Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Membenahi 100 kasus malapraktek

Berbagai kasus malapraktek dibahas dalam rakernas di bandungan, ambarawa. mengingat rumitnya persoalan rakernas memandang perlu lafal & etik kedokteran diketahui oleh masyarakat luas.

18 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDRIANI Theresia kini telah berusia tiga tahun. Anda tentu masih ingat, bocah ini adalah korban malapraktek 1 1/2 tahun lalu. Kelincahannya, matanya -- sebelum dioperasi yang berbinar-binar, telah sirna. Andriani bukan lagi Kadis cilik yan dulu meramaikan rumah orangtuanya. Kondisi fisiknya jauh dari sempurna: kedua mata tak bercahaya (tak mampu melihat?) dan kaki kanan buntung. Andriani sungguh sengsara, lunglai bagaikan boneka. Dengan wajah yang tanpa ekspresi, ia tergolek di tempat tidur, sekali-sekali menggerakkan tangannya, minta sesuatu. Alangkah malang! Orangtuanya sampai kini tak tahu bencana apa yang menimpa Andriani, ketika anak itu dioperasi matanya di RS Aini. Dan pertanyaan siapa yang bertanggung jawab, sampai kini belum terjawab. "Saya mau berbuat, tapi tak tahu harus ke mana lagi," kata Harijadi, ayah Andriani, pasrah. Ketika ia minta pertanggungjawaban pada RS Mata Aini, jawaban yang diterimanya bernada defensif. Para dokter mengaku sudah menjalankan prosedur yang lain, jadi, "tak bersalah apa-apa," begitu kesan yang diperoleh Harijadi. "Padahal, anak saya jelas sudah cacat," keluhnya dalam. Tapi pengusaha interior ini tak putus asa. Ia menuntut ke pengadilan, lewat pengacara O.C. Kaligis. Di sini pun ia terbentur jalan buntu. "Sekarang saya hanya diam saja. Hingga kini tak ada kabar beritanya," kata Harijadi datar. Tragedi Andriani hanya salah satu contoh kasus malapraktek yang masih belum tuntas. Padahal, di DKI Jakarta saja, menurut Prof. W.A.F.J. Tumbelaka, kasus pelanggaran etik kedokteran berjumlah lebih dari 100. Dan dijelaskan pula oleh Ketua Umum MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) Pusat ini, bahwa kasus itu bervariasi. Sebelum memfosil, berbagai kasus itu akhirnya dibahas dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pertama MKEK, di Bandungan, Jawa Tengah. Berlangsung tiga hari Jumat hingga Minggu malam pekan lalu Rakcrnas dihadiri 100 orang dokter dari berbagai unsur dalam organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ketua Umum IDI, Dokter Kartono Mohamad, menyimpulkan, pelanggaran terjadi akibat beberapa hal, misalnya dokter yang bersangkutan kurang memahami dan menguasai lafal sumpah dan etik kedokteran. "Ada juga faktor uang, terutama bagi dokter yang berada di kota besar," ujar Kartono. Mengingat rumitnya persoalan, Rakernas memandang perlu lafal dan etik kedokteran diketahui oleh masyarakat luas. "Termasuk instansi terkait dan badan pemerintah lainnya. Ini untuk meningkatkan kepribadian dokter," kata Tumbelaka. Sebaliknya, dia berharap dokter jangan hanya paham ilmu kedokteran saja, tapi juga mendalami ilmu hukum. Dengan begitu, kemungkinan dokter untuk melakukan pelanggaran bisa diperkecil. Ide itu disambut hangat Menkeh Ismail Saleh. Apalai, kasus-kasus tertentu yang dihadapi IDI maupun MKEK bisa dikenai sanksi hukum. Karena itu, sebaiknya MKEK belanggotakan tidak hanya para dokter, tapi juga ahli dari bidang lain. "Dengan begitu, setiap kasus pelangaran etik kedokteran dapat ditinjau lebih obyektif. Tidak hanya subyektif dari profesi kedokteran saja," demikian Menkeh yang berbicara dalam Rakernas. Kesan subyektif itu telah menjadi isu santer di masyarakat. Mereka melihat kalau dokter bersalah, ia pasti dibantu oleh teman seprofesinya. Coba disimak kasus korban bedah plastik Ny Sri Sulastri. Empat dokter yang memperkuat um operasl - yang mengaklbatkan istri ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu meninggal - hanya dicabut izin prakteknya tiga bulan. Masyarakat pun bertanya mengapa hukuman itu terlalu ringan. Menurut Tumbelaka masyarakat boleh menilai berat ringannya ganjaran yang dijatuhkan oleh MKEK, tapi harus tahu kriteria apa yang dipakai. "Kami dapat menerima kritik, jika masyarakat menilai dengan memakai tolok ukur etik dan tata kerja dokter," kata dokter spesialis anak itu, sedikit mengelak. Rakernas memutuskan bahwa dokteryang melanggar etik kedokteran, dalam setiap beperkara dengan MKEK, haruslah didampingi Badan Pembelaan Anggota (BPA). Dalam perkara administratif, badan ini juga perlu mendampingi, untuk menghadap ke Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK). Tapi, jika masalahnya sudah menyangkut aspek hukum, anggota BPA tak dapat menjadi pembela. "BPA tidak punya wewenang untuk membela, tapi berkepentingan mencarikan pembela yang mampu menguasai peraturan yang berkaitan dengan profesi kedokteran," ujar Dokter Handoko Tjondroputranto, wakil ketua BPA pusat. Untuk menentukan apakah seorang dokter melanggar hukum atau etik kedokteran memang agak sulit. Dokter yang melanggar etik belum tentu melanggar hukum, dan sebaliknya. Atau seorang dokter dapat melanggar keduanya. "Tapi, jika secara hukum mendapat ganjaran lebih berat, hukuman yang dijatuhkan akibat kesalahan etik dapat dilepas," kata ahli hukum kedokteran ini. Sebagai contoh, pada kasus Euthanasia, manakala si pasien minta disuntik supaya mati. Secara hukum ini jelas salah, dan juga tidak dibenarkan secara etik. Dalam hal ini ganjaran yang dijatuhkan atas dokter cukup ganjaran hukum. Menurut dr. Handoko masalah kesalahan etik dan hukum sering dicampuradukkan. Akibatnya, pasien tak tahu harus mengadu ke mana. "Tujuan utama pengaduan mereka ke MKEK. Padahal, kalau kasusnya itu hukum, jelas bukan MKEK yang menangani," ujar dokter ahli forensik FK UI ini. Menurut Handoko, kasus cacat Andriani sudah merupakan kasus hukum. "Sebab, dalam peraturan, tak boleh dokter meninggalkan ruang operasi selama operasi masih berjalan. Dan itulah yang terjadi dengan operasi mata Andriani," katanya. Masalahnya kini, walaupun orangtua korban sudah menempuh jalur hukum - lewat Kaligis - dewi keadilan belum juga menunjukkan jalan baginya. Halo, Dewi, pintu lembaga mana yang harus diketuk? Gatot Triyanto, Laporan Bandelan Amarudin (Biro Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus