Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Lain koki, lain cerita

Pengalaman beberapa koki dan suka dukanya. mereka menyukai pekerjaan itu dan merasa gajinya cukup. kesehatannya pun tidak terganggu. (sd)

23 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELALU mengenakan seragam putih dengan topi meruncing ke atas, sudah 15 tahun Made Swandi menjadi koki Bali Beach Hotel di Sanur, Bali. Sejak kecil ia memang sering membantu ibunya yang juga menjadi juru masak di sebuah hotel di kawasan Sanur. Tapi kini, dalam usia 39 tahun, sekujur badannya sering terasa pegal dan linu. "Seperti diserang rematik," katanya. "Mungkin karena perubahan suhu udara di tempat saya bekerja," tambahnya. Swandi bekerja di bagian pengolahan sop yang bertemperatur panas, tapi dengan tugas itu pula setiap kali ia harus mengambil sayur-mayur di ruangan bersuhu dingin. Untuk mengurangi rasa sakitnya? Swandi sering keluar ruangan menghirup udara segar dan mandi sinar matahari. Tapi ia tetap saja kerasan bekerja di hotel besar itu, antara lain juga karena sudah lima kali dialih-tugaskan. "Kalau bertugas di satu seksi saja bisa bosan? ujar ayah dari dua anak itu. Dan kini dengan gaji Rp 125.000 sebulan, ia tak ingin piridah ke bagian lain--walau kesehatannya tidak mengizinkan. "Bakat saya memang di sini. Kalau pindah malah kacau nanti," katanya. Meskipun di lain kesempatan ia mengakui juga, "kalau terlalu lama di dapur bisa kena ganguan jiwa." Sayang ia tak menjelaskan lebih lanjut tentang gangguan kejiaan itu. Sohiroen A.S, koki kepala di Hotel Saoy Homan Bandung, ingin membantah peribahasa lama: "lain koki lain masakan. Itu anggapan salah," katanya. Sebab, menurut dia, setiap koki akan memasak (misalnya) rawon dengan cara dan rasa yang sama. "Kalau rasanya tidak seperti rawon, ya namanya bukan rawon," katanya. Barangkali soalnya, tambah koki ini, apakah orang yang meminta rawon itu memang suka pada masakan itu atau tidak. Berpanas-panas di dapur selama berjam-jam tak menjadi soal bagi Sohiroen, 42 tahun. Bahkan, katanya, "pintu kamar tidur saya siap diketuk di tengah malam sekalipun jika ada tamu minta makan." Ia mengaku sudah begitu menyenangi pekerjaannya. Apalagi hotel tempat ia bekerja menyediakan fasilitas perumahan dan kesehatan yang cukup -- yang jarang terdapat di kebanyakan hotel. Gaji? "Pokoknya cukup," jawabnya. Ayah dari enam anak ini sebelumnya pernah bekerja di berbagai hotel. Mula-mula sebagai koki biasa. Tapi barangkali karena bahasa Inggrisnya cukup baik (ia mengaku pernah belajar di Lembaga Indonesia-Amerika Jakarta sampai tingkat enam), hingga ia kini menduduki jabatan koki kepala. Jarot Surojo, suatu saat kelabakan. Koki kepala Kusuma Sahid Prince Hotel di Sala itu, setiap hari harus menghidangkan lauk ikan laut kepada seorang tamu istimewa. Padahal, kebetulan pers--diaan ikan laut di beberapa pasar di kota itu sedang habis. Sang tamu, Browne Walter, jago catur dunia dari AS, tidak ambil peduli. "Pokoknya ingat, setiap hari saya mesti makan ikan laut untuk merangsang otak agar bisa menang," ujar International Grandmaster itu. Selama dua minggu, Februari lalu, Browne menginap di hotel kelas satu di Kota Bengawan tersebut mengkuti turnamen catur memperebutkan Piala Ny. Tien Soeharto. Jarot semakin gusar setelah ia tahu sang juara suka ngambek. Misalnya, Browne sama sekali tak mau menjamah makanannya, hanya karena tidak disediakan ikan laut. Suatu hari turnamen harus diundur sehari karena Browne mogok bermain: ia tidak menyukai warna cat papan catur yang dipergunakan hari itu. Jarot pun putar otak, berusaha membujuk tamunya. "Saya jamin nanti malam tuan bakal makan ikan laut. Siang ini saya akan memilih yang paling bagus untuk tuan agar tuan menang," bujuk Jarot. "Okey," ujar Browne mengangguk. Siang itu juga Jarot, 39 tahun, memacu mobilnya, ngebut, ke Semarang. Syukurlah, ia mendapatkan ikan laut yang bagus dan masih segar. "Dan Browne menang, memboyong Piala Ibu Tien. Tapi saya sendiri tidak tahu apakah kemenangan itu memang karena ikan laut, ataukah karena memang otak Browne yang cerdas," cerita Jarot sambil tertawa. Sementara sang juara menikmati hidangan makannya, beberapa saat setelah pembagian piala, Jarot mendekati. "Congratulation, Sir. Kemenangan tuan tentu karena ikan laut, bukan?" katanya. Browne tertawa terbahak-bahak "Thank you. Pelayanan anda tak akan saya lupakan." Dibantu tujuh orang tukang masak, setiap hari Jarot mempersiapkan masakan buat tamu-tamunya -- 60% masakan Indonesia (khas Sala seperti nasi liwet, timlo, pecel, sate buntel) dan 40% masakan Eropa. Tapi ia mengaku berdiang di dekat api sama sekali tak ada pengaruh pada dirinya. "Kalau kepanasan, ya berkipas-kipas sebentar di luar dapur," ucap Jarot. Mula-mula bekerja di Miraca Sky Club Surabaya, Jarot kemudian pindah ke Mirama Hotel di kota yang sama, sambil mengikuti kuliah di Aperta (Akademi Perhotelan dan Pariwisata). Dan empat tahun lalu arek Suroboyo itu pindah ke Kusuma Sahid Prince Hotel. Para karyawan hotel biasanya memang suka pindah dari satu hotel ke hotel lain untuk mendapatkan kedudukan dan penghasilan yang lebih tinggi. Jarot sendiri enggan menyebut jumlah pendapatannya Pokoknya cukup untuk menghidupi tiga anaknya, apalagi istrinya membantu dengan berjualan kain batik. Jarot pernah sial. Suatu hari ia dan kawan-kawannya mengantar hidangan masakan khas Sala ke sebuah pesta dengan sebuah mobil. Di tengah jalan, karena terburu-buru, kendaraan itu slip dan terperosok ke parit. Tak ada korban jiwa. "Tapi kami semua mandi sambel goreng," tuturnya sambil tertawa terbahak-bahak. Karena hampir seluruh masakan tidak bisa lagi dimakan, mereka terpaksa kembali ke hotel, memasak lagi. Jadi karyawan hotel bagian dapur, apalagi juru masaknya, tampaknya enak. Seperti kata Petrus Soenarto, 40 tahun, Kepala Bagian Makanan dan Minuman Hotel Srimanganti di Yogyakarta, "setiap hari dapat makanan bergizi tinggi."Itu tidak berarti ia boleh seenaknya membawa makanan pulang. Para karyawan, di hotel mana saja, dilarang berbuat demikian. Mereka selalu diperiksa oleh petugas keamanan setiap kali hendak pulang. Setiap hari Soenarto dibantu delapan juru masak menyiapkan paling kurang 30 jenis makanan dan minuman buat tamu-tamu hotel. Soenarto dikenal sebagai spesialis masakan Eropa. "Masakan Barat itu lebih kompleks, lebih sulit dibanding masakan Jepang atau Cina. Untuk mempelajarinya minimal dibutuhkan waktu tiga tahun," katanya. Pernah kuliah di Fakultas Bioloi UGM. karirna dimulai sebagai pencuci piring di Hotel Ambarukmo. Yogyakarta, kemudian diangkat jadi koki yang ditekuninya selama tujuh tahun. Pindah ke Srimanganti, kemudian bekerja di Hotel Kawanua (Manado), Soenarto akhirnya kembali lagi ke Srimanganti. Berkat pengalamannya sebagai juru masak itulah, sejak dua tahun lalu ia juga mengajar di Akademi Kepariwistaan Indonesia dan Sekoiah Menengah - Teknologi Kerumahtanggaan. "Pekerjaan di dapur agaknya sudah merupakan panggilan jiwa bagi saya," katanya mantap. Di rumah, ayah dari empat anak ini tak canggung-canggung pula terjun ke dapur. Dengan gaji Rp 150.000 per bulan, ditambah honor sebagai pengajar plus penghasilan istrinya sebagai pedagang telur, keluarga Petrus Soenarto hidup berkecukupan. Karyawan dapur di hotel-hotel memang harus menyuguhkan makanan terenak bagi tamu. Apalagi seperti kata Made Budiara Pendit, 29 tahun, asisten pimpinan dapur Hotel Hyatt Bumi, Surabaya, "40% keuntungan hotel ini datang dari bagian dapur." Barangkali itu scbabnya Budiara selalu gelisah bila hidangannya tak dimakan habis oleh tamunya. "Itu berarti masakan kami kurang disenangi. Harus dicari apa sebabnya," katanya. Karir Budiara: hanya dalam tempo tiga tahun naik lima tingkat. Mula-mula hanya sebagai koki biasa, lantas naik menjadi pengawas juru masak, kemudian naik dan naik lagi hingga sekarang menjadi wakil pimpinan dapur. Gajinya sudah ratusan ribu rupiah, tapi Budiara hidup dengan sederhana bersama istri dan dua anaknya. Sehari-hari, di rumah kontrakannya, Budiara lebih suka makan dengan sambal saja. Barangkali karena ia harus menanggung biaya hidup orang tua dan kelima adiknya yang tinggal di Bali. Lain lagi dengan Sofyan Djamil, 38 tahun. Meskipun mula-mula ia bercita-cita menjadi dokter, nasib menentukan lain. Ia kini menjadi kepala dapur Hotel Tiara, Medan. Sejak kecil, ketika orang tuanya membuka restoran di Banda Aceh, Sofyan sudah sering keluar-masuk dapur. Tamat SMA, ia merantau ke Bali dan bekerja di Bali Beach Hotel selama beberapa tahun. Setahun mengikuti latihan memasak, kini ia menguasai berbagai resep masakan asing. "Jadi juru masak enak. Bisa mengenal berbagai macam masakan asing," katanya. Akhir tahun lalu ia pindah ke Tiara, Medan. Menurut Sofyan, tamu-tamu asing lebih sering memuji hidangannya. "Sedang orang awak jarang melontarkan pujian, meskipun masakan sesuai dengan seleranya," katanya lagi. Pernah melayani Presiden Soeharto dalam acara KTT ASEAN 1976 di Bali, Sofyan juga bangga sering melayani pejabat-pejabat tinggi lainnya. Tapi ada satu hal yang membikin hatinya sedih. "Koki itu kan tidak ada pensiunnya," katanya. Karena itu, di masa tuanya kelak, ia ingin membuka restoran sendiri atau usaha catering. Sekarang Sofyan selalu menyisihkan sebagian dari gajinya yang Rp 350.000 untuk tabungan. Tidak semua koki pernah mendapat pendidikan khusus. Taslim Trisno misalnya, yang kini menjadi kepala juru masak Hotel Wisata Internasional, Jakarta. Ia lulusan Sekolah Teknik Negeri di Cepu jurusan Mesin. Awal 1960 merantau ke akarta dan menjadi tukang las. Pindah ke perusahaan lain, tetap sebagai tukang las, kemudian menjadi petugas keamanan di asrama karyawan Hotel Indonesia. Di situlah ia belajar memasak pada istri seorang karyawan hotel. MESKIPUN menguasai berbagai jenis masakan, Taslim (42 tahun) mengaku lebih suka memasak ayam panggang Klaten Dengan gaji Rp.175.000 dan tinggal di Perumnas Depok, ia bisa menghidupi kelima anaknya. Taslim agaknya kerasan bekerja di Hotel Wisata. Sebab banyak teman sekampungnya yang bekerja di sana. "Malah ada tiga orang kemanakan yang juga bekerja di sini," tambahnya. Berjam-jam di dekat tungku masak, kata Taslim, "tak ada pengaruh pada kesehatan saya. ' Sabil Alrasyid, 40 tahun, juga sudah senang memasak sejak kecil. "Dulu kalau ibu sakit tidak mau makan kalau bukan saya yang masak. Adik-adik saya yang perempuan malah jarang di dapur." kata orang Betawi itu dengan bangga. Sabil kini menjadi wakil pimpinan para juru masali Mandarin Hotel, Jakarta. Sebelumnya ia bekerja di beberapa hotel secara berpindah-pindah. "Dulu tahun 1978 yang melamar ke sini 25 orang, cuma saya yang diterima," katanya. Kini banyak keluarga VIP yang memesan masakannya. Ia menyebut beberapa nama pejabat tinggi. Ketika masih di Hotel Indonesia dulu, Bung Karno selalu memesan nasi putih dengan telur mata sapi khusus olahan Sabil. Petinju Moh. Ali, ketika menginap di HI, juga sering mencari Sabil sampai ke dapur. "Biasanya dia minta empat biji telur," kata Sabil. Dengan gaji Rp 40000, Sabil hidup tenteram bersama istri dan keempat anaknya. Ia tinggal di rumahnya sendiri di Kebayoran Lama. Tapi angan-angannya kini: ingin profesi koki dihargai orang, seperti halnya di luar negeri. "Di sana koki berbelanja ke pasar enak saja mengenakan seragamnya. Di sini bisa ditertawakan orang," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

PODCAST REKOMENDASI TEMPO

  • Podcast Terkait
  • Podcast Terbaru
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus