SELALU mengenakan seragam putih dengan topi meruncing ke atas,
sudah 15 tahun Made Swandi menjadi koki Bali Beach Hotel di
Sanur, Bali. Sejak kecil ia memang sering membantu ibunya yang
juga menjadi juru masak di sebuah hotel di kawasan Sanur. Tapi
kini, dalam usia 39 tahun, sekujur badannya sering terasa pegal
dan linu. "Seperti diserang rematik," katanya. "Mungkin karena
perubahan suhu udara di tempat saya bekerja," tambahnya. Swandi
bekerja di bagian pengolahan sop yang bertemperatur panas, tapi
dengan tugas itu pula setiap kali ia harus mengambil sayur-mayur
di ruangan bersuhu dingin.
Untuk mengurangi rasa sakitnya? Swandi sering keluar ruangan
menghirup udara segar dan mandi sinar matahari. Tapi ia tetap
saja kerasan bekerja di hotel besar itu, antara lain juga karena
sudah lima kali dialih-tugaskan. "Kalau bertugas di satu seksi
saja bisa bosan? ujar ayah dari dua anak itu. Dan kini dengan
gaji Rp 125.000 sebulan, ia tak ingin piridah ke bagian
lain--walau kesehatannya tidak mengizinkan. "Bakat saya memang
di sini. Kalau pindah malah kacau nanti," katanya. Meskipun di
lain kesempatan ia mengakui juga, "kalau terlalu lama di dapur
bisa kena ganguan jiwa." Sayang ia tak menjelaskan lebih lanjut
tentang gangguan kejiaan itu.
Sohiroen A.S, koki kepala di Hotel Saoy Homan Bandung, ingin
membantah peribahasa lama: "lain koki lain masakan. Itu
anggapan salah," katanya. Sebab, menurut dia, setiap koki akan
memasak (misalnya) rawon dengan cara dan rasa yang sama. "Kalau
rasanya tidak seperti rawon, ya namanya bukan rawon," katanya.
Barangkali soalnya, tambah koki ini, apakah orang yang meminta
rawon itu memang suka pada masakan itu atau tidak.
Berpanas-panas di dapur selama berjam-jam tak menjadi soal bagi
Sohiroen, 42 tahun. Bahkan, katanya, "pintu kamar tidur saya
siap diketuk di tengah malam sekalipun jika ada tamu minta
makan." Ia mengaku sudah begitu menyenangi pekerjaannya. Apalagi
hotel tempat ia bekerja menyediakan fasilitas perumahan dan
kesehatan yang cukup -- yang jarang terdapat di kebanyakan
hotel. Gaji? "Pokoknya cukup," jawabnya.
Ayah dari enam anak ini sebelumnya pernah bekerja di berbagai
hotel. Mula-mula sebagai koki biasa. Tapi barangkali karena
bahasa Inggrisnya cukup baik (ia mengaku pernah belajar di
Lembaga Indonesia-Amerika Jakarta sampai tingkat enam), hingga
ia kini menduduki jabatan koki kepala.
Jarot Surojo, suatu saat kelabakan. Koki kepala Kusuma Sahid
Prince Hotel di Sala itu, setiap hari harus menghidangkan lauk
ikan laut kepada seorang tamu istimewa. Padahal, kebetulan
pers--diaan ikan laut di beberapa pasar di kota itu sedang
habis. Sang tamu, Browne Walter, jago catur dunia dari AS, tidak
ambil peduli. "Pokoknya ingat, setiap hari saya mesti makan ikan
laut untuk merangsang otak agar bisa menang," ujar International
Grandmaster itu. Selama dua minggu, Februari lalu, Browne
menginap di hotel kelas satu di Kota Bengawan tersebut mengkuti
turnamen catur memperebutkan Piala Ny. Tien Soeharto.
Jarot semakin gusar setelah ia tahu sang juara suka ngambek.
Misalnya, Browne sama sekali tak mau menjamah makanannya, hanya
karena tidak disediakan ikan laut. Suatu hari turnamen harus
diundur sehari karena Browne mogok bermain: ia tidak menyukai
warna cat papan catur yang dipergunakan hari itu. Jarot pun
putar otak, berusaha membujuk tamunya. "Saya jamin nanti malam
tuan bakal makan ikan laut. Siang ini saya akan memilih yang
paling bagus untuk tuan agar tuan menang," bujuk Jarot. "Okey,"
ujar Browne mengangguk.
Siang itu juga Jarot, 39 tahun, memacu mobilnya, ngebut, ke
Semarang. Syukurlah, ia mendapatkan ikan laut yang bagus dan
masih segar. "Dan Browne menang, memboyong Piala Ibu Tien. Tapi
saya sendiri tidak tahu apakah kemenangan itu memang karena ikan
laut, ataukah karena memang otak Browne yang cerdas," cerita
Jarot sambil tertawa. Sementara sang juara menikmati hidangan
makannya, beberapa saat setelah pembagian piala, Jarot
mendekati. "Congratulation, Sir. Kemenangan tuan tentu karena
ikan laut, bukan?" katanya. Browne tertawa terbahak-bahak "Thank
you. Pelayanan anda tak akan saya lupakan."
Dibantu tujuh orang tukang masak, setiap hari Jarot
mempersiapkan masakan buat tamu-tamunya -- 60% masakan Indonesia
(khas Sala seperti nasi liwet, timlo, pecel, sate buntel) dan
40% masakan Eropa. Tapi ia mengaku berdiang di dekat api sama
sekali tak ada pengaruh pada dirinya. "Kalau kepanasan, ya
berkipas-kipas sebentar di luar dapur," ucap Jarot.
Mula-mula bekerja di Miraca Sky Club Surabaya, Jarot kemudian
pindah ke Mirama Hotel di kota yang sama, sambil mengikuti
kuliah di Aperta (Akademi Perhotelan dan Pariwisata). Dan empat
tahun lalu arek Suroboyo itu pindah ke Kusuma Sahid Prince
Hotel. Para karyawan hotel biasanya memang suka pindah dari satu
hotel ke hotel lain untuk mendapatkan kedudukan dan penghasilan
yang lebih tinggi. Jarot sendiri enggan menyebut jumlah
pendapatannya Pokoknya cukup untuk menghidupi tiga anaknya,
apalagi istrinya membantu dengan berjualan kain batik.
Jarot pernah sial. Suatu hari ia dan kawan-kawannya mengantar
hidangan masakan khas Sala ke sebuah pesta dengan sebuah mobil.
Di tengah jalan, karena terburu-buru, kendaraan itu slip dan
terperosok ke parit. Tak ada korban jiwa. "Tapi kami semua mandi
sambel goreng," tuturnya sambil tertawa terbahak-bahak. Karena
hampir seluruh masakan tidak bisa lagi dimakan, mereka terpaksa
kembali ke hotel, memasak lagi.
Jadi karyawan hotel bagian dapur, apalagi juru masaknya,
tampaknya enak. Seperti kata Petrus Soenarto, 40 tahun, Kepala
Bagian Makanan dan Minuman Hotel Srimanganti di Yogyakarta,
"setiap hari dapat makanan bergizi tinggi."Itu tidak berarti ia
boleh seenaknya membawa makanan pulang. Para karyawan, di hotel
mana saja, dilarang berbuat demikian. Mereka selalu diperiksa
oleh petugas keamanan setiap kali hendak pulang.
Setiap hari Soenarto dibantu delapan juru masak menyiapkan
paling kurang 30 jenis makanan dan minuman buat tamu-tamu hotel.
Soenarto dikenal sebagai spesialis masakan Eropa. "Masakan Barat
itu lebih kompleks, lebih sulit dibanding masakan Jepang atau
Cina. Untuk mempelajarinya minimal dibutuhkan waktu tiga tahun,"
katanya. Pernah kuliah di Fakultas Bioloi UGM. karirna dimulai
sebagai pencuci piring di Hotel Ambarukmo. Yogyakarta, kemudian
diangkat jadi koki yang ditekuninya selama tujuh tahun. Pindah
ke Srimanganti, kemudian bekerja di Hotel Kawanua (Manado),
Soenarto akhirnya kembali lagi ke Srimanganti.
Berkat pengalamannya sebagai juru masak itulah, sejak dua tahun
lalu ia juga mengajar di Akademi Kepariwistaan Indonesia dan
Sekoiah Menengah - Teknologi Kerumahtanggaan. "Pekerjaan di
dapur agaknya sudah merupakan panggilan jiwa bagi saya,"
katanya mantap. Di rumah, ayah dari empat anak ini tak
canggung-canggung pula terjun ke dapur. Dengan gaji Rp 150.000
per bulan, ditambah honor sebagai pengajar plus penghasilan
istrinya sebagai pedagang telur, keluarga Petrus Soenarto hidup
berkecukupan.
Karyawan dapur di hotel-hotel memang harus menyuguhkan makanan
terenak bagi tamu. Apalagi seperti kata Made Budiara Pendit, 29
tahun, asisten pimpinan dapur Hotel Hyatt Bumi, Surabaya, "40%
keuntungan hotel ini datang dari bagian dapur." Barangkali itu
scbabnya Budiara selalu gelisah bila hidangannya tak dimakan
habis oleh tamunya. "Itu berarti masakan kami kurang disenangi.
Harus dicari apa sebabnya," katanya.
Karir Budiara: hanya dalam tempo tiga tahun naik lima tingkat.
Mula-mula hanya sebagai koki biasa, lantas naik menjadi pengawas
juru masak, kemudian naik dan naik lagi hingga sekarang menjadi
wakil pimpinan dapur. Gajinya sudah ratusan ribu rupiah, tapi
Budiara hidup dengan sederhana bersama istri dan dua anaknya.
Sehari-hari, di rumah kontrakannya, Budiara lebih suka makan
dengan sambal saja. Barangkali karena ia harus menanggung biaya
hidup orang tua dan kelima adiknya yang tinggal di Bali.
Lain lagi dengan Sofyan Djamil, 38 tahun. Meskipun mula-mula ia
bercita-cita menjadi dokter, nasib menentukan lain. Ia kini
menjadi kepala dapur Hotel Tiara, Medan. Sejak kecil, ketika
orang tuanya membuka restoran di Banda Aceh, Sofyan sudah sering
keluar-masuk dapur. Tamat SMA, ia merantau ke Bali dan bekerja
di Bali Beach Hotel selama beberapa tahun. Setahun mengikuti
latihan memasak, kini ia menguasai berbagai resep masakan asing.
"Jadi juru masak enak. Bisa mengenal berbagai macam masakan
asing," katanya.
Akhir tahun lalu ia pindah ke Tiara, Medan. Menurut Sofyan,
tamu-tamu asing lebih sering memuji hidangannya. "Sedang orang
awak jarang melontarkan pujian, meskipun masakan sesuai dengan
seleranya," katanya lagi.
Pernah melayani Presiden Soeharto dalam acara KTT ASEAN 1976 di
Bali, Sofyan juga bangga sering melayani pejabat-pejabat tinggi
lainnya. Tapi ada satu hal yang membikin hatinya sedih. "Koki
itu kan tidak ada pensiunnya," katanya. Karena itu, di masa
tuanya kelak, ia ingin membuka restoran sendiri atau usaha
catering. Sekarang Sofyan selalu menyisihkan sebagian dari
gajinya yang Rp 350.000 untuk tabungan.
Tidak semua koki pernah mendapat pendidikan khusus. Taslim
Trisno misalnya, yang kini menjadi kepala juru masak Hotel
Wisata Internasional, Jakarta. Ia lulusan Sekolah Teknik Negeri
di Cepu jurusan Mesin. Awal 1960 merantau ke akarta dan menjadi
tukang las. Pindah ke perusahaan lain, tetap sebagai tukang las,
kemudian menjadi petugas keamanan di asrama karyawan Hotel
Indonesia. Di situlah ia belajar memasak pada istri seorang
karyawan hotel.
MESKIPUN menguasai berbagai jenis masakan, Taslim (42
tahun) mengaku lebih suka memasak ayam panggang Klaten Dengan
gaji Rp.175.000 dan tinggal di Perumnas Depok, ia bisa
menghidupi kelima anaknya. Taslim agaknya kerasan bekerja di
Hotel Wisata. Sebab banyak teman sekampungnya yang bekerja di
sana. "Malah ada tiga orang kemanakan yang juga bekerja di
sini," tambahnya. Berjam-jam di dekat tungku masak, kata Taslim,
"tak ada pengaruh pada kesehatan saya. '
Sabil Alrasyid, 40 tahun, juga sudah senang memasak sejak kecil.
"Dulu kalau ibu sakit tidak mau makan kalau bukan saya yang
masak. Adik-adik saya yang perempuan malah jarang di dapur."
kata orang Betawi itu dengan bangga. Sabil kini menjadi wakil
pimpinan para juru masali Mandarin Hotel, Jakarta. Sebelumnya ia
bekerja di beberapa hotel secara berpindah-pindah. "Dulu tahun
1978 yang melamar ke sini 25 orang, cuma saya yang diterima,"
katanya. Kini banyak keluarga VIP yang memesan masakannya. Ia
menyebut beberapa nama pejabat tinggi.
Ketika masih di Hotel Indonesia dulu, Bung Karno selalu memesan
nasi putih dengan telur mata sapi khusus olahan Sabil. Petinju
Moh. Ali, ketika menginap di HI, juga sering mencari Sabil
sampai ke dapur. "Biasanya dia minta empat biji telur," kata
Sabil. Dengan gaji Rp 40000, Sabil hidup tenteram bersama
istri dan keempat anaknya. Ia tinggal di rumahnya sendiri di
Kebayoran Lama. Tapi angan-angannya kini: ingin profesi koki
dihargai orang, seperti halnya di luar negeri. "Di sana koki
berbelanja ke pasar enak saja mengenakan seragamnya. Di sini
bisa ditertawakan orang," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini