PAGI mereka yang mendapat panggilan Nabi Ibrahim, minggu-minggu ini adalah waktu yang sudah lama dinantikan. Kloter alias kelompok terbang dilepas Menteri Agama Munawir Sjadzali dari bandar udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis pekan lalu. Dan malam itu lambaian tanan Tamilah terselip di sela-sela 486 calon jemaah haji yang berdesak di tangga pesawat Boeing 747, Garuda Indonesia. Jamilah sungguh bersukacita, tapi seperti halnya semua calon haji Indonesia, ia akan menghadapi berbagai cobaan berat, yang mungkin tidak pernah terpikir sebelumnya. Sesampai di bandar udara King Abdul Aziz, Jeddah setelah 9 atau 10 jam perjalanan yang melelahkan - angin dan udara kering gurun pasir segera menerpa fisik mereka. Sejak detik itu pula kondisi cuaca yang jauh berbeda dengan apa yang biasa dialami di tanah air akan merongrong kesehatan para jemaah. Suhu udara di Arab Saudi, menurut catatan - rata-rata pada setiap musim haji berkisar 46 hingga 52 derajat Celsius. Bandingkan dengan suhu Indonesia, katakanlah yang paling panas, seperti di Jakarta, Surabaya, atau Pontianak. Toh, di ketiga kota ini, suhu paling tinggi masih sekitar 32 derajat Celsius. Berarti suhu di Arab Saudi 14-20 derajat lebih panas, hingga butir-butir keringat di badan kontan menguap. Ini sangat berbahaya. Mengapa? Cuaca yang sangat panas, menurut Said A. Latief, staf Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, dapat mengakibatkan orang terserang kram panas atau heat ramp. Serangan ini menyebabkan otot-otot rangka, terutama yang aktif, menjadi kaku dan nyeri. Pada tingkat lanjut, bisa menimbulkan lelah panas atau heat exhaustion. "Pasien akan merasa sangat lelah, haus, bingung, dan bicara tak keruan. Kesadaran menurun, lalu pingsan," kata staf FK UI ini. Pada tingkat yang paling gawat, korban mengalami sengatan panas, disebut heat stroke. Gejalanya: suhu tubuh meninggi (hiperpireksia), lalu sistem saraf pusat terganggu. Pada beberapa kasus, kulit pasien tampak mengenng. Ini karena terhalangnya mekamsme tubuh dalam hal mengeluarkan panas. Juga berkaitan dengan cuaca yang terlalu panas, sementara, kelembapan relatif rendah. Dalam keadaan seperti ini, panas tubuh keluar hanya secara evaporasi, yakni dengan mengubah keringat menjadi uap air. Sengatan panas lebih cepat menyerang korban yang kondisi tubuhnya tak prima, mungkin karena kelelahan, gagal melakukan aklimatisasi, dan kurang tidur. Sebagai penyebab kematian, heat stroke menduduki peringkat tertinggi, yaitu 28,7%. Baru disusul penyakit lain, misalnya radang akut saluran pernapasan: 3,8%, dehidrasi: 7,4%, dan penyakit jantung: 5,3%. "Secara total memang relatif kecil, hanya 0,16% jumlah kematian yang terjadi tahun lalu. Dan sckarang tim kesehatan haji sudah makin baik," komentar Dokter Dede Kusmana, anggota tim kesehatan haji Indonesia tahun 1982 ini. Calon jemaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci tahun ini tercatat 56.372 orang. Dari jumlah itu, sekitar 50% usianya di atas 50 tahun, pukul rata 80% berusia 40 tahun ke atas. "Dengan kondisi fisik seperti itu, mereka lebih rentan terhadap penyakit dan perubahan kondisi lingkungan," ujar dr. Dede, yang juga ahli jantung, dan bekerja pada RS Harapan Kita. Karena itulah, jemaah haji sebaiknya waspada. Bila seorang atlet yang bertanding ke luar negeri perlu beradaptasi dengan keadaan cuaca setempat, kaldah yang sama berlaku pula bagi jemaah haji. Persiapan adaptasi terhadap perubahan cuaca, bagi calon haji, minimal dilakukan satu minggu menjelang keberangkatan. Ini dapat dikerjakan secara sederhana, dengan berjalan di udara panas waktu siang hari, misalnya. Di samping itu, persiapan mengubah pola makan dan minum juga perlu, agar terblasa minum banyak dan tidak menunggu sampai terbit rasa haus. "Supaya tidak terkena heat stroke," demikian pesan Dede. G.T.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini