Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Filosofi tumpeng merupakan deskripsi keadaan geografis Tanah Air yang banyak dikitari pegunungan. Dulunya sajian sakral ini dipakai untuk memuliakan permukaan bumi yang menjulang lebih tinggi dibandingkan dengan dataran sekitarnya. Gunung pun dijadikan sebagai tempat bersemayang para arwah leluhur atau biasa disebut Hyang. Fakta tersebut ditilik dari buku Bali Bukan India.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyebutan tumpeng merupakan singkatan dari yen metu kudu sing mempeng. Punya makna bahwa jika hidup harus dengan kesungguhan. Di sekitar tumpeng biasanya nasi kuning dilengkapi dengan lauk-pauk, sekitar tujuh macam. Hal ini dimaksudkan sebagai wujud pitulungan atau mohon pertolongan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada versi lain, arti dari aneka sayur dan lauk pauk mengandung arti kehidupan di bumi. Mendeskripsikan simbol ekosistem kehidupan. Bentuk kerucut tumpeng berarti keaguangan Tuhan. Alam tumbuhan digambarkan dengan sayuran. Lauk-pauk seperti, ikan, daging sapi, kambing mengisyaratkan kondisi alam hewan. Misalnya ikan asin artinya gotong royong, telur rebus artinya tekad yang bulat. Sedangkan kehidupan manusia digambarkan dengan nasi itu sendiri.
Lebih detail bahkan warna nasi tumpeng punya makna berbeda. Jika warnanya putih, melambangkan kesucian, nah sedangkan warna kuning mengartikan kekayaan dan moral yang luhur.
Cara memotong tumpeng pun menyimpan arti. Puncaknya mesti dipotong oleh orang yang dihormati atau dituakan, selanjutnya orang-orang yang punya hajat yang baik. Hingga kini, filosofi tumpeng tetap menyimpan eksistensinya sebagai sajian sakral tanda wujud syukur kepada Sang Pencipta.
RAUDATUL ADAWIYAH NASUTION