Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Praktisi kesehatan masyarakat dr. Ngabila Salama mengingatkan bahaya penggunaan jarum pada penularan HIV/AIDS. Pada jarum tajam seperti jarum suntik, penggunaan yang dilakukan secara bergantian dapat meningkatkan risiko terkena HIV, terutama jika jarum digunakan di kalangan pengguna narkotika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Berhati-hati terhadap jarum tajam dan jarum tumpul sangat penting untuk mencegah penularan HIV/AIDS karena HIV dapat menyebar melalui kontak langsung dengan darah yang terkontaminasi,” kata Ngabila, Rabu, 4 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Risiko juga dapat datang dari jarum tajam yang tidak steril seperti yang digunakan dalam prosedur medis atau pembuatan tato. Jika jarum tajam tidak dibuang dengan benar, orang lain bisa terkena saat membuang sampah atau menginjaknya.
Menurutnya, pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan jarum hanya sekali pakai (disposable syringe). Jarum suntik yang digunakan pun harus dipastikan steril dari apapun sebelum digunakan. Tidak disarankan berbagi jarum suntik, bahkan dengan orang yang terlihat sehat.
“Buang jarum tajam di tempat pembuangan khusus untuk menghindari kecelakaan,” katanya.
Hubungan seksual berisiko
Ngabila juga menambahkan penularan HIV/AIDS juga dapat terjadi melalui hubungan seksual yang berisiko. Contohnya berhubungan tanpa kondom, yang meningkatkan risiko penularan, terutama jika salah satu pasangan terinfeksi. Hubungan seksual anal juga berisiko karena jaringan di rektum lebih rentan terhadap luka dibanding jaringan di vagina.
Ia mengatakan penularan HIV melalui hubungan seksual yang berisiko terjadi ketika ada pertukaran cairan tubuh yang terinfeksi seperti air mani, cairan vagina, cairan rektal, atau darah yang masuk ke tubuh pasangan melalui mukosa, yakni lapisan di vagina, penis, anus, mulut, atau luka terbuka. Penularan lebih tinggi jika pasangan yang terinfeksi memiliki jumlah virus dalam darah yang tinggi (viral load).
Jenis hubungan lain yang berisiko adalah sering berganti pasangan. Ngabila menjelaskan dalam hubungan itu kemungkinan berinteraksi dengan orang yang terinfeksi HIV akan meningkat, terutama jika status HIV keduanya tidak diketahui.
“Berhubungan seksual dengan pasangan yang tidak diketahui status HIV-nya akan meningkatkan risiko, apalagi kalau mereka sudah tertular dan tidak menjalani terapi antiretroviral,” ujarnya.
Ia juga menyebut adanya luka atau infeksi menular seksual (IMS) dapat memicu penularan. Luka di area genital atau infeksi seperti sifilis, herpes, atau gonore dapat mempermudah virus masuk ke dalam tubuh, termasuk ketika pasangan sedang menstruasi.
Karena itu, ia menganjurkan pasangan yang ingin melakukan hubungan seksual untuk menggunakan kondom dengan benar. Kondom lateks atau poliuretan sangat efektif dalam penularan HIV jika digunakan dengan benar setiap kali berhubungan seksual. Kemudian deteksi dini dapat dilakukan melalui rutin menjalani tes HIV, terutama jika memiliki pasangan baru atau beberapa pasangan seksual. Sedangkan bagi penderita dapat menjalani terapi antiretroviral (ART).
“Penularan HIV melalui hubungan seksual dapat dicegah dengan langkah-langkah sederhana namun konsisten. Edukasi dan akses terhadap alat pencegahan seperti kondom dan profilaksis prapajanan (PrEP) sangat penting untuk melindungi diri dan pasangan,” tegas Ngabila.
Pilihan Editor: Macam Obat yang Direkomendasikan untuk HIV atau AIDS