Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah Putu Budiastawa tak seburam setahun lalu. Dulu, kedua pipinya begitu cekung. Badannya juga kurus kerempeng. Tapi kini tanda-tanda kehidupan menyebar di seluruh tubuhnya. Matanya lebih cerah, badannya pun lebih berisi. "Saya sudah bebas," ujarnya sembari tersenyum lebar. Ditemui di Klinik Program Rumatan Metadon Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, pekan lalu, Budiastawa tak pelit berbagi kisah.
Semua berawal sebelas tahun lalu, ketika ia bekerja sebagai sopir pribadi seorang warga Italia. Ternyata, si Italia adalah bandar narkotik. Sejak itu, segala jenis narkotik ia coba. Kalaupun persediaan sang majikan habis, ia bisa membelinya dengan dolar dari majikannya yang begitu royal.
Lalu, datanglah malapetaka itu. Majikannya ditangkap polisi, guyuran narkoba dan dolar pun terhenti. Otak yang telanjur kecanduan membuatnya gelap mata. Barang-barang pribadi, kendaraan, dan tanah keluarga ia lego demi memenuhi kecanduannya. Puncaknya, awal tahun lalu, ia dipaksa mondok selama sebulan di Rumah Sakit Jiwa Bangli.
Sembuh? "Tidak. Waktu keluar, otak saya kembali ke putau," kata Putu. Untunglah, ada dokter yang menyarankannya terapi jenis baru: terapi rumatan metadon. Putu setuju. Ia pun patuh menjalani terapi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar. Sejak itu, kehidupan normal mulai ia jalani. "Terapi yang kami tawarkan ibarat mengobati kecanduan narkoba dengan narkoba," kata Ni Nyoman Hanati, psikiater di Sanglah.
Di negara maju, terapi metadon sebenarnya sudah dikenal sejak 1960-an. Di Indonesia, terapi yang berpijak pada pendekatan harm reductionalias meminimalkan mudarat, bukannya menghentikan pemakaian narkotik secara langsungini belum populer. Di RSUP Sanglah sendiri, klinik terapi baru dibuka Februari 2003. Ini pun atas budi baik Badan Kesehatan Dunia (WHO). Saat itu, WHO menunjuk RSUP Sanglah sebagai pelaksana proyek percontohan terapi metadon di Indonesia.
Ketika diluncurkan, klinik metadon Sanglah sempat sepi peminat. Untung ada sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang ikut membantu. Yayasan Hatihati, yang lama berkecimpung dalam pendampingan korban narkotik, misalnya, mengirim satu per satu "anak asuh"-nya ke Sanglah.
Fasilitas yang tersedia pun sangat minim. Di Sanglah, klinik rumatan metadon masih menempel di bekas gudang rumah sakit. Gudang yang tak terpakai disulap jadi lima ruang konsultasi dan satu ruang pertemuan. Untuk melayani sekitar 90 pasien, hanya 14 petugas yang bergiliran jaga, termasuk dua dokter umum, dua psikiater, dan seorang apoteker.
Pada prinsipnya, terapi metadon bekerja dengan mengurangi masalah secara bertahap. Dengan metode ini, para pengidap tak langsung dilarang bersentuhan dengan narkotik. Mereka malah diberi obat substitusi (metadon) dan dibimbing untuk mengubah pola pemakaiannya.
Pemilihan metadon sebagai substitusi tak terlepas dari kelebihan zat depresan ini. Metadon, yang masih saudara serumpun heroin, morfin, dan codeine, punya efek dalam tubuh yang lebih panjang. Sementara efek heroin hanya bertahan enam jam, efek metadon bisa bertahan 24 sampai 36 jam. Karena efeknya lebih lama, metadon bisa mengulur-ulur datangnya gejala fisik putus obat (sakau/withdrawal).
Dibanding jenis narkotik lain, metadon juga lebih aman. Metadon punya efek detoksifikasi, bisa menguras racun di tubuh yang sempat ditimbun jenis narkotik lainnya. Memang sejumlah pasien melaporkan beberapa efek samping metadon. Misalnya, keringat berlebihan, mengantuk, sulit tidur, masalah seksual, pembesaran pupil, atau kelebihan berat badan. Hanya, selama dosisnya terjaga, efek samping ini tak berbahaya.
Terapi metadon yang diberikan secara oral, tidak lewat suntikan, punya nilai lebih. Dengan cara ini, penularan penyakit lewat jarum suntik, seperti HIV/AIDS, hepatitis B, dan hepatitis C, bisa ditekan. Karena itu, di beberapa negara maju, terapi metadon jadi pilihan utama pencegahan penularan HIV/AIDS di kalangan pemakai narkotik.
Proses terapi metadon tidaklah rumit. Pil metadon yang pahit digerus, lalu dilarutkan dalam sirup atau jus buah-buahan. Untuk tahap awal, pasien diberi metadon cair dengan dosis 20 miligram per hari. Setiap tiga hari, reaksi tubuh pasien dievaluasi apakah dosisnya pas atau tidak.
Soal dosis ini perlu benar-benar diawasi. Jika tidak, pasien bisa balik ketagihan metadon atau bahkan overdosis. Apalagi dosis untuk setiap pasien berbeda. Ini biasanya dipengaruhi sejarah ketergantungan, perubahan emosi, kondisi fisik, atau penyakit yang diderita pasien. Dengan cara coba-coba ini, dosis yang benar-benar pas biasanya baru diketahui sekitar sebulan. Enam bulan berikutnya, dosis metadon untuk pasien diharapkan stabil dan sedikit demi sedikit dikurangi. Jika semuanya berjalan sesuai dengan rencana, setelah satu tahun menjalani terapi, pasien diharapkan "lulus" alias bebas dari ketergantungan.
Masalah paling pelik, menurut Hanati, sering terletak pada ketidakdisiplinan pasien. Evaluasi terakhir di Sanglah, misalnya, dari 129 peserta terapi yang sempat mendaftar, kini hanya tersisa 90 orang, selebihnya drop out. Dari yang bertahan, baru lima orang yang benar-benar sembuh. "Rupanya, banyak pasien yang tak cukup sabar untuk datang setiap hari ke rumah sakit," kata Hanati. Dalam kasus lain, ada saja pasien yang tak tahan dengan dosis yang telah disesuaikan di rumah sakit.
Biaya pun rupanya jadi masalah sendiri. Sejauh ini, WHO hanya menyediakan bantuan untuk obat metadon. Itu pun hanya untuk 100 pasien. Sedangkan biaya administrasi dan jasa dokter masih ditanggung rumah sakit. Ujung-ujungnya, pasien juga yang kena. Setiap kali datang, pasien harus merogoh koceknya sekitar Rp 25 ribu. Biaya obatnya sendiri hanya Rp 3.000. Tapi, peserta terapi masih harus membayar pendaftaran dan sejumlah biaya administrasi. "Ini sebenarnya masih murah. Tapi ada saja pasien yang tak bisa bayar," kata Hanati. Di Amerika, ongkos terapi ini sekitar Rp 40 juta per tahun, atau lebih dari Rp 100 ribu per hari.
Bagaimana dengan dukungan pemerintah Indonesia? "Pemerintah jelas punya komitmen," kata Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, Prof. Dr. Umar Fahmi Achmadi. Apalagi, saat ini ada pergeseran luar biasa dalam pola persebaran penyakit menular HIV/AIDS.
Dulu, penularan HIV/AIDS lebih banyak melalui perilaku seks menyimpang. Kini, ada kecenderungan HIV/AIDS menyebar melalui jarum suntik yang dipakai para penyalah-guna narkotik, psikotropika, dan zat adiktif (napza). Dari sekitar 3.000 pengidap HIV/AIDS yang tercatat, 23,8 persennya tertular lewat napza suntik. Nah, kata Umar, terapi metadon punya dua target sekaligus: rehabilitasi pecandu napza dan pencegahan pemakaian jarum suntik yang tercemar.
Hanya, saat ini fokus pemerintah masih pada penanganan HIV/AIDS secara umum. Maklum, menurut Umar, pemerintah terikat oleh kesepakatan global. Tahun 2005, di Indonesia harus ada 10 ribu pasien HIV/AIDS yang punya akses pengobatan antiretroviralobat generik untuk mempertahankan kekebalan penderita HIV/AIDS. "Untuk terapi metadon, kita baru evaluasi, belum ada rencana perluasan," kata dia.
Ya, jangankan menangani pecandu narkotik, menjamin kesehatan bayi-bayi keluarga miskin saja pemerintah belum bisa.
Jajang Jamaludin, Raden Rachmadi (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo