Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Ada kisah menarik di balik usaha jamu gendong yang ditekuni selama puluhan tahun oleh para perajin di Dusun Kiringan Desa Canden Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jamu gendong yang umumnya dianggap minuman kelas pinggiran itu ternyata memiliki pelanggan dari kalangan dokter, profesional hingga pejabat daerah. "Ada dokter, psikiater, juga para kepala dinas yang jadi pelanggan tetap. Mereka kalau pesan jamu lewat WA (Whats App)," ujar perajin jamu gendong asal Dusun Kiringan Bantul, Mariana Sutrisno, 62 tahun saat ditemui disela Festival Jamu di Pasar Ngasem Sabtu 17 Februari 2018. Baca: Heboh Narkoba: Sabu Jadi Favorit, Ini Alasannya Kata Psikiater
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan yang sudah 28 tahun berjualan jamu itu menuturkan, penghasilan berjualan jamu kini semakin membaik. Pemerintah daerah dinilai banyak berperan dengan rutin memberikan pelatihan juga permodalan peralatan membuat jamu meski alat manual. "Alhamdullilah dari jualan jamu sudah bisa menopang ekonomi keluarga untuk hidup lebih layak," ujar pensiunan perawat rumah sakit Bethesda Yogyakarta itu.
Mariani, dengan tersipu, menuturkan, dari jamu itu ia bisa membeli rumah cukup layak, mobil, juga menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang tertinggi. "Yang sulung baru saja lulus S2," ujar ibu empat anak itu. Baca: 7 Jurus Ampuh Tetap Awet Muda dan Sehat di Usia 50-an
Keuntungan menjual jamu gendong memang cukup menggiurkan. Bermodal ketrampilan dan jaringan pelanggan, keuntungan harian dari jualan jamu bisa Rp 250 - 300 ribu. Mariana menuturkan, dari berbagai pengalaman jualan jamu selama puluhan tahun yang paling membekas pada dirinya bukan karena keuntungan materi. Melainkan kepercayaan pelanggan.
Mariana pernah menemui seorang pelanggan yang menderita penyakit kelenjar leher namun takut bertemu dokter dan menjalani operasi. Pelanggan itu pun meminta diracikan jamu khusus untuk mengobati penyakitnya agar bisa sembuh tanpa operasi. "Setelah rutin minum jamu ternyata bisa sembuh dan akhirnya terus jadi pelanggan," ujarnya. Baca: Foreplay Seks di Indonesia Rendah, Pria Indonesia Kurang Menggoda
Kepercayaan pelanggan itu pun menyebar dari mulut ke mulut. Seorang pelanggan Mariana yang berprofesi sebagai dokter bahkan pernah mengajak koleganya asal Amerika ke rumahnya di Dusun Kiringan guna mencicipi jamu racikannya. "Yang bikin senang jualan jamu itu kalau sudah dipercaya pelanggan, ngga sakit sedikit ke dokter, sakit sedikit ke dokter," ujarnya sembari tertawa.
Mariana mengaku tak galau dengan penerusnya nanti. Karena sudah tradisi di dusun itu kalau sejak anak-anak usia lima sampai enam tahun, mulai diperkenalkan minum jamu. "Nanti pas SMA baru diajari tekun bikin jamu, bagaimana racikan yang pas, bahannya apa," ujarnya.
Perajin jamu gendong lain dari Dusun Kiringan, Unun Matoyah, 35, membenarkan jika keuntungan dari berjualan jamu memang menggiurkan. "Keuntungannya bisa sampai 50 persen," ujar ibu dua anak itu. Baca: Hari Valentine Justru Putus Cinta? Hadapi dengan Cara Ini
Unun menuturkan, kendala yang biasa dihadapi perajin jamu tak lain soal ketersediaan bahan yang gampang terpengaruh cuaca. Meskipun bahan bahan itu diperoleh dari lokal wilayah DI Yogyakarta. Seperti Asem dari Kulon Progo dan Kunyit dari Wonosari Gunung Kidul. "Kalau cuaca jelek, bahan susah dicari dan harganya naik tinggi," ujarnya.