Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Individu dan Jajak Pendapat (Menanggapi Emmanuel Subangun)

17 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saiful Mujani Direktur Riset Politik Freedom Institute dan peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI)

Kolom Emmanuel Subangun di mingguan ini minggu lalu, tentang jajak pendapat untuk studi politik Indonesia, menarik untuk didiskusikan lebih jauh. Ia mengatakan bahwa "unit terkecil pada polity kita tidak pernah individual. Subyek politik (individu) akan ikut pada patron—keluarga, peers group, atau siapa pun." Sifat dasar dari unit polity kita semacam ini, menurut Emmanuel, terkait dengan sifat masyarakat kita yang lebih kompleks daripada masyarakat Amerika, Eropa Barat, Jepang, dan lain-lain. Ia percaya bahwa "individualitas" kita dan Amerika berbeda, dan karena itu jajak pendapat yang menjadikan individu sebagai unit untuk analisisnya lebih cocok untuk masyarakat Amerika ketimbang masyarakat Indonesia. Lebih jauh dikatakan bahwa di Amerika, dibandingkan dengan kita, "tidak ada jarak antara politik dan struktur sosial-ekonomi".

Pendapat Emmanuel tersebut mungkin benar, dan mungkin juga tidak. Kita hanya bisa tahu secara lebih yakin bila proposisi-proposisi itu didasarkan atas bukti empiris yang solid. Masalahnya, studi sistematis untuk menguji klaim-klaim tersebut untuk kasus individu Indonesia masih sangat terbatas. Namun, dari pengalaman saya dalam lima tahun terakhir melakukan studi tentang perilaku politik "individu" Indonesia, saya belum menemukan "perilaku politik yang aneh" dari individu-individu Indonesia tersebut. Tiga model perilaku pemilih (electoral behavior) yang umum dikenal mahasiswa yang bergelut dalam studi perilaku politik di mana-mana—model sosiologis, psikologis, dan ekonomi politik (rational choice)—cukup membantu menjelaskan perilaku politik individu kita. Jajak pendapat adalah metode yang bisa membantu merealisasi model-model itu secara empiris.

Tentu saja jajak pendapat harus didesain sedemikian rupa sehingga sensitif terhadap konteks dan berbagai variabel penting. Ini adalah tuntutan penting bukan saja bagi masyarakat kita tapi juga masyarakat lain seperti Amerika atau negara Eropa Barat. Walaupun variabel penting dalam sebuah riset harus masuk dalam kerangka sampling kita, dalam prakteknya di mana pun hampir tidak mungkin kita melakukan inklusi semua variabel penting tersebut, yang biasa dilakukan lewat stratifikasi.

Untuk memasukkan sebuah variabel ke dalam kerangka sampling, kita harus punya informasi akurat tentang populasi yang terkait dengan variabel tersebut. Informasi ini biasa diperoleh lewat sensus—sesuatu yang meski sudah dilakukan tapi tidak mencakup semua hal signifikan dalam politik. Sensus yang ada, misalnya, hanya menyajikan informasi tentang tingkat partisipasi dalam pemilu, pilihan partai di antara mereka yang berpartisipasi, atau faktor demografis seperti gender, suku bangsa, agama, umur, pendidikan, dan pekerjaan.

Dengan kerangka sampling dan metode yang biasa digunakan dalam studi perilaku politik di banyak negara di dunia—baik dari belahan yang sudah maju (Amerika dan Eropa Barat) maupun yang masih berkembang (negara-negara Afrika, Asia, Amerika Latin, Eropa Timur, dan lain-lain) seperti yang dilakukan World Value Survey atau Comparative National Election Project—saya yakin bahwa studi komparatif tentang perilaku politik lintas bangsa dan budaya dimung-kinkan.

Setidaknya itu yang menjadi keyakinan umumnya praktisi riset program perilaku politik. Karya kesarjanaan yang berkualitas tinggi tentang masalah ini sudah sangat maju. Perdebatan tentang perbedaan individualitas karena perbedaan kultural atau historis sudah lama berlangsung, dan masih menjadi perhatian penting para filsuf ilmu politik. Tapi, kalau kita masih berkutat pada tingkat asumsi filosofis, ilmu politik kita tidak pernah punya kesempatan untuk menguji dirinya di dunia empiris, dan karena itu sulit punya riset program yang maju.

Pertanyaan sentral dalam tradisi perilaku pemilih, sebagai bagian dari perilaku politik, adalah kenapa seorang warga ikut serta dalam pemilu padahal kalaupun tidak ikut ia akan sama-sama menikmati hasil pemilu tersebut tanpa ia harus mengeluarkan ongkos apa pun (waktu, tenaga, dan lain-lain). Pertanyaan penting lainnya adalah kenapa seseorang memilih partai atau calon tertentu, bukan partai atau calon yang lain. Kalau kita mengabaikan individualitas Indonesia, pertanyaan yang penting seperti itu tidak pernah terjawab.

Kesarjanaan ilmu politik Indonesia sampai hari ini pada umumnya memang tidak mampu memberikan jawaban sistematis terhadap masalah tersebut, karena kesarjanaan politik Indonesia pada umumnya lahir dalam konteks politik yang tidak relevan untuk menjawab pertanyaan perilaku politik semacam itu. Politik otokrasi yang mendominasi sejarah politik Indonesia bertanggung jawab pada ada dan tidaknya pertanyaan riset semacam itu. Dalam Orde Baru, misalnya, pemilu yang dilakukan tidak punya arti, dan karena itu studi tentang perilaku pemilih menjadi tidak penting.

Di alam politik yang relatif demokratis seperti sekarang ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penting. Individu menjadi penting sebab ia yang menentukan keputusan politik seperti siapa yang boleh jadi pejabat publik dan siapa yang tidak boleh, partai mana yang boleh atau tidak boleh berkuasa. Gabungan antara model sosiologis, psikologis, dan ekonomi-politik yang bertumpu pada individu sebagai unit analisisnya menjawab pertanyaan-pertanyaan riset tersebut, termasuk dalam kasus individu Indonesia. Tiga model yang bertumpu pada individu sebagai unit analisisnya inilah yang menandai "revolusi" dalam studi ilmu politik modern sekitar 50 tahun lalu. Ilmu politik kita memang tidak menjadi bagian dari revolusi itu.

Model perilaku pemilih tersebut sangat terbantu oleh jajak pendapat sebagai metode dan teknik. Namun harus disadari bahwa jajak pendapat dan statistik hanyalah alat untuk kepentingan teoretis dan praktis, walaupun perannya sangat vital.

Sejauh pengetahuan saya, untuk kasus individu Indonesia, model sosiologis, yang merupakan model yang paling kuno dalam tradisi studi perilaku pemilih, masih berguna untuk menjelaskan perilaku pemilih kita walaupun kekuatannya tidak sehebat yang diasumsikan oleh banyak studi antropologis sebelumnya. Ide bahwa individu Indonesia bergantung pada pola-pola hubungan patron-klien sehingga individu Indonesia tidak bisa dijadikan unit analisis politik menjadi kurang tepat. Studi Karl Jackson tentang partisipasi politik atau partisipasi dalam pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat adalah contoh bagaimana konsep patron-klien dan ketergantungan pada kepemimpinan tradisional dijelaskan lewat individu sebagai unit analisisnya.

Tidak ada hambatan intrinsik ketika kita menjadikan individu sebagai unit analisis untuk menunjukkan sejauh mana patron-klien merupakan faktor penting yang mempengaruhi perilaku politik individu. Patron-klien bukan gejala khas politik kita. Ia bisa ditemukan dalam masyarakat lain.

Sementara itu, model psikologis, terutama identifikasi diri dengan partai atau dengan tokoh partai, yang merupakan model yang sangat dominan dalam studi perilaku pemilih sampai hari ini, lebih membantu lagi untuk menjawab masalah perilaku pemilih tersebut (Liddle dan Mujani, 2004). Identifikasi diri dengan partai terutama membantu menjelaskan kontinuitas dan stabilitas dukungan terhadap partai politik. Kasus bertahannya partai lama seperti PPP, PDI Perjuangan, dan Golkar sebagian dapat dijelaskan dengan model ini.

Namun faktor psikologis ini, yang merupakan hasil sosialisasi politik yang kompleks dari individu dalam masyarakat, kurang banyak membantu menjelaskan perubahan dukungan jangka pendek kecuali memasukkan unsur ketertarikan pada tokoh-tokoh politik yang terkait dengan partai bersangkutan.

Dalam konteks ini citra tentang personalitas tokoh di mata pemilih berpengaruh pada perilaku pemilih. Perubahan kepemimpinan di partai dan perubahan citra tokoh bersangkutan dapat mengubah dukungan terhadap partai terkait. Data jajak pendapat yang saya miliki menunjukkan pola seperti ini, seperti juga dapat ditemukan dalam studi-studi dari masyarakat lain.

Di samping itu, penjelasan tentang perubahan dukungan terhadap partai politik, atau terhadap seseorang yang mencalonkan diri menjadi presiden, misalnya, juga dibantu oleh faktor ekonomi politik. Dalam perspektif ini, seorang pemilih berperilaku rasional dan egois. Ia cenderung akan memilih partai atau calon presiden yang berkuasa di pemerintahan (incumbent) apabila merasa keadaan ekonomi rumah tangga orang tersebut (retrospektif-egosentrik) atau ekonomi nasional (retrospektif-sosiotropik) pada masa pemilu lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Sebaliknya, ia akan menghukumnya dengan tidak memilih jika keadaan ekonomi tidak lebih baik.

Dalam kasus pemilu legislatif April lalu, model ini terutama membantu menjelaskan cukup besarnya dukungan terhadap PKS dan Partai Demokrat dibandingkan dengan menurunnya dukungan terhadap PDI Perjuangan. Mereka ini mencari harapan baru pada partai-partai yang belum banyak berkiprah di pemerintahan Megawati, seperti PD dan PKS tersebut. Na-mun model ekonomi politik ini belum menunjukkan kekuatannya secara optimal. Sebabnya bukan karena individualitas Indonesia berbeda dengan individualitas Amerika atau Eropa Barat, tapi lebih pada konteks kelembagaan politik yang rumit, yakni kaburnya perbedaan antara partai penguasa dan partai oposisi dalam Kabinet Gotong-Royong Megawati sehingga mekanisme reward and punishment tidak mudah berjalan. Ini berkaitan dengan sistem kepartaian dan politik kita yang terfragmentasi, jadi bukan persoalan individualitas Indonesia. Namun, di tengah-tengah keruwetan kelembagaan politik ini, individualitas Indonesia masih menunjukkan maknanya dalam perilaku politik mereka yang rasional dan egois, seperti halnya individualitas di banyak masyarakat lain di dunia.

Temuan-temuan empiris itu menunjukkan bahwa tiga model perilaku pemilih yang dominan dalam kesarjanaan mutakhir bukanlah hasil kerja intelektual yang sia-sia, yang tidak relevan dengan individu Indonesia. Model-model itu sangat bertumpu pada pengukuran dan jajak pendapat yang dilakukan dengan benar. Karena itu kualitas jajak pendapat kita harus terus ditingkatkan dengan bertumpu pada landasan teori perilaku politik yang memadai, bukan dengan mempersoalkan mungkin dan tidak mungkinnya menjadikan individu Indonesia sebagai unit analisis studi politik. Cultural studies dan postmodernism memang masih berkutat dengan masalah perbedaan individualitas antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya. Studi politik Indonesia masih belum banyak beranjak dari situ, dan ini membuat studi politik Indonesia selama ini masih terbelakang, berada di pinggiran perkembangan dan dinamika ilmu politik mutakhir. Mudah-mudahan generasi baru ilmuwan politik kita segera lahir dan membebaskan ilmu politik kita dari keterbelakangan tersebut. Setidak-tidaknya menyadari bahwa ada pluralisme dalam teori dan pendekatan studi politik, dan menyadari bahwa ilmu politik di luar sana sudah lebih berkembang. Dalam demokrasi seperti yang sedang kita jalani sekarang ini, individu Indonesia dan studi tentangnya harus mendapat perhatian secara sungguh-sungguh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus