.

Presiden Kim Dae-jung (1998-2003) membentuk institusi khusus Kementerian Kesetaraan Gender, menetapkan kuota perempuan di parlemen, dan memberi insentif penitipan anak.

Adapun penerusnya, Presiden Roh Moo-hyun (2003-2008), meningkatkan anggaran untuk Kementerian Kesetaraan Gender dan memulai peruntukan anggaran yang sensitif gender.

Namun pemerintahan konservatif Lee Myung-bak (2008-2013) yang berorientasi pasar membawa kemunduran dengan memangkas anggaran Kementerian Kesetaraan Gender.

Park Geun-hye (2013-2016) menjadi presiden perempuan pertama Korea Selatan, yang diharapkan mampu memberikan warna yang lebih kuat terhadap kebijakan pro-gender. Di bawah pemerintahannya, anggaran kebijakan kesetaraan gender terus meningkat, termasuk untuk subsidi penitipan anak, cuti hamil, dan pengasuhan anak.

Namun representasi perempuan dalam jabatan publik strategis masih sangat rendah. Ini membuat Park dianggap oleh publik sebagai "presiden perempuan tanpa perempuan" karena gagal memenuhi janji kampanyenya untuk menempatkan perempuan dalam posisi-posisi penting di pemerintahan. Hanya ada dua menteri perempuan dari 19 anggota kabinetnya.

Situasi ini dimanfaatkan Moon Jae-in dalam pemilu 2017 melalui janji kampanyenya menjadi "presiden feminis" untuk mempromosikan kebijakan kesetaraan gender.

Selama pemerintahannya, Moon menunjuk empat menteri perempuan, termasuk Kang Kyung-hwa yang menjadi Menteri Luar Negeri perempuan pertama Korea Selatan. Ini merupakan jumlah tertinggi perempuan di kabinet sepanjang sejarah negara tersebut, walaupun belum mencapai 30 persen keterwakilan.

Selama pemerintahan Presiden Yoon Suk-yeol saat ini, kesetaraan gender di Korea Selatan kembali mengalami kemunduran. Hanya ada tiga menteri perempuan, yakni Menteri Pendidikan Park Soon-ae (mengundurkan diri pada Agustus lalu), Menteri Kesejahteraan Kim Seung-hee, serta Menteri Keamanan Pangan dan Obat Oh Yoo-kyung.

Kebijakan pemerintah Yoon yang konservatif juga menuai banyak kritik, termasuk rencana penghapusan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga. Ia dicap sebagai "anti-feminis".

2. Politisasi Isu Kesetaraan Gender

Isu kesetaraan gender sering dimanfaatkan politikus di Korea Selatan dalam periode pemilu hanya untuk menarik suara pemilih.

Pakar menyatakan kebijakan anti-gender yang diusung Presiden Yoon selama kampanye Pemilu 2022 telah membantu kemenangannya. Mewakili partai konservatif terbesar Korea Selatan, Partai Kekuatan Rakyat, Yoon mengklaim kebijakan Moon bias laki-laki serta Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga telah "memperlakukan laki-laki sebagai penjahat (treated men as potential criminals)."

Yoon memanfaatkan kekecewaan publik—mayoritas laki-laki—yang merasa dirugikan oleh upaya kesetaraan gender pemerintah karena dianggap mengistimewakan perempuan, sementara laki-laki harus ikut wajib militer.

Dengan menjalankan wajib militer selama lebih-kurang dua tahun, menurut narasumber yang kami wawancara pada Oktober 2022, laki-laki di Korea Selatan kehilangan waktu untuk mengembangkan karier dibandingkan perempuan.

Politisasi isu kesetaraan gender ini menyebabkan Presiden Yoon sangat hati-hati menangani isu-isu gender agar tidak menabrak janji kampanyenya.

3. Hambatan Kultural dan Struktural

Kondisi kultural dan struktural di Korea Selatan masih cenderung patriarki.

Budaya paternalistik, yang membagi gender secara diskriminatif dan struktural sehingga laki-laki lebih unggul dalam hierarki di Korea Selatan, telah membatasi upaya pemberdayaan perempuan dan partisipasi mereka di ruang publik. Pembagian peran serta tugas berdasarkan gender—antara bekerja di luar rumah dan mengerjakan urusan domestik—masih mengakar kuat pada kehidupan sosial masyarakatnya.

Contohnya, ada istilah umum bahwa istri disebut "Djip-saram" (orang yang tinggal di rumah), sementara suami disebut "Bakat-Yangban" (laki-laki berada di luar rumah).

Seorang narasumber yang kami wawancara di Seoul pada 2022 mengatakan perempuan yang sudah menikah wajib merawat mertua. Narasumber lainnya, yang merupakan anggota parlemen Korea Selatan, menyatakan budaya minum setelah pulang kerja (hoesik) menyulitkan perempuan untuk menjalankan peran domestiknya. Padahal hoesik kerap menjadi momen dalam membangun hubungan pertemanan dan karier.

Perempuan Korea Selatan juga sangat rentan mengalami diskriminasi dan pelecehan di tempat kerja.

Seorang narasumber kami memberikan contoh bentuk diskriminasi yang diterima perempuan saat melamar kerja dan saat sudah bekerja, dari pertanyaan tentang apakah akan hamil atau tidak hingga tertundanya promosi jabatan bagi perempuan setelah cuti hamil.

Berbagai hambatan kultural dan struktural ini saling berkontribusi terhadap menguatnya ketidaksetaraan gender di Korea Selatan.

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari kasus kesetaraan gender di Korea Selatan adalah sistem politik demokrasi suatu negara tidak serta-merta membuat negara tersebut adil gender. Lingkungan domestik masyarakatnya berperan kuat dalam pemajuan kesetaraan gender.

Studi kasus ini menunjukkan bahwa komitmen kesetaraan gender tidak selalu konsisten dan cenderung naik-turun, bergantung pada rezim pemerintahannya. Komitmen dan pilar kebijakan kesetaraan gender yang dimulai sejak awal era demokrasi oleh Presiden Kim tidak dilaksanakan secara konsisten oleh pemimpin-pemimpin selanjutnya, bahkan mengalami kemunduran selama masa Presiden Yoon.

Padahal kesetaraan gender harus menjadi agenda setiap rezim yang berkuasa. Sebab, kesetaraan gender yang benar-benar adil dan stabil akan menguntungkan konsolidasi demokrasi serta keberlanjutan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

---

Artikel ini ditulis oleh Ganewati Wuryandari, Athiqah Nur Alami, dan Mario Surya Ramadhan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Terbit pertama kali di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus